Jung Hoseok adalah tipikal orang yang mudah sekali merindu, walau ia sendiri enggan mengaku. Tapi setelah dua hari berlalu tanpa ada sosok Namjoon yang dirasanya sedikit mengganggu, Hoseok baru menyadari bahwa ada sejumput rindu dalam kalbu.
Ini aneh, karena Namjoon rajin mengiriminya pesan setiap dua jam sekali. Menelponnya sebelum tidur. Bahkan sesekali bertatap muka melalui panggilan video. Tapi kenapa Hoseok masih saja merasa tak puas? Kenapa rasanya seperti sudah minum lima botol air tapi tetap saja haus?
"Huh? Kau belum bisa kembali ke Seoul? Kenapa?" Hoseok terperanjat dan sontak duduk bersila dari posisi berbaring. Jimin yang duduk di dekatnya cuma bisa mengelus dada saking terkejutnya.
"Maaf ya, masih banyak pekerjaan yang belum selesai. Saya akan mengurusnya lebih cepat agar bisa segera bertemu lagi dengan Hoseok," ucap Namjoon yang membuat Hoseok berdecak kecewa.
"Katamu kau hanya pergi selama lima hari. Dua hari lalu kau ubah lagi menjadi dua minggu. Lalu sekarang kau masih belum bisa menemuiku?" Hoseok mendengus, "Aku jadi penasaran, sebenarnya berapa banyak sih pekerjaan yang kau lakukan di sana?"
Terdengar suara tawa renyah Namjoon dari seberang sana, "Hoseok sudah merindukan saya ya?"
"Sedikit," aku Hoseok tanpa pikir panjang. "Sebenarnya aku bisa saja pergi ke Seongnam saat ini juga. Tapi rupanya studioku sudah ramai oleh para murid. Aku tak bisa membiarkan temanku mengajar sendirian."
Jimin mencibir ketika mendengar ucapan Hoseok. Ia tau kalau temannya itu cuma sedang mencari alasan. Karena nyatanya, murid yang datang tak sebanyak yang diceritakan. Toh sejak berdirinya studio tari ini, hanya delapan orang saja yang bertahan dan terus berlatih. Sisanya, entah kabur ke mana.
"Saya juga merindukan Hoseok, bahkan sudah sangat rindu sampai tidak bisa ditolerir lagi. Tapi apa mau dikata, kesibukan saya di Seongnam membuat kita terpisah sementara. Maaf ya?"
Hoseok menghela napas pendek, "Yayaya, baiklah. Aku memaklumi kesibukanmu manajer Namjoon. Kabari aku kalau sudah tak terlalu sibuk."
"Saya usahakan akhir bulan ini kita bisa bertemu. Hoseok yang sabar ya?"
"Ck, tak perlu menyuruhku melakukan sesuatu yang setiap hari kulakukan, Kim Namjoon."
Hoseok menutup sambungan telepon itu sembari tersipu. Bahkan ia tak sadar jika Jimin terus menatapnya dengan geli. Bagaimana bisa seorang Jung Hoseok yang keras kepalanya tiada tanding dan selalu bersikeras untuk membatalkan perjodohan, sekarang justru terlihat seperti orang sedang kasmaran begini?
Sudah jatuh sungguhan rupanya?
"Dua bulan berlalu sejak kau memutuskan untuk memberinya kesempatan. Apa sekarang hatimu sudah benar-benar menerimanya?" Jimin bertanya.
Hoseok mendengus, "Hey, sudah kubilang kan aku tak akan jatuh cinta semudah itu."
"Mulutmu bisa berkata demikian, tapi matamu memancarkan kalimat yang berbeda."
"Yah, jangan sok tau."
"Aku tidak sok tau. Aku hanya seperti kembali melihatmu ketika baru menyatakan cinta pada Seokjin," Jimin menghela napas pendek, "Jujur dan akui saja Seok, kalau kau memang sudah menyukainya."
Hoseok terdiam. Sebenarnya ia sendiri tak memahami apa yang sedang dirasakannya sekarang. Baginya, Namjoon hanya seorang teman yang sedang berusaha mendapatkan hatinya. Dan momen di mana Namjoon berusaha keras itu dirasanya sungguh menyenangkan. Hoseok akui kalau ia suka jika ada orang lain membuatnya nyaman dan senang. Tapi apakah perasaan itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang spesial? Hoseok rasa tidak. Karena nyatanya sampai sekarang, ia belum merasakan jantungnya berdentum kencang. Ia belum bisa merasakan hal yang sama ketika ia masih bersama Seokjin dulu terhadap Namjoon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me, Hoseok! (Namseok) ✔
FanfictionBagaimana jadinya jika Hoseok harus memilih antara menjalani tradisi atau mengikuti kata hati? Namseok! AU Story & Written by Chaerachae