Minggu itu

368 11 0
                                    

Minggu itu, semua berubah.
Minggu itu, semua tak sama.
Kamu dan aku, bukanlah yin dan yang lagi.
Kamu dan aku, bukanlah teh dan gula lagi.
Kamu dan aku, bukan seperti bulan dan bintang lagi.
Kita itu sudah seperti kopi dan kecap.
Seperti jas hujan saat matahari sedang terik.
Seperti tumpukan selimut di hamparan pantai yang panas.
Tak ada hubungannya.
Berjalan di dua rel yang berbeda, tak bersentuhan.
Melayangkan semua kenangan yang pernah kita goreskan.
Tahu yang menyedihkan apa?
Dulu kita selalu saling melengkapi.

*********************************

Sudah berhari-hari semenjak perang dingin antara Dava dan Fina dimulai. Sebenarnya, Fina tak sanggup melanjutkan ini semua. Rasanya seperti separuh hatinya hilang ikut dibawa Dava. Dia ingin itu kembali, tapi tak tahu harus bagaimana. Dia tidak mau menyusahkan Dava lagi. Dava harus lihat kalau dia juga bisa mandiri.

Tapi terkadang, semua terasa begitu berat dan dia hanya butuh seseorang untuk berbagi bebannya. Menjadi sandarannya, walaupun hanya sebentar saja.

Tapi kepada siapa dia harus berpaling? Tak ada. Paling mentok hanya pura-pura peduli. Dan Fina tidak mau itu. Jadi ya mau tak mau dia pendam semuanya sendiri. Dia sekarang bagaikan botol soda yang habis dikocok, kalau dibuka tutupnya meledak lah dia.

Ayahnya kini sudah pindah rumah. Tak lagi satu atap dengannya dan Bunda. Kini semua sepi, tak ada lagi suara pertengkaran mereka yang biasanya mengisi hari-hari Fina. Perempuan itu kaget dia sempat berpikiran kalau suara orangtuanya bertengkar lebih baik daripada sunyi begini. Segalanya jadi terasa dingin. Tidak menyambut.

Sudah beberapa kali Ayah mencoba menjangkau Fina. Ditelepon? Ratusan kali mungkin. Apalagi di sms. Cuma ayah belum bertemu Fina sejak perceraian itu. Fina tahu kalau itu karena Bunda melarangnya menginjakkan kaki di rumah itu lagi.

Yah sudahlah. Malas Fina mengingatnya. Yang lalu biarlah berlalu. Tak usah diungkit-ungkit lagi, memangnya novel favorit yang selalu dibuka tutup berkali-kali.

Luka-luka itu sudah sedemikian rupa ia tutup. Bahkan sudah ia jahit. Tapi terus saja terbuka. Lebih lebar dari sebelumnya. Lebih sakit, dan memaksa untuk dirasakan.

Kini Fina duduk sendirian di kelas. Entah yang lain larinya kemana. Diam-diam ia melirik sana-sini mencari kehadiran Moya. Atau Dava. Tapi tak ada juga. Dimana sih mereka?
Ah tidak usah dipikirkan. Kan Fina ingin mandiri.

Fina sebenarnya gemas juga. Dia kan bertengkar dengan Dava, kenapa Moya juga ikut-ikutan menjauh? Apa Moya tahu dia mencintai Dava? Tapi mengapa dia diam saja? Kenapa tak sepatah katapun terucap dari bibirnya, entah simpati atau malah benci. Kenapa dia malah memilih mendiamkan Fina seperti ini?
Tidak mengerti dia. Semuanya terlalu rumit. Bagai benang-benang yang kini sudah menjadi gumpalan tak berbentuk, semakin ia coba untuk menguraikannya, semakin kusut benang itu. Lelah juga tangannya lama kelamaan.

Karena terlalu dalam memikirkan semuanya, Fina tak sadar Dava sedang berjalan dari pintu ke arahnya. Lalu, semuanya terjadi begitu cepat dan bersamaan.

Jalan Tak BerujungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang