Melo(ve)dy

817 38 1
                                    

Seorang lelaki sedang duduk dalam keheningan di tengah ramainya pengunjung restoran. Suara dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring, juga dengungan obrolan selepas makan siang tidak sedikit pun mampu mengusir kemasygulan dari wajah lelaki itu.

Asap rokok membumbung saat lelaki itu mengembuskannya melalui bibirnya. Sebenarnya, ia tahu bahwa restoran ini melarang pengunjungnya untuk merokok di dalam ruangan. Tapi lelaki itu tidak peduli. Terlebih ia mengenal baik pemilik restoran ini.

“Martin, bukankah kau bisa melihat tanda dilarang merokok yang ditempel di dinding restoran ini?”

Terdengar suara seorang gadis tengah menegur lelaki bernama Martin itu. Tidak perlu menolehkan kepalanya, Martin tahu siapa gadis itu. Ia sangat mengenal suara gadis cerewet yang merupakan adik dari sahabatnya sang pemiliki restoran ini.

Martin menyesap tetes terakhir kopi hitamnya yang sudah dingin. Lalu lelaki itu melemparkan puntung rokoknya ke dalam cangkir kopi itu. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri menjulang di hadapan gadis yang menegurnya.

“Tidak perlu mengomel, gadis cantik. Aku sudah selesai,” kata Martin sambil tersenyum merayu.

Tapi gadis itu malah memberengut dan sama sekali tidak tergoda pada senyuman Martin. Bukan karena Martin tidak cukup tampan untuk merayu gadis seperti dirinya. Melainkan karena ia sudah sangat mengenal sikap sahabat dekat kakaknya yang satu ini. Lelaki flamboyan yang gemar tebar pesona pada setiap gadis yang temuinya.

“Aku akan pulang sekarang. Sampaikan salamku untuk kakakmu.” Martin berjalan meninggalkan gadis itu lalu pergi menuju kasir untuk membayar secangkir kopi yang diminumnya. Sebelum keluar dari restoran itu, ia masih sempat melontarkan rayuan kepada seorang waitress.

Martin berdiri di depan pintu masuk restoran itu sambil menyalakan satu batang rokok lagi. Hujan deras memang baru saja berhenti beberapa saat yang lalu. Tapi hujan masih meninggalkan jejak basah dan genangan air di jalanan.

Sebenarnya Martin datang ke restoran hanya untuk menemui sahabatnya. Tapi ternyata lelaki itu sedang pergi dengan kekasihnya untuk fitting pakaian pernikahan mereka. Martin sedikit merasa kecewa karena ia tidak lagi bisa menemui sahabatnya itu sesuka hati.

Sebelum bertemu dengan kekasihnya itu, sahabat Martin bukanlah lelaki yang seperti itu. Ia lebih tampak seperti robot yang terus bekerja setiap saat demi membesarkan nama restorannya. Tidak peduli dengan hal lain, apalagi memikirkan seorang gadis untuk menjadi pasangannya. Hanya adik perempuannya dan Martin yang peduli untuk mengingatkan lelaki itu agar tidak mengabaikan kesehatannya sendiri.

Dan kini Martin merasa begitu iri. Bagaimana mungkin sahabatnya itu bisa dengan mudah menemukan cinta sejati? Sementara Martin yang cukup dekat dengan banyak gadis cantik, sampai saat ini tidak pernah bertemu dengan cinta sejatinya. Tidak ada satu pun di antara para gadis itu yang membuat Martin jatuh cinta.

Martin melangkahkan kakinya menjauhi restoran itu. Sengaja ia meninggalkan mobilnya di latar parkir restoran yang tampak penuh. Saat ini Martin hanya ingin berjalan-jalan sebentar menikmati suasana setelah hujan.

Titik-titik hujan bergayut pada ujung ranting dan daun. Aroma tanah setelah hujan menguar di udara seperti aroma tubuh bidadari. Martin terus berjalan sambil memenuhi paru-parunya dengan aroma itu, mencoba menggantikan asap rokok yang menempel erat di paru-parunya.

Gedebuk!

Tiba-tiba sebuah bunyi benda jatuh membentur sesuatu, yang disusul pekikan seorang gadis. Dengan cepat kepala Martin menoleh dan mendapati seorang gadis tengah jatuh terduduk di atas jalan ber-paving yang basah. Ia menghampiri gadis itu lalu mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu berdiri.

Frame of Love (Kumpulan Cerpen) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang