Hati yang Terbelenggu

684 14 2
                                    


Kamu sudah mengunci hati ini
Menjadikannya tahanan
Memenjarakannya,
Menutupnya rapat-rapat.
Akankah hilang rasa ini?
Pedih menyiksa dada
Terbungkus rindu menyayat hati
Entah apa yang merasukiku
Semua buram, semua gelap
Semua hitam, semua samar
Pagi ini bisu,
Namun rasaku tetap menggebu.
Hati ini beku,
Namun tetap setia menunggu.

*************************

Moya.
Dia itu perempuan setengah indo, yang setiap berjalan menghipnotis orang disekitarnya. Kalau soal fisik, tidak ada yang menandingi cantiknya Moya.
Kebetulan sekali, sejak SD, Moya satu sekolah dengan Fina dan Dava. Awalnya mereka tidak dekat, karena Fina dan Dava seperti berada di gelembung mereka sendiri. Tapi akhirnya, melihat Moya sendirian tanpa teman, mereka bergaul dengannya. Karena mereka, apalagi Fina, tahu rasanya sendirian.

Fina sendiri tidak tahu kapan benih cinta mulai muncul diantara Dava dan Moya. Mungkin karena terbiasa dengan kehadiran masing-masing, tidak ada lagi kecanggungan diantara mereka. Yang ada hanya rasa nyaman. Dan rasa itu tumbuh perlahan menjadi sayang.

Hanya Tuhan yang tahu mengapa Dava merasa seperti itu terhada Moya, bukan Fina. Tapi mereka tetap bersahabat baik, Fina tetap menjadi nomor satu bagi Dava bahkan setelah perasaannya tumbuh untuk Moya.
Fina pun tidak pernah keberatan. Dia tidak pernah mengeluh, memaklumi kalau ditinggal sendirian, dan tidak memihak kalau mereka berselisih. Dan hal itu begitu dihargai Dava.

Fina tidak pernah memikirkan perasaannya terhadap Dava, karena dia selalu ada di dekat perempuan itu. Menjadi bagian hidupnya. Rasanya normal saja kalau kadang ia rindu. Senang kalau didekat Dava.
Ia tahu kebenarannya sekarang.
Kebenaran yang mungkin sudah ia ketahui jauh sebelum Dava memeluknya malam itu, namun selalu dia sangkal.

Masih dia ingat dengan jelas, ketika pertama kali Dava dan Moya memberi tahu kalau sebenarnya mereka saling suka, namun tidak ingin terikat dalam hubungan. Fina mengerti. Buktinya, orang tuanya, saling terikat karena cinta pada awalnya, tapi apa yang terjadi sekarang?

Fina tahu, tidak baik mencintai sahabat sendiri. Apalagi, kalau orang itu juga dicintai sahabat kita. Tapi, apa boleh buat. Hatinya punya pikiran sendiri yang tidak bisa dia kendalikan. Kadang hati memang bertanggung jawab atas perilaku irasional kita, dan ini merupakan salah satu contohnya.

Susahnya mencintai sahabat sendiri?Selalu dijadikan tempat cerita, termasuk tentang orang yang dicintainya. Tanpa mengetahui kalau setiap kata yang dia ucapkan, mengiris hati bagai belati.
Sakit pasti, melihat orang yang kita cintai, mencintai orang lain. Tapi lebih sakit lagi, harus pura- pura tidak peduli dan ikut bahagia untuknya. Padahal hati sudah menjerit.

Tapi, apa boleh buat. Yang bisa dilakukan adalah tersenyum mendengarkan, sambil terus berdoa untuk ikhlas menerima. Semua demi kebahagiaannya.

***************************

Kriing.
Bel istirahat yang berbunyi nyaring membangunkan Fina dari lamunannya.
"Woy. Bengong mulu. Ayo ke kantin!" Kata Dava.
"Males ah. Capek. Udah sana sendiri aja. Eh, ada Moya deng." Jawab Fina yang sedang mencoret-coret buku catatannya.
"Kenapa sih, lesu amat. Yaudah nanti gue kesini lagi. Jangan kangen. Dah." Dava berkata sambil berlalu.

Fina masih saja mencoret-coret buku catatannya. Menulis suara hatinya yang tidak bisa ia katakan. Hanya bisa ia tulis dalam bentuk puisi sederhana, namun penuh arti dan rasa.

Bagai sinar rembulan,
Indah ditengah gelapnya malam.
Bagai setetes air,
Yang memuaskan dahagaku.
Bagai kabut di pagi hari,
Membutakan ku.
Buta akan indahmu,
Buta akan cahayamu,
Buta akan rasa,
Yang kini terpahat indah di hatiku.

Tiba-tiba, datanglah Moya. Mengangetkan Fina, membuat tenggorokannya kering seketika.
"Nulis apa sih, serius amat." Katanya.
Cepat-cepat Fina tutup buku tersebut, berharap Moya akan mengabaikannya.
"Bukan apa-apa kok, Moya. Biasa, gue kan gampang bosen jadi gue suka nyoret-nyoret buku gini." Jawab Fina gelagapan.
"Ohh yaudah. Dava mana?" Tanya Moya, mengalihkan pembicaraan.
Fina menghela napas sesaat, lega. "Di kantin, Moy." Katanya.
"Okedeh. Gue nyusul dia dulu, ya."
"Okay."

Tak lama setelah Moya pergi, datanglah Dava membawa kantong plastik hitam di tangannya.
"Eh, ini orangnya. Dicari Moya." Kata Fina sok tidak peduli.
"Gampang deh ah. Yang penting, lo makan dulu nih. Nanti maag. Pasti belom sarapan kan? Dasar cewek. Gak usah sok diet deh. Lo itu udah kurus tau. Coba aja lo gak peduli apa kata orang, Fin. Gak penting. Lo itu cantik apa adanya. Nanti juga mereka pada sadar." Kata Dava santai.

Aduh.

Kalau saja Dava tahu seberapa berarti ucapannya barusan bagi Fina. Membuatnya berfikir. Dan yang lebih parah, berharap.
Fina sudah lelah berharap. Setiap dia ingin melanjutkan hidup dan melupakan segalanya, Dava melakukan atau mengatakan hal-hal yang membuatnya kembali berdoa kepada Tuhan untuk satukan mereka. Setega itukah Dava, atau dia hanya tidak menyadari hasil perbuatannya pada Fina? Apakah memang ini takdir perempuan, disakiti terus menerus? Digantung tanpa ada kepastian? Diperlakukan bak mainan?

*****************************

Terima kasih buat Alia Ratasya yang curhatannya selalu menginspirasi. Love you to the moon and back tasy:)

Jalan Tak BerujungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang