Iya, untung kamu cakep plus imut, jadi gpp kalau berat.
~Bima
Sumber pic: Pinterest__________________
Mungkin ini yang dinamakan takdir. Takdir buruk bagi seorang cowok bernama Bima, aku heran kenapa namanya sangat singkat? Cuman empat huruf, tapi aku sering menambahkan embel-embel Bima Sakti. Alasannya biasa saja.
"Bos, kenapa memanggilku seperti itu?" Dasar kenapa dia harus berlagak seperti anak kecil.
"Saya suka," jawabku. Dan dia tak bisa lagi berkata apa-apa. Diam dan bisa jadi menyumpahiku diam-diam.
Sudah kukatakan aku cukup terkenal hanya dalam waktu sebulan, aku bisa menaklukkan Bima. Padahal hal itu tak sengaja mungkin sudah ditulis sang Pencipta bahwa Bima akan bertemu dengan gadis sepertiku.
Entah kenapa rasanya amat menyenangkan bisa mengerjai Bima, bisa memintanya melakukan hal aneh-aneh, rasanya semesta seolah mengirimiku sebuah mainan bernyawa. Ah apakah aku kasar? Sepertinya ya, bodo amatlah. Bima hanya sebuah mainan bagiku, jika aku bosan aku akan membuangnya, jika tak lagi dibutuhkan aku akan mengabaikannya.
Untuk saat ini hingga waktu yang aku tentukan, bisa jadi sampai aku wisuda bisa jadi sebelum wisuda aku akan membebaskan atau kata lain membuang Bima pada tempatnya. Jika aku sudah puas bersenang-senang menguasai cowok itu dan menekankan bahwa aku adalah prioritasnya di dunia ini di atas apapun. Kecuali orang tuanya dan ibadahnya hal itu aku tak bisa mengaturnya.
Contohnya sekarang ini, katanya dia ingin kerja kelompok, tetapi aku memaksanya menemaniku olahraga. Heran saja mengapa dia terlalu rajin di hari minggu? Jam enam pagi dia bersiap untuk kerja kelompok. Dasar Maba terlalu labil, nanti juga kalau sudah semester tinggi akan mulai malas dan melupakan kebiasaanya dulu.
"Kenapa cemberut gitu?" tanyaku nyalang.
"Enggak papa."
"Kamu tidak ikhlas menemani saya?"
"Ikhlas kok," jawabnya cepat lalu nyengir. Padahal senyumnya dipaksakan.
Setelahnya tak ada lagi perbincangan karena senam akan segera dimulai. Sudah tepat jam enam pagi, memamg di kampus kami setiap minggu selalu diadakan senam pagi di Lapangan Mini. Heran juga lapangan sebesar ini diberi nama Lapangan Mini. Dan di hari minggu tempat ini selalu ramai dengan kegiatan Mahasiswa. Ada yang joging, ada yang senam ada yang dance dan banyak lagi jenis kegiatan. Biasanya aku hanya rebahan di hari minggu, tapi entah kenapa malah tergerak hati ini untuk keluar sepagi ini untuk mengeluarkan keringat dengan ikut senam bersama anak Penjaskes.
Aku mengikuti orang di depan, setiap gerakannya. Namun, tiba-tiba ada yang aneh dengan pergelangan kakiku dan ....
"Akh!" Aku terduduk merasakan sakit di pergelangan kaki, hendak berdiri, tetapi kaki terasa amat sakit.
"Bos!"
Dan aku dikerumuni banyak orang. Tanpa kuduga aku sudah digendong. Wah berani sekali si Asisten menyentuhku.
"Mohon beri jalan dulu," katanya karena kami dikerumuni. Bima membawaku ke dalam gedung dan mendudukanku di lantai. Ia mencoba menyentuh kakiku yang terkilir.
"Sakit woy!" Teriakku. Ia pun berhenti dan hanya menatapku pertanda bingung.
"Sini saya bantu." Aku mendongak melihat siapa yang berbicara dengan lembut. Tak dikenal. Aku hanya menganguk tanda setuju. Dari bodynya gadis ini pasti atlet.
"Akh!" Sungguh sekali tarikan kakiku berbunyi mungkin tulangnya geser, air mata keluar setetes.
"Gimana udah mendingan?" tanya perempuan itu. Mendingan gimana? Sakitnya minta ampun gak mau lagi senam.
"Mungkin kamu gak pemanasan dulu tadi, atau enggak pemanasan kamu main-main." Jelasnya. Setelah itu dia pergi.
"Pulang," rengekku berusaha meredam suara. Sakit astaga.
"Pesan grab, yah?" Tawar si Asisten
"Enggak!"
Aku berusaha berdiri dan dipapah oleh Bima. "Masa jalan sih kamu kuat?" tanyanya. Aku diam karena meresapi rasa sakit yang sampai di kepala sebelah kiri.
"Saya gendong ajah kalau gitu." Tanpa menunggu persetujuanku. Aku sudah berada di punggung kekar Bima dan dia berjalan meninggalkan area Gedung, melewati jalan setapak. Lalu menuju jalan yang biasa dilalui motor mau pun mobil.
"Bos nangis?"
"Sa--sakit," keluhku. Alasan kenapa enggak mau naik grab, nanti diliatin kalau sedang nangis sama kang grabnya. Jika ada motor lewat atau orang berjalan atau lari, dengan segera aku membenamkan wajah di pundak Bima. Ya, jelas menyembunyikan air mata. Sial kenapa sesakit ini, air mata juga kenapa keluar segala.
"Saya berat, yah?" tanyaku saat sudah bisa meredam tangis.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Untung saya imut, yah." Balasku lagi.
"Iya, untung cakep plus imut, jadi gak papa kalau berat," katanya. Kenapa aku senyum?
___
TbcTertanda
______________
Peri Qyud101220
KAMU SEDANG MEMBACA
Siap, Bos
Ficção AdolescenteCerita akan diupdate jika ada ide, ending tidak jelas. Konflik pun asal-asalan, hanya iseng-iseng dan hiburan semata. Jadi tidak perlu berekspetasi tinggi akan isinya. Jika suka silakan baca jika tidak tinggalkan. Tertanda _________ Peri Tiga Detik