Kesedihan di kelas 5

356 9 4
                                    

Tahun 2017...

Kembali dari awal lagi. Lagi dan lagi. Sama seperti dulu, formasi 3 sahabat dan musuh bebuyutan kembali sekelas. Entahlah, aku ikut senang atau tidak. Tapi kali ini yg membuatku kesal semakin bertambah.

Wardah dan Olivia sekelas denganku lagi. Kenapa dia sekelas lagi denganku? Wardah yang masih di cintai oleh Braint dan Olivia yang berotak licik ini harus sekelas denganku selama setahun. Aku muak dengan semua ini.

Kali ini...wali kelasku adalah guru laki-laki. Entahlah, dari dulu aku mendapatkan wali kelas guru perempuan terus dan baru pertama kali mendapatkan wali kelas guru laki-laki. Bahagia? Tentu saja. Siapa yang tak bahagia mendapatkan kesempatan menjadi murid dari dia.

Baiklah, nama wali kelasku adalah Pak Rusli. Dia adalah wali kelas dari kelas 5C. Sementara kelas 5A di ajar oleh Ibu Umi dan 5B di ajar oleh Ibu Dian.

Ada rumor yang bilang, kalau Bu Dian ini mata duitan. Iya sih, pakiannya yang selalu bagus dan paling heboh kalau melakukan apapun. Dalam artian kata...cara berpakian dan tas yang selalu di kenakan atau dibawanya, terkesan gelamor dan mewah. Sungguh luar biasa.

Pertama kali masuk sekolah, ada pemilihan ketua kelas dan yang terpilih adalah Braint. Lalu kita dipilihkan tempat duduk oleh Pak Rusli. Entah alasannya apa, hingga dia membuat pertukaran tempat duduk ini.

Sialnya, kenapa aku sebangku sama anak cowo yang nyebelin kaya Robi? Menyebalkan.

Kalian tahu. Saking kesalnya aku sama Robi...aku jadi sering gangguin dia. Seperti mengumpatkan isian pulpen dibawah laci meja belajar punyaku dan kadang menyembunyikan bukunya juga.

Mau bagaimana lagi? Habis dia kelewat batas. Kenapa harus nyontek setiap jawabanku dan diberikan kepada teman-temannya?

Otakku-kan sudah mengepul karena jawaban yang begitu sulit. Tapi dia malah menyontek dan memberikan jawabannya pada teman-temannya itu. Apa gunanya aku belajar, hah? Sungguh menyebalkan.

Iya sih mintanya satu...tapi kalau keterusankan malah semua soal terjawab dengan sendirinya.

"Jur, bagi jawabanya satu dong," pintanya padaku.

"Iya. Nih, satu doang," aku langsung meberikan jawabanya.

"Satu lagi dong," bujuknya.

"Satu-satu aja terus. Lama-lama semuanya diminta," saking kesalnya. Bukuku langsung diberikan padanya agar disalin sendiri. Biarlah mulutku ini diam sesaat, dari pada berceloteh dengan orang seperti dia. Menyusahkan saja.

Semua orang bilang kalau di ajar oleh guru yang perempuan itu sudah biasa. Tapi gimana rasanya diajarin sama guru yang laki-laki?

Rasanya cukup menyenangkan kok. Banyak hal yang ku pelajari darinya. Kami berbagi suka duka dan kesenangan bersama. Sama halnya seperti pepatah yang mengatakan "guru adalah orang tua di sekolah". Bagiku itu sangatlah benar.

Guru perempuan bagikan ibu bagi kami. Sedangkan guru laki-laki adalah ayah bagi kami. Mereka yang mengajarkan kami hingga bisa. Mereka terus menjaga dan mendidik kami dari jam masuk sekolah hingga jam pulang sekolah. Walau sistemnya lebih ketat ketimbang di rumah.

Pak Rusli. Sosok ayah yang sangat luar biasa bagi kami. Sosok yang yang baru bagi kami. Walau guru agama kami juga seorang laki-laki...tapi rasanya berbeda. Kami selalu bertatap muka setiap harinya. Dia benar-benar sepesial bagi kami saat itu.

Aku masih ingat. Disaat kami membuat pesta ulang tahun sederhana sesaat setelah Upacara Bendera 17 Agustus. Di tanggal itulah juga, guru kami yang tercinta berulang tahun. Sekedar kue ulang tahun yang dibeli dari hasil uang patungan. Tetapi bertulisakan selamat dari Wardah. Kenapa harus dari dia? Padahal kue itu, kita beli dari uang hasil patungan bersama.

Masa SD KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang