Catatan Tentang Dia

636 13 1
                                    

Aku tahu dia selalu ada.
Menjagaku, menemaniku.
Menjadi semangatku,
Menjadi bagian dari diriku.
Aku tahu, dia mengerti aku.
Membantuku, menjadikanku dewasa.
Menjadi angin sejuk
Kala aku kepanasan.
Menjadi tempat bertedih,
Kala aku kehujanan.
Tapi, dia tidak menginginkan aku
Seperti aku menginginkannya.
Dia tidak mencintai aku,
Seperti aku mencintainya.
Dia tidak membutuhkanku,
Seperti aku membutuhkannya.
Dan dia tidak melihatku,
Seperti aku melihatnya.

****************************

Fina duduk diam menunggu hujan yang turun deras untuk berhenti. Hujan itu begitu besar, memukul-mukul atap halte yang menjadi tempatnya berteduh saat ini. Anginnya begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Membuatnya ngilu.

Tiba-tiba, dari kejauhan, datanglah laki-laki tinggi dengan badan sedikit berisi berjalan menghampirinya. Semakin dekat, sampai akhirnya Fina bisa melihat siapa itu. Dava. Dan dia membawa jaket. Fina langsung tersenyum senang melihatnya.
"Nih pake jaket gue aja, pasti lo kedinginan." Kata Dava. Suaranya menembus ributnya angin. Fina tersenyum. Ah baik sekali sahabatnya ini.
Namun, sebelum mencapai Fina, Dava berhenti. Ada seorang perempuan disana, di bagian jauh halte, memeluk dirinya sendiri. Perempuan itu tidak harus balik badan, tapi Fina tahu siapa dia. Moya. Sahabatnya, juga sahabat Dava. Yah, sebenarnya hts-annya Dava.
Fina sudah tahu bagaimana akhirnya. Dia sudah mengalaminya ribuan kali. Dava kemudian menaruh jaket itu di pundak Moya dan melingkarkan lengannya, melindungi perempuan itu dari hujan.
Setelah beberapa saat mereka berdiri diam seperti itu, barulah Dava sadar disana juga ada Fina. Duduk sendirian, basah, menggigil sekujur tubuhnya. Duduk memojok, mencoba berbagai cara untuk membuat dirinya hangat. Namun Dava tidak menegurnya, hanya tersenyum tipis. Dan Fina tahu lebih baik daripada menghampirinya. Dava tidak mau diganggu.
Beberapa saat kemudian, Dava mulai berbicara. "Dingin ya?" Katanya pasa Moya. Yang ditanya hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Kalau gue sih gak dingin karena ada lo yang selalu menghangatkan hati gue." Kata Dava yang langsung membuat pipi Moya bersemu. Dava kemudian melirik kearah Fina, kemudian mengedipkan sebelah matanya. Fina tahu kenapa.

***************************

"Fin, gue gak ngerti ya sama kalian para hawa. Kenapa sih pada jutek amat? Gue kan jadi susah nyari pacar." Kata Dava ngomel.
"Hahahaha kenapa lagi sih, Dav. Gagal mulu nyari cewek. Gak pro sih lo." Jawab Fina gemas sambil berjalan memasuki kelas yang bertuliskan 8A, kelasnya dan Dava.
"Yee bukan gitu. Dia nya aja yang gak mau dideketin. Gue ngomong dia jawabnya sepatah dua kata doang." Kata Dava.
"Nih, mau gue kasih tau gak? Lo itu ya kurang basa basi. Langsung to the point. Terus, kalau ngomong sama cewek itu yang manis kek. Dipuji apa gimana gitu. Masa gak ngerti sih." Ucap Fina.
"Contoh ya, kamu dingin? Aku sih gak, abis ada kamu yang menghangatkan hati aku. Gitu, Dav." Lanjutnya.
"Oalah, gitu. Ah ribet banget sih. Males gue." Jawab Dava meninggalkan Fina cekikikan sendiri.
Andai dia tahu bagaimana jadinya sekarang, dia tidak akan cekikikan seperti itu.

******************************

Yah, mungkin hujan saat ini menggambarkan perasaan hatinya. Mungkin Bumi lelah seperti dia. Mungkin Bumi sakit seperti dia. Mungkin Bumi ingin mengeluarkan semuanya. Menumpahkannya dalam bentuk hujan deras ini. Meluapkan kekesalannya terhadap manusia, yang merusak lingkungan tanpa perasaan.

Ini bedanya Fina dengan Bumi. Bumi bisa saja meluapkan semuanya. Tapi Fina tidak. Yah, tidak disini, tidak sekarang. Karena manusia terlalu buta untuk melihat tangisan Bumi, tapi tidak dengan sesamanya. Persamaan Fina dengan Bumi? Sama-sama dirusak manusia.

Setelah menunggu, lama sekali, sampai rasanya seabad sudah berlalu, akhirnya hujan itu reda. Fina segera melangkahkan kakinya pulang tanpa menengok kearah 2 orang lain yang ada di halte itu. Badannya sudah tak kuasa menahan dingin, baik fisik maupun dingin di hatinya.

Dear diary,
Aku sayang dia. Tapi hatinya, bukan untukku. Apa harus kurelakan saja? Atau harus kuperjuangkan? Aku ingin dia bahagia. Tapi egoiskah aku, kalau ingin mejadi kebahagiaannya?
Andai dia tahu, aku disini hancur menjadi kepingan berantakan yang tersebar dimana-mana. Apakah dia mau menghubungkannya kembali seperti puzzle rumit yang butuh waktu, atau apa dia akan pergi mencari sesuatu yang lebih........sederhana?
Aku memang rumit, susah, dan membuang waktu. Tapi bisa kuyakinkan padamu, aku tidak pernah cinta setengah-setengah.

Fina menutup buku diary nya yang kini basah terkena air mata yang mengalir deras di wajah mungilnya. Dia sudah mencoba untuk ikhlas. Berkali-kali ia panjatkan doa seperti mantra yang terucap dari mulut manisnya. Bagaimana bisa merelakan kalau masih menginginkannya? Bagaimana bisa melupakan kalau dia selalu ada?
Fina hanya ingin seseorang menunjukkan caranya. Dia pikir, dia sudah bebas dari rasa karena hal yang dia lihat setiap hari, membuatnya muak dengan cinta. Skeptis akannya. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Orang yang sudah rusak hatinya, disakiti berkali-kali, kadang justru malah mengerti arti cinta. Mengerti akibatnya. Mengerti konsekuensinya. Oleh sebab itu, mereka akan mencintai dengan sepenuh hati.

Lama Fina hanya berbaring di kasur, merasakan pedih yang tidak bisa disembuhkan. Akhirnya, setelah tersapu lelah yang luar biasa, dan dengan diiringi lagu Tahu Diri dari Maudy Ayunda, Fina masuk ke dunia tempatnya melarikan diri dari realita.

"......sungguh tak mudah bagiku, menghentikan segala khayalan gila
jika kau ada, dan ku cuma bisa meradang menjadi yang disisimu
membenci nasibku yang tak berubah......"

Jalan Tak BerujungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang