Tak tahu awalnya bagaimana,
Berdiri disini, ditengah kesendirian
Ditengah waktu yang terus berjalan
Ditengah hamparan tak bertepi
Berdiri disini,
Dengan air mata mengalir
Dengan kedua kaki yang tak bisa menopang badan,
memaksaku jatuh terduduk
Dengan hati yang luka,
Yang ditambal terlalu banyak,
Yang robek terlalu lebar,
Yang teriris terlalu dalam
Berdiri disini,
Tak terselamatkan lagi.******************************
Pagi ini Fina pergi ke sekolah dengan kondisi berbeda sekali dari biasanya. Rambutnya tidak disisir, bajunya kusut, keluar dari roknya. Tapi ekspresinya datar saja. Tidak tersenyum, tidak juga sedih. Menatap lurus ke depan, tanpa menoleh meresapi lingkungan sekitar.
Dia sudah tidak peduli lagi.
Dan percaya atau tidak, itu lebih buruk dibandingkan merasa sedih, atau sakit, atau apapun.
Paling tidak dulu dia masih bisa merasa, sekarang dia mati rasa.
Kebas.
Hanya kekosongan yang mengisi dirinya, memeluknya erat. Tak bisa dilepaskan lagi. Rasanya sama saja seperti robot. Cuma berjalan lurus tanpa sadar ada apa di lingkungannya.Teman-temannya melihat aneh. Tanda tanya terukir jelas di wajah mereka. Fina, yang biasanya selalu rapih, sekarang seperti ini. Apalagi Fina selalu peduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Menjaga image. Ada apa dengannya? Orang-orang bertanya dalam hati.
Tak terkecuali Dava. Yah, walaupun dia sudah menduga alasan kenapa Fina jadi seperti itu. Dava tak tega melihatnya. Padahal tanpa ia sadari, ia termasuk orang yang mengecewakan Fina.
Kini Fina sudah duduk di bangkunya. Matanya menatap lurus ke depan. Tanpa ekspresi. Rambutnya tergerai kusut. Dava melihat dari ujung matanya. Lama-lama, Dava tak tahan juga. Dilihatnya ada sisir di meja Shila, teman sebangkunya, maka diambilnya benda itu dan segera ia hampiri Fina.
Tanpa berkata apa-apa, ia menyisir rambut Fina. Pelan-pelan sekali, sambil ia berdoa agar Fina tidak kesakitan. Dia tahu, kalau dia mulai berbicara dan menanyakan apa yang terjadi padanya, Fina akan mulai menangis. Dan Dava, lebih baik mati daripada melihat Fina menangis.
Dava kemudian mengambil karet rambut di tas Fina, di tempat Fina selalu menyimpannya sejak mereka kelas 3 SD, kemudian menguncir rambut Fina lalu menyelipkan rambutnya yang tak bisa dikuncir karena masih terlalu pendek di belakang telinganya, agar muka perempuan itu bisa terlihat lebih jelas.
Fina masih saja diam, ekspresinya datar, tak membiarkan Dava membaca emosinya. Fina masih sakit hati, tapi kalau Dava begini, mana bisa Fina terus-terusan marah. Padahal Dava tidak pantas dimaafkan sekarang. dava sudah mengingkari janjinya. Janji yang dulu ia buat, yang selalu Fina ingat saat hari-harinya begitu sulit, janji yang kini rusak dan tak bisa dibetulkan lagi. Belum lagi Dava tampaknya tidak ingat apa-apa. Tak ada ekspresi bersalah di wajahnya. Hanya kekhawatiran mendalam.
Tapi ia juga tak mau Dava mengasihani dirinya. Ia tidak perlu simpati orang lain. Sudah muak rasanya mendengar kata-kata penyemangat tak berarti keluar dari teman-temannya tanpa ada satu pun yang mengerti. Maka setelah mengambil nafas dalam-dalam, ia berkata
"Kemana lo saat gue butuh?".
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Tak Berujung
RomanceKalau hidup mengubah pandangan tentang cinta dan kasih sayang, apa kita masih bisa berpegang pada keyakinan?