21•Misi pertama•

47 21 98
                                    

Berjuanglah sampai tujuan mu tercapai.
-Resa
.
.
Happy reading!
.
.

Vassa tak pernah tahu. Hidupnya tanpa Resa nyatanya akan sehampa ini. Biasanya, ia akan menghampiri kamar cewek itu kala bosan melanda seperti saat ini. Tapi sekarang berbeda, semuanya berubah.

Tak ada lagi tawa menggelegar bersamanya. Perdebatan yang berakhir sia-sia. Serta hal lain yang membuat hidupnya lebih berwarna.

Rasanya ... seperti ada sesuatu yang kosong di sudut hatinya.

Vassa mendengus kesal menatap handphone. Bosan sekali dia sedari tadi hanya scroll-scroll tiktok sembari berguling-guling tak jelas.

Vassa menaruh gawai itu di atas nakas sebelahnya. Cewek dengan rambut yang di biarkan tergerai itu mendesah kesal sebab rasa bosan tak kunjung menghilang.

Ia menapakkan kakinya pada ubin. Berniat kebawah guna mengambil air putih di dapur. Tenggorokannya terasa kering sedari tadi karena tak ada sedikit pun air yang mengaliri.

"Ah, elah, males banget gua ke bawah." Vassa berdecak kesal sebelum beranjak dari tempatnya. Gadis itu melangkah gontai keluar kamar. Di sepanjang jalan, ia terus-terusan Menggerutu tak jelas.

Di pertengahan tangga, Vassa menegakkan tubuhnya. Sosok yang beberapa minggu belakangan ini jarang ia sapa itu kini tengah berdiri tegap di depannya dari arah berlawanan.

Mendadak rasa kesal kembali memenuhi hati Vassa kala manik mata mereka bertabrakan. Emosinya tersulut. Apa lagi saat cewek itu memberikan senyuman untuknya.

Meski tak dapat di pungkiri ada rasa rindu yang ikut menggelayuti dirinya. Tapi Vassa tetaplah dia dengan segala ego yang sulit di turunkan.

Berusaha abai, Vassa kembali membawa tungkainya menuruni tangga. Namun, saat ia melewati tubuh itu, Vassa merasa tangannya di cekal. Ia menatap jengah ke arah sosok yang kini menggenggam erat pergelangan tangannya.

"Sa."

"Lepasin!"

Resa terperangah kala Vassa menyentak kasar tangannya. Tak ada lagi kelembutan dalam setiap perkataan atau perbuatan cewek itu.

"Sa, lo jangan kaya gini ...," lirihnya menatap Vassa, sendu.

"LO YANG JANGAN KAYA GINI! Lo itu maunya apa, sih?!" sentak Vassa.

Resa bungkam. Ia sendiri tak tahu harus mengatakan apa. Sepertinya, akan sangat percuma jika ia kembali menjelaskan semuanya pada Vassa. Pasti akan di hiraukan.

"Kenapa diem? Bingung mau bikin alasan apa lagi?" Vassa berdecih seraya bersedekap dada. "Seandainya lo ngakuin semua kesalahan lo dari awal, dan minta maaf. Gua gak akan semarah ini, Res."

Resa menautkan kedua tangannya. Tapi ia harus mengakui apa? Kesalahan yang mana?

Vassa melayangkan tatapan sinisnya. "Jangan pernah ganggu gua lagi!"

Resa ingin kembali menahan Vassa, ketika sosok itu sudah lebih dulu melenggos pergi.

Lagi-lagi omongan pedas Vassa sukses menorehkan luka di relung hatinya. Semua tuduhan tak benar itu kembali menghunjamnya. Seolah, cewek itu menudingnya bahwa semua masalah ini di sebabkan karena Resa.

Mengapa setiap mereka bertemu selalu saja seperti itu?

Kita gak akan begini selamanya, kan, Sa?

☆☆☆

Resa segera membereskan barang-barang di atas mejanya saat bel pulang sekolah bergema seantero sekolah. Sedang tangan lainnya sibuk membalas chat dari seseorang di sebrang sana.

Struggle✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang