09

134 19 3
                                    

Pukul 3 lewat 10 menit pagi, pikiran Nanda masih melayang. Memikirkan bagaimana cara untuk terus bertahan. Melirik sampingnya, ada Egi yang tertidur pulas. Nanda mengusap wajahnya kasar. Ibunya mengirim sebuah pesan singkat sekitar satu jam lalu, ia pergi ke luar negeri untuk bekerja.

Nanda bukannya ingin menjadi anak yang tidak tahu terima kasih, ibunya hanya ingin ia menjaga adik satu-satunya itu kala ibunya pergi. Tapi rasanya Nanda belum sehebat itu untuk menjaga Egi. Nanda belum bisa menjadi pelindung bagi siapapun, apalagi adiknya.

"Mbak Nanan belum tidur?"

"Kebangun. Kamu tidur lagi aja, mbak mau nyari angin sebentar di teras"

Nanda berjalan menuruni tangga, dengan gelas kopi yang sebelumnya ia buat tapi belum sempat diminum karena panas. Sepinya malam. Ah ralat, pagi ini membuat Nanda sejenak merenung. Apa ini cara Tuhan untuk mendewasakan dirinya? Dipaksa dewasa oleh keadaan? Rasa-rasanya memang Tuhan ingin melihatnya dewasa walau dengan cara yang menyakitkan bagi dirinya. Tuhan mengirimkan cobaan untuknya, ia tau bahkan paham betul bahwa setiap cobaan dari Tuhan adalah wujud kasih sayang dalam bentuk yang tidak indah seperti hadiah. Tapi bukankah ini terlalu sulit untuk dijalani seorang diri?

Nanda mendesah.

"Gue kira siapa yang duduk di teras jam 3 pagi" Anya, penghuni asrama lantai 1.

"Gue cuma mumet aja, Nya. Lo sendiri kenapa keluar?"

"Sama Nan, gue juga mumet. Hidup berjalan gak seperti yang gue harapkan. Hidup yang gue jalani itu brengsek banget"

"Brengseknya dimana?"

"Orangtua gue cerai, dan gue anak satu-satunya. Gue disuruh pilih mau ikut moma atau popa, dan gue gak mau. Gue cuma mau keluarga yang utuh. Moma bilang, gue akan bahagia kalo ikut sama dia. Semua yang gue mau akan dia turuti. Popa juga bilang gitu, persis. Tapi mereka gak mikirin kebahagiaan gue. Gue milih kuliah di Bandung karena pengen mereka tau kalo buat gue mereka itu harus satu. Gak ada gue pilih moma atau popa. Tapi mereka keras kepala"

Nanda menyimak setiap kalimat yang Anya ceritakan padanya.

"Gue salah ya Nan minta mereka buat terus sama-sama?"

"Nya, lo gak salah. Cuma mereka emang gak berpihak pada lo. Sekuat apapun lo minta, kalo akhirnya pisah ya pisah aja. Gue rasa lo gak harus pilih salah satu, sekarang lo cukup fokus kuliah sampe lulus selama mereka masih membiayai lo. Kalo mereka maunya pisah, ya gapapa Nya. Mereka cuma pisah sebagai pasangan, tapi gak pisah sebagai orangtua lo. Mereka akan tetep sayang sama lo walau mereka udah gak bisa hidup bersama. Percaya deh, mereka cuma pisah secara perasaan masing-masing, bukan mau jahat sama lo"

"Makasih ya Nan. Lo bener, gue cuma fokus mikirin diri sendiri yang akan kehilangan orangtua utuh. Padahal mereka juga bakalan tetep sayang sama gue. Mereka cuma kayak putusnya orang pacaran kan. Gue jadi curhat gini sama lo padahal kita gak deket"

"Gapapa Nya, lo gak harus deket sama seseorang kalo mau curhat. Tapi kalo lo nyaman sama temen deket lo aja kalo curhat ya silakan. Gue seneng kok dengerin curhatan lo, lo hebat Nya"

"Lo juga Nan. Walaupun gue gak tau masalah lo dan lo pasti gak akan cerita ke gue tapi gue tau lo anaknya hebat. Semangat ya Nan. Gue masuk dulu, udah mulai dingin"

Anya berlalu meninggalkan Nanda yang masih duduk tenang dengan kopinya. Mendengar cerita Anya membuat Nanda lebih pusing, karena masalah manusia itu beraneka ragam sampai mirip dengan jajanan di online shop.

-

"Keadaan Altair cukup mengejutkan saya, dia drop tiba-tiba seperti ini. Saya rasa Altair harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari sampai keadaannya membaik. Saya menduga bahwa Altair sedang ada di fase stress dan terlalu sedih hingga membuatnya begini. Entah ada kaitannya atau tidak, saya bisa melihat bahwa Altair sedang tertekan" tutur Dimas, Dokter pribadi Altair sejak kecil. Sekaligus adik dari ayah Altair.

Absquatulate ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang