Ekspektasi itu membunuh.
Membuatmu menginginkan hal tak pasti.
Ekspektasi itu resep celaka.
Memaksamu untuk kecewa dengan keadaan yang sebenarnya.
Ekspektasi itu menyiksa diri
Membiarkan imajinasimu terbang liar, padahal seharusnya diikat oleh rantai realita.
Maka kuburlah ekspektasi itu.
Kuburlah dalam-dalam.
Jangankan kau sentuh, kau lirik saja jangan.
Nanti kau akan jatuh, menuju sumur kekecewaan yang tak berdasar,
dan tidak ada seseorang pun yang bisa menyelamatkan.***********************************
Kenaikan sudah dekat. Fina sudah bisa menghirup aromanya. Nilai rapotnya cukup memuaskan, paling tidak kalau dilihat tidak akan meninggalkan rasa sesal. Tapi semua itu sudah tidak pentig lagi, karena sekarang Fina akan membuka jalan baru baginya.
Fina akan pindah. Ayahnya bekerja di Palembang sekarang dan dia ingin ikut. Sebenarnya bisa saja dia tinggal bersama bunda, tapk dia ingin memulai lagi. Sudah penat dia di Jakarta. Dengan hal monoton yang terus-terusan terjadi. Dengan memori-memori yang masih menghantuinya hingga kini. Dengan orang yang dulu pernah singgah di pikirannya. Kini sudah pergi, tapi masih saja keras kepala tinggal di benaknya.
Lebih baik dia mundur. Bertemu teman-teman baru, membuat kenangan baru, menjaga agar dirinya tidak jatuh ke lubang yang sama. Tidak, kali ini tak akan dia biarkan dirinya berakhir se menyedihkan ini. Biarkan saja tertutup bab dalam hidupnya ini. Tak akan dia buka lagi.
Dia belum memberi tahu Dava. Yah, sebenarnya ingin sekali. Tapi bagaimana caranya? Mereka diam-diaman sekarang, terlalu canggung untuk memulai pembicaraan. Seperti orang tak kenal saja. Walaupun dia sadar Dava masih sering diam-diam membantunya, tapi kini ucapan terima kasihnya tertahan, hanya mampu disampaikan lewat senyum tipis yang dia lontarkan sekali-sekali.
Moya? Dia sudah benar-benar menarik diri dari kehidupan mereka berdua. Membiarkan cintanya padam, memberi ruang untuk Dava dan Fina bisa bersama. Sebenarnya Fina tidak tega membiarkan pengorbanannya sia-sia. Tapi, mau dikatakan apa lagi. Tak ada yang bisa dilakukan.
Urusan kepindahan semua sudah selesai. Ayahnya mengurus semuanya. Memang, dulu dia begitu membenci ayahnya. Mendorongnya menjauh. Tapi kini untungnya dia sudah menemukan cara untuk memaafkannya. Mengikhlaskan semua, dan bersikap dewasa. Tak terbayang betapa senang ayahnya ketika hari itu menerima telepon dari putrinya, mengatakan bahwa dia sudah dimaafkan dan Fina ingin sekali tinggal dengannya. Tak perlu pikir panjang langsung disetujui kemauan Fina.
Jadi kini hanya ada satu hal mengganjal di benak Fina. Bagaimanapun juga, apapun yang terjadi, Dava tetap sahabatnya. Dava berhak ia beri tahu. Dia tidak akan jadi pengecut yang membuang orang begitu saja, apalagi yang sudah repot-repot menemaninya dalam susah maupun senang. Maka ia berdehem, membetulkan kemejanya yang kusut lalu mengetuk pintu rumah Dava.
Beberapa saat kemudian, pintunya dibuka. Dengan orangnya langsung lagi. Dava terkejut bukan main melihat Fina, namun dengan cepat menyembunyikannya.
"Eh, Fin. Tumben dateng. Ada apa ya?"
Kata Dava sambil tersenyum tipis.
"Boleh gue masuk?" Jawab Fina.
"Yaampun maaf ya gue lupa. Sini masuk." Kata Dava sambil membukakan pintunya lebih lebar.Mereka kemudian duduk di sofa ruang keluarga. Fina menghela napas, mengepalkan tangannya yang bergetar, lalu berkata, "Dav, kenaikan kelas ini, gue mau pindah."
"Lo.....ma-u ngapain?"
"Pindah ke Palembang sama Ayah, Dav." Kata Fina mengulangi perkataannya.
"Tapi kenapa mendadak banget?"
"Sebenarnya nggak juga. Gue cuma....nyari kesempatan yang tepat buat ngasih tau lo." Kata Fina."Lo gak ngasih gue waktu Fin."
"Waktu untuk apa lagi, Dav. Gak ada yang harus dilakukan lagi. Semua urusan gue udah selesai disini."
"Lo tau waktu untuk apa."
"Apapun yang lo lakukan gak akan mengubah segalanya, jadi saran gue lo gak usah buang-buang tenaga."
"Tapi bagaimana kalo gue beneran bisa, Fin?"
"Gak ada yang tahu."
"Dan lo gak berniat nyari tahu. Iya?"
"Maaf Dav."Dava mengambil napas, seakan akan ada yang baru saja meninju ulu hatinya. Tega sekali sahabatnya ini. Kalaupun dia tidak bisa membalas perasaan Dava, paling tidak dia masih bisa menjadi seorang sahabat dan menjaga perasaannya kan?
Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Tidak percaya Dava dengan kata-kata itu. Mana ada sesuatu yang begitu pasti, kalau hidup sendiri saja sudah seperti berjalan di jembatan goyang."Kapan lo berangkat?"
"Dua minggu lagi."
"Boleh dua minggu itu gue pake?"
"Buat apa?"
"Jadi sahabat lo, mungkin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Tak Berujung
RomanceKalau hidup mengubah pandangan tentang cinta dan kasih sayang, apa kita masih bisa berpegang pada keyakinan?