Rigor yang baru saja turun dari motor langsung menoleh, kemudian tersenyum menghadap Yuke. Ia segera simpan helmnya dan buru-buru menghampiri temannya yang sedang duduk di urutan anak tangga terakhir.
Yuke membalas senyuman tersebut dengan tatapan ramah. Akhir-akhir ini hubungan mereka mulai membaik. Hubungan sahabat, tidak lebih. Belum juga. Yuke tidak yakin betul hubungannya dengan Rigor terbilang sahabatan atau bukan, yang pasti tidak seerat dirinya dengan Gilar yang sudah lama sekali.
"Nggak lecet, kan? Awas aja kalo nanti gue cek terus ada baret-baret," ucap Yuke dengan ibu jari yang digoreskan ke lehernya.
Penuh percaya diri, Rigor meminta tempat—persisnya bagian pinggir anak tangga sejajar di samping Yuke untuk ia duduki juga. "Minggiran dikit, dong. Gua pegel." Diikuti dengan bokongnya mencari bagian yang nyaman. Ia menghela napas kasar seraya berselojor kaki tepat di dekat motor Yuke yang ia parkir barusan.
Yuke hanya diam, tak lama kemudian ia menyadari sesuatu. "Gimana? Kak Yorin nggak jadi dibawa Om Pramu, kan?" Anak bungsu Raksa tersebut merangkul bahu Rigor dan tak memudarkan senyumannya.
Gadis dengan kucir ala ekor kuda tersebut mengandalkan teman laki-lakinya yang ini untuk memata-matai ayah sahabatnya dan kakaknya. Ia juga bingung, mengapa bisa begitu akrab dengan Rigor? Padahal apa yang Rigor lakukan pada kakaknya tidak begitu baik. Rigor sering menyakiti hati Yorin demi kesenangannya di luar itu. Namun Yuke yakin, kalau Rigor tak sejahat yang ia kira.
"Lu beneran mau gantiin Yorin? Emang lu bisa jadi cantik kayak dia?" Rigor mengedarkan pandangannya dari ujung rambut sampai ujung sepatu Yuke. Ujaran tersebut pantas dimaki oleh si gadis.
"Lo ragu? Gue kan pinter! Masalah kayak gitu mah gue juga bisa!" Yorin adalah kakak kandungnya. Ia percaya pasti di dalam tubuhnya ada banyak DNA yang sama, meskipun itu belum tentu berpengaruh. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. "Nih, ya, gue juga percaya, kalo Kak Yorin bisa kuliah pasti gue juga bisa."
Rigor memundurkan kepalanya tidak percaya diri. Ia jadi sungkan membahas masalah ini pada Yuke. Ada rasa bersalah yang menjorok ke dalam dirinya tentang kekasihnya, Yorin. Bagaimanapun juga, ia tak sepantasnya melakukan hal bejat itu. Ia tahu Yorin adalah gadis yang kuat dan tidak akan jatuh meski ia menyakitinya berkali-kali. Secara tak langsung, ia tidak sengaja melakukan hal tersebut sehingga mengecewakan belahan jiwanya sendiri.
"Kenapa, Gor?" Raut wajah laki-laki di sebelahnya sangat murung. Yuke bisa menebaknya kalau ada sesuatu yang dipendam oleh Rigor. Mungkin tentang kakaknya, Yorin. "Kak Yorin sejauh ini udah bantuin gue makeup sama tata rambut-"
Rigor menyela, "Gua sayang sama Yorin, Ke. Tentang uang, duit yang gua minta ke kalian, itu semata-mata gua sakit. Gua stres kagak ada uang buat main ke club. Gua kagak bisa netralin emosi gua sendiri kecuali main di sana. Gua kagak ngerti kenapa gua bisa ngelakuin itu, padahal gua sayang sama Yorin, gua cinta sama Yorin. Dan gua berhasil bikin dia ngejauh dari gua."
Terbongkar yang sebenarnya. Rigor memang tak pernah bermaksud seperti itu. Perlakuannya hanya efek spontanitas yang tidak terasa. Ia tidak kuat menahan amarahnya jika Pramu benar-benar menyeret Yorin dari kehidupannya yang semula baik-baik saja.
"Terus Gilar gimana?"
Sontak Rigor mematung dan ekspresinya berubah datar. Peristiwa beberapa waktu lalu, tentang dirinya yang merampas uang saku milik Gilar di sekolah membuat keteguhannya runtuh.
"Ya, cuma dendam dikit. Bukan Gilarnya, kok. Salah siapa dia anak Pramu."
Yuke hanya bisa diam seribu bahasa. Kakinya ia tekuk sambil merenung menatap sepatunya. Merasa iba terhadap teman barunya tersebut. Akhirnya ia tahu kalau Rigor adalah orang baik. Orang yang mencintai kakaknya dengan sepenuh hati, maka ia bertekad membalas dendamnya pada pelelang kurang ajar itu.
"Sekarang gue ngerti, gue paham. Gue jadi malu udah pernah nyalahin lo dalam masalah gue sebelumnya. Ke depannya, gue berharap lo bisa ketemu sama titik bahagia lo." Menoleh ke arah Rigor, kemudian mendorong kepalanya dengan tujuan bercanda. Sehingga lelaki di sampingnya menemukan daya tarik zona pertemanan yang menyenangkan.
"Kalo mau mabok, bilang aja ke gue. Kita bisa minum-minum bareng. Jadi makin seru, deh," sambung Yuke.
"Lawak lu. Jadi cewek kaleman dikit coba. Gua makin kagak yakin lu bisa sama Pramu," goda Rigor.
Tidak terima, Yuke menghimpit tubuhnya paksa dengan tubuh Rigor sampai lelaki itu merasakan sempit di sela-sela dirinya dan cekalan tangga. "Terus gue harus gimana?! Ngebiarin motor kesayangan gue diambil bokap terus nggak lanjutin kuliah?!" Dilanjuti baku hantam yang sangat tidak terkendalikan. "Lo mau gue luntang-lantung kayak lo? Lo mau gue nggak punya masa depan terus jadi perawan tua?"
Tiba-tiba saja gadis tomboi tersebut menghentikan aksinya, dan memeluk erat temannya. "Lo mau gue miskin?" lirih Yuke gemetaran. Dibalas tepukan bahu dari Rigor lengkap juga dengan senyuman khasnya yang dapat memikat siapa pun yang melihat.
"Sekarang gua tanya balik sama lu, seberapa penting ini bagi lu," ucapnya sembari mengelus body motor Yuke yang diparkir dekat dengan mereka. "Gua emang kagak berpengalaman kalo masalah pendidikan. Tapi itu terserah lu lagi mau ngelanjutin kuliah apa kagak."
Yuke hanya diam sambil mengangguk tanda mengerti. Begitu pengertiannya Rigor tersenyum terhadapnya tanpa tersulut emosi. Bukan saran, setidaknya ini bisa membantu Yuke membuka hatinya lagi untuk mengikhlaskan sesuatu yang nyata.
"Mau lu miskin kek, lu perawan tua kek, tapi bagi gua pendidikan itu nomor satu. Mumpung masih muda, kenapa lu kagak cari kerja aja sampe dapet ide mau ambil jurusan apa?"
Ucapan Rigor ada benarnya juga, pikir Yuke. Selama ini ia hanya mengamati dari sudut pandang dirinya saja sampai-sampai ia lupa kalau masih ada cara lain untuk keluar dari masalah.
"Terakhir, lu jangan mau berubah jadi orang lain. Kalo dipaksa sama keadaan, tetep jangan mau. Karena gua tau, kagak gampang bangun individu yang kuat dan berani kayak lu. Lu harus jadi diri lu sendiri, Yuke yang gua kenal."
Yuke membalas, "Harusnya lo nggak nolak juga, Gor! Kan, gue ada ketertarikan buat berubah jadi lebih cantik! Lebih kalem kayak yang lo bilang tadi!"
"Pesan gua, mending lu nyari aman aja. Kesempatan itu kagak dateng dua kali. Lu pikirin jalan keluarnya mateng-mateng biar kagak tersesat makin jauh. Inget, ini menyangkut masa depan lu juga."
Tampaknya Yuke juga salah besar menilai seorang Rigor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be [Completed]
General FictionSemua orang tentu memiliki kepribadian yang berbeda. Tidak mengenal mereka kandung atau bukan. Lantas, bagaimana jika kakak beradik yang tinggal bersama mengatasi sikap yang berbanding terbalik dari masing-masing? Temukan jawabannya dalam cerita ini...