23•lelah•

46 23 94
                                    

Yang terlihat baik-baik saja, bisa jadi menyimpan beribu luka
-Resa
.
.
Happy reading!
.
.

"

Kemarin gua udah ketemu sama dia. Surat dari lo udah gua kasih juga," ucap Celia duduk di kursi depan meja Resa.

Resa mendongak. "Cepet juga." Ia tersenyum tak enak. "Makasih, loh."

"Kayak sama siapa aja lo," balas Celia mendengus geli.

"Nomornya?"

"Ah, iya." Celia meraih ponsel dari saku. Mencari nama seseorang, lantas memberikannya pada Resa. "Habis baca surat dari lo dia langsung ngasih nomor teleponnya sebelum gua minta."

Resa menarik sebelah bibirnya. "Udah gua duga."

"Lo nulis apa di sana?" tanya Celia menaruh dagunya di atas sandaran kursi.

"Itu rahasia rumah tangga." Resa mulai menyalin nomor telepon itu ke handphone-nya.

Celia berdecih pelan. "Main rahasia-rahasiaan sekarang."

Resa tak mengubris suara cewek itu. Ia masih berfokus pada benda pipih di genggamannya. Lalu mengembalikan kembali gawai sang sahabat usai menyalin deretan angka tersebut.

"Lo ngerancanain apa, sih?" desak Celia, mengerecutkan bibirnya kesal. Ia tidak suka saat cewek di depannya ini menyimpan semua masalahnya sendiri.

Sudut bibir Resa tertarik. "Nanti lo juga tau." Ia menunjuk seseorang --yang berdiri di depan pintu kelas-- dengan dagunya. "Udah di tungguin, tuh."

Bahkan sosok yang tengah bersedekap dada itu tak meliriknya sedikit pun.

"Serem bener dia natap gua datar kayak gitu," ucap Celia bergidik ngeri, yang kemudian di balas tawa kecil Resa.

Tawa yang menyimpan banyak luka.

Ia menatap kembali wajah sang sahabat. "Lo gimana?"

"Nanya mulu lo dari tadi. Santai aja, gua juga mau pergi." Resa menegakkan tubuhnya. "Udah, sono!"

Celia menghela napas berat. Lantas melangkah pergi meninggalkan Resa yang kemudian menyusul keluar.

"Lo jangan garang-garang bener napa?"

Vassa menghiraukan suara Celia, dan berjalan lebih dulu.

Celia mengulas senyum tabah. Bersyukur stok kesabarannya masih banyak. Gak tau kalau nanti.

"Lo gak mau maapan sama Res-" Celia gagal menyelesaikan kalimatnya, karena selanjutnya ia mendapat pukulan cukup pedas di bibirnya.

"Diem!" tekan Vassa.

Celia mengusap-usap bibirnya. "Kagak usah nampol!" sergahnya. Jemari Celia melayang menampar lengan atas Vassa cukup kencang. Ia buru-buru mendaratkan telunjuknya di bibir cewek itu saat melihat sang sahabat akan membuka suara. "Gak usah banyak says lo! Mo ke kantin, kan? Ya udah, cepet!" Celia menarik lengan Vassa kencang, sebelum menuntun tungkainya ke kantin.

Celia capek kalau harus mendengar umpatan Vassa terlebih dahulu.

Berbeda dengan kedua sahabatnya yang pergi ke kantin. Resa lebih memilih membawa langkahnya menuju taman belakang sekolah. Menghabiskan waktu isitirahat di sana.

Ah, namun ... apa Vassa masih menganggapnya sahabat? Atau hanya dia yang masih beranggapan seperti itu? Entahlah.

Ramai yang beberapa saat lalu mengiringi perjalanannya, perlahan memudar seiring dengan hening yang menyambut.

Struggle✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang