Interlude

547 24 6
                                    

Ruangan itu sudah sepi sejak lima menit yang lalu. Komputer sudah dalam keadaan off dan dokumen di atas meja sudah tertata rapi ditinggalkan penghuninya untuk sementara. Hanya tampak beberapa orang yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka dan ingin bergegas pergi untuk makan siang. Tapi tidak untuk seorang lelaki yang menempati meja kerja di dekat jendela itu.

Ibel menyandarkan punggungnya di kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menyipitkan mata menatap ke arah ponselnya yang terus bergetar karena beberapa pesan singkat yang masuk bertubi-tubi. Pesan singkat itu dikirim oleh beberapa gadis yang salah satunya adalah mantan kekasih Ibel.

Sejak seminggu yang lalu, Ibel dan (mantan) kekasihnya sepakat untuk memutuskan hubungan asmara yang sudah mereka jalin selama tiga bulan terakhir. Tapi entah karena apa, mantan kekasihnya itu masih saja mengirim pesan singkat penuh cinta seperti saat mereka masih bersama dulu. Sementara gadis-gadis lain yang sudah mendengar kabar bahwa Ibel kembali melajang, mulai gencar untuk menarik perhatiannya.

Dengan sekali gerakan, Ibel menekan satu tombol untuk mematikan ponselnya.

“Ibel, ayo kita makan siang bersama.”

Ibel menengadahkan kepalanya dan mendapati dua orang gadis yang merupakan rekan kerjanya, sedang berdiri di hadapannya. Mereka tersenyum semanis mungkin kepada Ibel.  Kedua gadis ini cukup cantik dengan riasan wajah dan setelan pakaian kantor yang rapi. Tapi hal tersebut sama sekali tidak membuat lelaki itu merasa tertarik.

“Tidak. Terima kasih,” kata Ibel lalu tersenyum. “Tapi aku sedang tidak lapar.”

Kedua gadis itu saling berpandangan sejenak. Wajah mereka tampak menyembunyikan semburat merah yang samar. Senyuman singkat yang baru saja dilengkungkan bibir Ibel, cukup membuat mereka tersipu.

“Aku dengar, kau baru saja putus. Apa itu benar?” Salah satu dari gadis itu bertanya malu-malu.

Ibel menjawab dengan anggukan kecil.

“Apa hal itu yang membuatmu murung akhir-akhir ini?” Gadis yang lain ikut bertanya.

Kali ini Ibel menatap mereka dengan mata kuyu lalu berkata, “Ya. Terima kasih atas simpati kalian.”  

Gadis-gadis itu sepertinya mengerti bahwa Ibel sedang tidak ingin diganggu sekarang. Mereka berpamitan untuk makan siang dan pergi dari hadapannya.

Lelaki itu menghela napas panjang. Memang akhir-akhir ini ia merasa kurang bersemangat. Tapi itu bukan disebabkan oleh putusnya hubungan Ibel dengan gadis itu. Ia hanya sedang merasa bosan, jemu, atau jenuh pada kehidupan percintaannya. Sepertinya ia memerlukan sedikit jeda sebelum akhirnya menjalin hubungan percintaan dengan gadis lain.

Selama ini, Ibel selalu mendekati gadis yang menarik hatinya dan merayu gadis itu hingga bersedia menjadi kekasihnya. Tapi jika selama tiga bulan gadis itu tidak membuat ia jatuh cinta, maka Ibel akan meminta hubungan mereka berakhir dengan berbagai alasan yang akan diterima oleh gadis itu.

Beberapa teman lelaki Ibel memanggil ia dengan sebutan playboy. Tapi ia tidak setuju dengan hal itu. Menurut Ibel, playboy adalah sebutan bagi lelaki yang tidak setia dan menjalin hubungan asmara dengan beberapa gadis dalam satu waktu. Sementara Ibel selalu menjalin hubungan hanya dengan seorang gadis paling lama tiga bulan, berlaku setia, dan tidak melakukan hal yang kurang ajar. Ia juga selalu menghormati setiap gadis yang pernah menjadi kekasihnya. Jika ia merasa tidak cocok, barulah Ibel akan meminta putus secara baik-baik dan mendekati gadis lain yang menarik hatinya.

“Hei. Kau tidak makan siang, Kawan?” Rekan kerja Ibel —yang bernama Indra, bertanya sambil menepuk bahunya. “Ayo kita makan siang di kafe yang ada di ujung jalan. Pelayan di sana cepat menghampiri, jika aku datang bersamamu.”

Frame of Love (Kumpulan Cerpen) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang