twelef

14 2 0
                                    

ΠP A Y A HΠ
~'~'~'~'~'~'~'~

Langkahnya lunglai, berusaha dengan segenap hati Bahtera melangkahi satu demi satu anak tangga menuju ruang OSIS. Ada beberapa hal yang harus dia selesaikan secara berangsur supaya nantinya tidak terlalu keteteran, karena pria itu sendiri pun tidak senang kalau harus mengerjakan sesuatu yang mendekati deadline.

Sesampainya di depan pintu ruang OSIS, Bahtera berhenti sejenak mengambil napas dan merenggangkan otot tubuhnya sekaligus menghilangkan rasa kantuk. Kalau saja dia tidak terjaga semalaman guna membantu menghitung dana dari pekerjaan sang ibu, pria itu tidak akan menjadi seperti sekarang ini.

Sebuah kunci dia keluarkan dari kantung celana, kemudian dibukalah pintu ruangan itu setengah. Gelap sebab belum ada yang menyalakan lampu. Setelah mengucek mata sejenak, Bahtera terseok-seok melangkah masuk ke dalamnya.

Menyalakan lampu, kemudian menduduki kursi kebesaran dan mengeluarkan buku catatan untuk dia tuangkan ide-ide ajaib. Sembari menunggu Jehian, pria itu merogoh botol minum ukuran kecil berisi kopi, yang sengaja dia bawa dari rumah untuk setidaknya mampu membuatnya terjaga sekali lagi.

Satu tegukan minuman pahit itu sudah masuk ke dalam kerongkongan, memberi sedikit kesegaran pada matanya. Pulpen yang dia apit pada sela-sela ibu jari dan jari telunjuk berputar-putar selagi dia berpikir. Pikirannya berkutat pada beberapa pilihan ide lomba untuk peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang terhitung dua minggu lebih lagi.

Matanya terpejam, berusaha mengulik otak jeniusnya lebih dalam, memaksanya untuk bekerja lebih padahal pria itu sendiri juga tahu kalau sebenarnya dia butuh istirahat.

Pintu ruang OSIS terbuka selagi dia tenggelam dan menyelam. Seperti biasa, kedua jemarinya bertaut dan menyangga kepala pada dahi. Dia bahkan belum menghiraukan sesiapa yang berada di ambang pintu sekarang.

"HOAAAAHM ..." Suara seseorang menguap terdengar lumayan keras, bisa dia bayangkan bahwa orang itu adalah Jehian yang kebiasaan menguap tanpa menutup mulutnya sembari merenggangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku.

Pria yang semula di ambang pintu melangkah lunglai memasuki ruangan OSIS. "Kalo mau ada diskusi berdua jangan dadakan kenapa, Ter. Buset, dah. Lu telpon tadi aja gua belom buka mata."

Sebuah kekehan kecil bersuara dari mulut Bahtera. "Sorry, sorry. Udah kebiasaan."

"Santai bener lu ngomong begitu, melek-in dulu tuh mata," cerocos Jehian yang baru sadar melihat Bahtera berbicara dengan mata terpejam.

Sebuah toyoran keras mendarat di kepala Bahtera yang sedari tadi berusaha dia tegakkan, langsung saja matanya terbuka lebar. Menatap Jehian dengan tatapan membunuh. Tapi, kemudian pria itu malah tertawa terbahak-bahak, setelah melihat ekspresi wajah partner-nya yang nampak begitu ketakutan. Disusul juga tawa Jehian, menghiasi ruang OSIS kebesaran mereka berdua pagi itu.

Setelah mengisi amunisi, yakni: nasi uduk dan gorengan. Keduanya tidak ingin membuang waktu untuk bersantai-ria lagi, segera mereka mendiskusikan lomba apa yang menarik untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Pilihannya ada lumayan banyak, sengaja karena untuk berjaga-jaga dalam diskusi keseluruhan anggota OSIS serta MPK.

"Gua sih, pengennya mini soccer ada di lomba."

Bahtera menarik napasnya sejenak. "Nggak bisa, Je. Lomba yang jenisnya melalui babak penyisihan, semifinal, sampai final itu nggak bisa kalau harus dalam satu atau dua hari. Minimal tiga sampai empat hari, dan itu diadakan biasanya kalo Classmeeting." Perkataannya terhenti, Jehian masih menyimaknya dengan seksama. "Tema yang pengen gua angkat kali ini kayak mengingat banget jasa-jasa para pahlawan gitu. Contoh, lomba balap egrang karena bambu runcing yang dulunya dipakai sebagai alat perlawanan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ark and His PierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang