Unwritten Destiny

770 15 0
                                    

Percayakah kamu pada takdir?
Pada hal-hal diluar kuasa kita.
Yang membuat kita merasa tak berdaya,
Karena semua di luar kendali kita.
Percayakah kamu pada takdir?
Pada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan.
Terjadi atas kehendak yang Maha Kuasa.
Percayakah kamu pada takdir?
Karena, pada akhirnya,
Takdirlah yang membawaku
Hadir bersamamu sampai saat ini.

******************************

Namanya Sharafina Labiba.
Tubuhnya mungil, kulitnya putih seperti mutiara dengan rambut lurus sebahu dan cokelat seperti karamel, apalagi kalau terpapar sinar mentari dan sering dibiarkan tergerai. Matanya besar, berwarna cokelat ke abu-abuan, dan bagaikan matahari terbenam, indah dengan caranya sendiri. Mengenyam pendidikan di sekolah favorit di kotanya. Fina memang anak yang pintar. Selalu berusaha membanggakan orang tuanya, walaupun kerap kali diabaikan.
Bukan broken home, walaupun bisa dibilang begitu. Anak satu-satunya, makanya sering kali kesepian. Tidak percaya takdir. Takut bola dan pastinya benci olahraga. Gila buku, kalau sudah baca, pasti masuk ke dalam dunianya sendiri. Dia dan toko buku itu bagaikan bunga dan matahari. Ya, pokoknya butuh aja.

Namanya Dava Rizqullah. Selalu jadi anak populer, karena selain enak dipandang, pintar juga. Gila bola. Kalo udah nonton pertandingan, gak bisa diganggu. Paling sebel sama yang namanya buku. Kata dia, kalau bisa nonton filmnya, ngapain harus dibaca? Takut serangga. Kadang suka iseng di waktu yang gak tepat.
Keluarganya sedikit berbeda dari kebanyakan. Dia dan ayahnya bagaikan teman lama yang tahu isi hati masing-masing. Dava adalah anak kedua, punya kakak bernama Raya yang berprofesi sebagai model.

Jadi, bagaimana dua orang yang tidak ada kesamaan apa-apanya ini bisa bertemu lalu bersahabat?
Ceritanya dimulai lama sebelum Jokowi menjadi presiden. Sebelum Taylor Swift konser di Jakarta, sebelum lagu The Heart Wants What It Wants dinyanyikan kalian para jomblo. Yah, intinya dulu sekali.

*****************************

Februari 2004

Hari itu terik. Matahari menyinari bumi terus menerus tanpa ampun. Tak ada awan yang berani menutupi Sang Bintang pusat tata surya kita ini. Angin pun sepertinya menghilang meninggalkan para manusia bermandikan keringat.

Seorang anak kecil sedang bermain di sekolahnya. Wajahnya merah, tak kuasa menahan panas. Sesekali butir keringat menetes dari dahinya. Poninya yang kini basah menempel di wajahnya. Rambutnya tidak diikat meski panas begini, membuat orang yang melihatnya jadi gerah sendiri. Namun, dilihat dari ekspresinya, dia tidak terganggu sama sekali dengan hal itu. Masih tetap bermain dengan sepasang kaki lincah bersepatu merah itu. Dia bermain sendiri, membuat orang mungkin bertanya-tanya, apa dia tidak punya teman? Jawabannya, ya. Dia memang tidak punya teman. Karena dia pemalu, sulit membuat percakapan ringan, dan awkward di setiap situasi. Pikirannya kerap penasaran, bagaimana nanti ketika dia dewasa, mencari pekerjaan atau jodoh?
Ironis memang, kalau melihat bagaimana dirinya di masa depan. Tapi dia masih belum tahu itu.

Maka teruslah ia bermain, sampai ada beberapa anak laki-laki menghampirinya. Kemudian mereka mulai mengejeknya, menindasnya, mengarahkan telunjuk-terlunjuk mereka ke arahnya. Perempuan itu sudah tidak tahan lagi. Keluarlah air mata dari sudut matanya. Sedikit, sedikit, sampai akhirnya mengalir deras. Sedangkan anak laki-laki nakal itu? Dia tidak memperdulikannya. Mengabaikan setiap tetes air mata perempuan itu. Sampai akhirnya seorang anak laki-laki yang pipinya juga merah, dengan rambut seperti mangkok, yang bergoyang ketika dia berlari berkata
"STOP. PERGI." Teriaknya sambil berdiri didepan anak perempuan yang kini sudah berhenti menangis, memandang laki-laki didepannya penuh arti.
Anak-anak yang diteriaki pun langsung pergi, tidak berani melawan. Mereka berlari tanpa melihat kebelakang, mengetahui betul untuk tidak melakukannya.
Maka yang tersisa adalah dua anak-anak yang kini sudah berdiri berhadapan, saling menatap. Setelah jeda yang agak lama, akhirnya si anak laki-laki berkata "Halo. Aku Dava, kelas A1, kamu siapa?"
Si anak perempuan, yang jarang sekali diajak berbicara dengan orang banyak, terdiam sebentar. Kemudian, dengan suara pelan dan tidak pasti, dia menjawab "Nama aku Fina."

Mendengar banyaknya keraguan dalam nada bicara Fina, Dava berjanji sejak saat itu ia akan memperlihatkan Fina seberapa kuat dan berani dia sebenarnya.
Sedangkan Fina, sejak saat itu dia berjanji akan selalu menjaga, menemani, dan menjadi teman sejati Dava, penyelamatnya.

Setelah kejadian itu, Dava dan Fina menjadi tak terpisahkan. Duduk selalu bersama. Pergi bersama. Tahu rahasia satu sama lain. Mereka begitu dekat sampai-sampai orang beranggapan mereka jodoh. Atau saling suka. Atau malah dijodohkan. Dava dan Fina hanya bisa menahan tawa mendengarnya. Karena kenyataannya, tak pernah ada perasaan diantara mereka lebih dari teman. Fina bisa saja bercerita tentang laki-laki yang disukainya, ataupun sebaliknya. Apalagi Dava. Memang cowok kali ya, bahan omongannya hanya seputar perempuan saja. Tidak ada perasaan cemburu, kecewa, apalagi patah hati.
Yah, setidaknya sampai sekarang.

Jalan Tak BerujungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang