10 •Bahagia?•

68 27 76
                                    

Tak akan ada yang mengerti perasaan seseorang selain dirinya sendiri dan Tuhannya.
-Celia
.


.

Happy reading!
.


.

"Oke! Itu aja, kan, pesanannya? Gua ke kasir dulu, ya."

Rafa melenggang pergi guna membeli pesanan teman-temannya. Meninggalkan Askan sendiri bersama tiga gadis yang sudah puas berbelanja tadi. Ah, ralat, hanya salah satu di antara mereka saja lebih tepatnya.

Hilangnya Rafa dari pandangan mereka membuat Askan menutup menu yang sedari tadi di genggamnya.

"Jadi ... lo suka kopi, ya?"

"E-eh, iya, hehe," jawab Vassa yang menyadari pertanyaan itu di tunjukan padanya. "Tapi gak suka yang terlalu pahit."

Ya, Vassa memang tidak terlalu suka pahit. Tapi ia tetaplah pecinta kopi, dan karena itu pula ia memesan macchiato sebagai menunya sekarang.

Askan menoleh menatap Celia. "Kalau Celia suka yang manis-manis, ya?" tanyanya lagi, usai membalas jawaban Vassa dengan ber-oh ria.

"Kepo aja, ya." Celia berucap seraya menerbitkan senyumnya. Manis memang, seperti rasa kesukaannya. Tapi entah mengapa di mata Askan senyum itu terlihat sedikit menyeramkan.

Askan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Melirik pada Resa yang menatap kosong meja kafe sembari menopang dagunya. Entah apa yang ada di benak gadis itu.

"Kalau Resa suka yang manis juga, ya?"

Semua mata di meja itu menatap Resa yang tak kunjung menjawab pertanyaan Askan.

Hening yang menyapa membuat Askan mengernyitkan dahinya kala tak mendapat jawaban dari sang empu.

Apa suaranya terlalalu kecil? Sekiranya begitulah yang di pikirkan Askan.

"Res?"

Resa mengerjap kencang, lantas menoleh pada Askan yang baru saja menepuk pelan meja di hadapannya.

"I-iya, kenapa?" tanyanya masih dengan raut wajah terkejut.

"Gua barusan nanya. Lo suka yang manis-manis, ya?"

"Eh, iya," jawab Resa sambil menurunkan tangannya dari dagu.

"Kalau Askan?" sahut Vassa menatap pemuda ber-kaos putih tersebut.

"Kalau gua ... kayaknya gak terlalu suka yang manis-manis. Tapi bukan berarti suka pahit juga, sih, hehe."

Vassa mengangguk mengerti. Melirik pada Resa yang menatap keluar jendela. Menurunkan pandangannya pada tangan Resa yang mengepal di atas paha.

Ingin sekali ia bertanya pada sahabatnya itu. Tapi, ego seakan menahan kepeduliannya yang seharusnya ia keluarkan di saat seperti ini.

Biasanya, dia saat Resa termenung, ia pasti akan selalu memikirkan hal-hal yang mengganggu pikirannya selama ini.

Vassa mengangkat tangannya guna memegang bahu Resa dan menanyakan keadaannya. Namun, kegiatannya itu terhenti kala mendapati Rafa yang datang dengan semua pesanan mereka.

Rafa menaruh nampan di tangannya ke atas meja dan ikut mendudukan dirinya di samping Askan.

Mereka menyantap makanan masing-masing dengan Hening yang mengiringi.

☆☆☆

Vassa membuka pelan pintu kayu putih di hadapannya. Menyembulkan kepalanya di sela pintu yang terbuka setengah.

Struggle✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang