Dipungut Pilu

366 12 0
                                    

Aku ini, anak dari kebahagiaan dan angan.
Dilahirkan dengan sayap-sayap cemerlang, terbuat dari tawa orang sekitar.
Rambutku panjang, dengan untaian sutra selembut suara ibu, yang berpilin-pilin rumit menciptakan bentuk indah.
Bentuk yang mengingatkanmu pada cerianya anak-anak muda yang berlari di bukit, pada samar nyanyian burung di kejauhan, merdunya tak terhingga.
Sayang sekali, orangtuaku pergi, meninggalkan ku sendiri.
Sayapku ditebas oleh pahit kekecewaan,
rambutku dipangkas oleh gunting tajam nestapa, begitu kejamnya sampai habis ke akar.
Kini, aku anak pungut.
Ayahku pilu, ibuku lara.
Yah, apa boleh buat?

******************************

Begitu sampai di hadapan perempuan yang sangat disayanginya itu, Dava langsung mengeluarkan semua uneg-unegnya. Semua resahnya kala malam menjemput, semua penyesalan yang terkubur di hatinya.

"Kamu begitu indah, sehingga membuat aku buta. Aku lupa sama orang yang selama ini selalu ada untuk aku, nemenin aku ketika sedih, menenangkanku. Aku lupa, Fin. Dan aku minta maaf. Aku terlalu terbiasa dengan kehadiranmu, yang semakin lama menjadi bagian dari aku. Ketika semua itu hilang, aku baru sadar betapa kosongnya hati aku, Fin. Aku jadi rapuh. Tidak berdaya dan tanpa arah. Semua karena orang yang aku cintai selama ini, meninggalkan aku karena aku, dengan bodohnya menelantarkanmu begitu saja." Kata Dava lirih. Suaranya serak, menahan rasa sakit yang dia rasakan kini.

Fina hanya terdiam. Tak bisa memproses semuanya. Otaknya berhenti sejenak, mengaburkan indranya untuk memahami situasi di sekitar. Dia cuma melihat Dava, orang dulu begitu dikenalnya, sekarang tidak begitu lagi. Kini dia hanyalah figuran dalam hidup Fina. Perempuan itu bahkan tak yakin Dava masih jadi protagonisnya. Hidupnya kini adalah film penuh dengan tokoh antagonis berdandan seperti orang baik, dan Fina lelah menebak-nebak. Dia tak mau lagi mengambil resiko itu. Resiko yang seharusnya dia ambil, mungkin. Tapi tak ada yang tahu kan. Tuhan sudah mengatur nasib kita masing-masing sedemikian rupa sampai kalau Dia menghendaki, garis pertemuan beberapa orang tak akan pernah bersinggungan.

Begitu juga dengan kini. Kalau saja Fina mengambil kesempatan itu, siapa yang tahu? Mungkin saja dia akan berakhir sendirian dengan tangisnya di lantai kamar yang dingin, seperti yang sudah-sudah. Atau bisa saja dia nanti duduk di cafe disinari sang bola api yang hangat, menggelitik wajahnya. Menggenggam tangan cinta pertamanya, orang yang membuatnya merasa hidup seutuhnya. Tapi kini, Fina lelah sudah memikirkannya.

Lelah sekali.

Jadi dia tak berkata apa-apa. Berharap wajahnya bisa memperlihatkan semuanya ke Dava. Kerapuhannya, ketakutannya, kegelisahannya, dan keinginannya agar Dava mengerti.

Melihat ekspresi Fina, Dava tidak kuat lagi. Dia memeluknya erat, berharap bisa menyatukan kembali potongan hati yang dulu ia patahkan.

Jalan Tak BerujungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang