Esok harinya, yang Hira harap akan berubah dari seminggu yang lalu ternyata masih sama saja. Dia bangun tidur dengan perasaan bimbang dan sedih.
Dia sudah tak sanggup terus marahan dengan Malik, tapi terlalu sakit hati untuk memaafkan lelaki itu. Penjelasan darinya sepertinya tak cukup, tapi Hira tak tahu dia perlu bukti yang seperti apa.
Hari-harinya berlalu dengan gelap, seperti langit Jakarta yang sekarang sedang mendung-menudungnya. Kelas terakhir Hira telah selesai beberapa menit yang lalu, kini dia berdiri di depan gerbang kampus dengan ponselnya menyala. Dia mencoba menghubungi Anaya untuk meminta jemput.
Saat dia hendak meletakkan ponselnya di telinganya, seseorang memanggilnya. Membuat Hira memutuskan sambungan telepon itu dan menatap seorang gadis yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Gadis itu senyum ramah ke arah Hira. "Hai! Hira, kan?"
Hira memandang gadis di depannya dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Nampak sangat mengintimidasi.
"Gue, Kinara. Bisa bicara sebentar?"
Mendengar namanya membuat Hira sedikit mengeluarkan sebuah senyuman, namun dipaksa. Demi formalitas saja dan tanda menghormati.
Dalam hati dia membatin, cantik. Pantes kak Malik naksir.
Mereka berdua duduk di sebuah kedai kopi dekat kampus. Belum memesan apapun ketika masuk.
"Gak mau pesan apa-apa?" Tanya Kinara.
Hira mendesah pelan. "Langsung aja. Gue gak suka basa-basi."
"Oke. Sepertinya lo marah sama gue. Hira, maaf. Semua berita yang keluar belakangan ini rencana gue dan gue tahu itu salah. Gue minta maaf."
"Kenapa?"
"Gue juga gak tahu apa yang gue pikirkan ketika ngelakuin hal itu, tapi sekarang gue sadar semua itu salah. Dan gak akan ada yang bahagia, apalagi lo. Lo pasti sakit hati banget." Kinara menggenggam tangan Hira dan menatap sorot gadis di depannya itu. "Jadi, dengerin apapun yang mau Malik jelasin. Malik gak salah di sini, yang salah gue."
"Gue sama Malik murni sahabatan-"
Hira memotong. "Gak ada persahabatan murni antara lelaki dan perempuan."
Kinara menyandarkan punggungnya di kursi dan menghela napas sejenak. "Ya, lo benar. Gue memang sempat menyukai dia, jauh sebelum gue mengenal apa itu cinta. Cuma cinta monyet, Ra. Dan sekarang, gue cuma menganggap dia sahabat cowok gue."
Kinara memajukan badannya, kembali menggenggam tangan Hira. "Malik orang baik dan dia gak akan pernah ngelakuin hal yang lo pikirin di otak lo. Sekali Malik menyukai seseorang, maka dia bakalan serius. Dia gak bakalan berani nyakitin hati orang itu."
Hira mengangguk. "Gue tahu."
"So, gue pikir tugas gue selesai. Apa gue dimaafkan?"
Jika tadi Hira menampilkan senyum palsu kepada Kinara, kini dia tersenyum tulus kepada gadis itu. "Dimaafkan. Makasih, ya."
"Gue juga berterima kasih karena lo mau maafin gue." Kinara berdiri dari duduk. "Gue pergi dulu. Malik udah gue suruh ke sini, dia bakalan jelasin sisanya."
Dia hampir meninggalkan Hira, tapi segera duduk lagi. "Boleh minta nomor hp, lo?"
"Buat?"
"Sist, can we be friend? Gue rasa kita bakalan cocok buat nge-gosip."
Hira tertawa mendengar jawaban Kinara, kepalanya mengangguk tanda dia mengiyakan ajakan untuk berteman dengan Kinara.
Hira mengembalikan ponsel Kinara setelah mengetikkan sebaris nomor. "Gue tunggu telepon dari lo, Kak Kinara."
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is An Idol | Mark Lee ✔️
Fanfiction[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Ini sebuah kisah fiksi yang dibuat oleh seorang penggemar yang jatuh cinta kepada idolanya. Mungkin ini juga mewakili perasaan kalian yang telah jatuh cinta kepada idola kalian sebagai seorang lelaki. kisah ini...