Hubungan antara Yuke dan Rigor sudah diketahui Yorin dan juga Gilar. Mereka berempat saling kenal, tetapi masing-masing masih diselimuti rasa canggung. Sampai detik ini pun Yorin belum berani tegas menyudahi hubungan kekasihnya dengan Rigor, sedangkan Gilar merasa dirinya tersingkirkan semenjak kehadiran orang yang pernah merampas uangnya.
Jujur, Yorin agak sakit hati melihat adiknya lebih akrab di dekat Rigor dibanding dirinya. Meskipun lelaki berengsek itu sering memamerkan kemesraannya dengan perempuan lain di club malam, tetap saja ia masih memiliki sedikit rasa suka yang dipendam. Tidak bisa melepaskan itu wajar baginya. Kala kenangan dirinya bersama Rigor lebih banyak ia simpan. Hanya saja ini adiknya, ia juga harus belajar merelakan hak yang ia punya.
"Lo sama Kak Yorin aja sono! Jangan deket-deket gue!" seru Yuke seraya mendorong kecil punggung temannya, Gilar.
Gilar tersentak ke depan sehingga mengenai tubuh mungil Yorin. "E-eh sorry. Adek lu kasar tadi."
Yorin refleks menoleh dan senyuman manisnya mengembang. Yang dikenai barusan itu bagian pundak kiri. Tidak terlalu sakit, tetapi agak malu. Karena model pakaiannya yang terbuka. "Nggak apa-apa. Maklumin Yuke, ya. Dia emang sering kasar, tapi aslinya baik, kok."
Perasaan aneh mendadak muncul pada hati Gilar. Semula kesal, kemudian berubah menjadi relaks setelah menyentuh bahu gadis itu. Atau mungkin pengaruh senyumannya yang manis bagai permen kapas. Tidak mungkin ia nyaman, bukan? Wajah cantik Yorin juga tak asing baginya. Seperti ada yang mengganggu dalam kepala. Namun, Gilar tak ingat pernah bertemu di mana sebelumnya.
"Lu pulang sama siapa nanti?" tanya Gilar basa-basi, meski ada niatan ingin mengantar Yorin pulang.
Hari ini mereka—Yorin dan Rigor berencana memilih universitas serta fakultas yang cocok untuk Yuke dan Gilar. Keduanya tidak ingin dipisahkan, oleh karena itu Yorin terpaksa mencari universitas yang memiliki jalur beasiswa.
"Em, Yuke mungkin?" gumam Yorin, matanya memandang sang adik. "Kalo nggak, aku bisa jalan kaki." Yuke sibuk debat pendapat bersama Rigor. Ia jadi ingat kalau Yuke pasti akan mengantar Rigor pulang dahulu.
Persis dengan Yorin, Gilar juga sesekali melirik sepasang teman yang tak henti-hentinya saling mengomel. "Elah ... Entar Rigor gua paksa suruh beli motor sendiri, dah! Biar kagak nyusahin!" Ujaran tersebut ditujukan untuk laki-laki di samping Yuke, walaupun ia sedang berbincang-bincang bersama Yorin di tempat yang agak jauh dari mereka berdua—Yuke dan Rigor.
Sejatinya sibuk di tempatnya masing-masing. Yuke dan Rigor berdiskusi di sofa panjang yang ada di dalam ruang kerja Yorin, lengkap dengan laptop milik Yuke. Sedangkan Yorin tetap pada tempatnya, disusul oleh Gilar yang sebelumnya didorong Yuke. Yuke kesal kalau posisi dirinya harus di tengah-tengah antara laki-laki tersebut.
Yorin tersenyum kikuk. "Aku bisa sendiri. Nggak apa-apa Yuke pulang sama Rigor. Aku udah kebiasaan juga jalan kaki."
"Lu cewek. Cowok lu tuh, kagak peka. Lu kagak bisa dibiarin pulang malem-malem apalagi jalan kaki sendirian. Apa kata orang nanti?" Selain kekasihnya, Yorin juga tidak peka. Padahal niat awal Gilar ingin menjalin hubungan berdua lebih dalam lagi. Mengantarkan pulang, lalu esok harinya bersiap untuk pergi jalan-jalan bersama. Pasti menyenangkan.
"Aku bisa. Kalo malam, orang-orang pada tidur. Siapa juga yang mau ngatain aku pulang malam?" Manik matanya kembali fokus pada layar monitor. Telapak tangannya menggenggam mouse komputer, menggeser-geser alat tersebut dengan lihai.
Pada akhirnya Gilar mengalah dan sabar. Ia memang tak seharusnya menyukai kakak sahabatnya itu. Walaupun belum jelas, tapi mengapa ia patah hati merasa telah ditolak? Padahal belum mengajaknya pulang bersama secara terang-terangan.
"Kalo udah dewasa, kamu mau jadi apa?" tanya Yorin tiba-tiba dan tak sengaja mengalihkan pembicaraan yang ada. Dan sorot matanya tetap setia di layar monitor.
"Gua kan udah dewasa ..."
Tak lama Yorin menghindar dari komputernya. Memandang Gilar penuh dengan tatapan antar guru dan siswa. "Yakin kamu udah dewasa?"
Pikiran Gilar buyar setelahnya, dan segera memulai memikirkan apa cita-citanya di masa lalu. "Waktu SD pernah punya cita-cita jadi pilot, terus pas SMP mau jadi dokter, tapi sekarang belom tau."
"Orang yang mengaku dirinya dewasa kebanyakan belum benar-benar dewasa. Dewasa dari segi fisik atau usia, tidak dari otaknya. Buktinya kamu masih labil untuk menemukan apa keinginan kamu di masa depan."
Gilar bingung. Sangat bingung. Apakah ia tengah disindir secara halus? Menghela napas halus, kemudian bersiap membalas ujaran Yorin. "Buat sekarang, gua lagi suka sama motor. Ke depannya kagak tau gimana," jawab Gilar apa adanya.
Yorin mengernyitkan dahinya. Beralih memandang sang adik. Di sana dia tampak sangat bahagia di dekat Rigor. Bercanda ala kadarnya dengan selera humor yang sama. Ada banyak kekhawatiran tentang Yuke. Apakah adiknya akan mengikuti jejak dirinya atau temannya itu?
"Udah berapa lama pacaran sama preman?" tanya Gilar saat menyadari perempuan di hadapannya sedang memerhatikan sepasang orang di seberang sana.
"P-preman?" Padahal Yorin paling sensitif jika mengingat siapa kekasihnya. "Aku lupa-lupa inget, hehe."
Inti dari percakapan mereka adalah saling melatih kepekaan satu sama lain. Gilar berharap Yorin bisa mengetahui seberapa rasa ia ingin menjadi lebih dekat pada gadis itu. Begitu juga dengan Yorin, berharap Gilar bisa peka untuk jangan membahas orang lain jika bersamanya.
"Lu mau gua anter pulang?" Gilar membuktikan kalau dirinya seorang jantan. Berani mengungkapkan sesuatu kepada gadis yang ia sukai.
Bola mata Yorin membulat seakan ia tertegun pada apa yang ia saksikan barusan barusan. Pasalnya ia melihat Rigor mencium pipi adiknya sendiri. "Keluar kalian!"
Sontak Gilar refleks menoleh menghadap apa yang Yorin lihat sehingga dia menjadi semarah itu. Yang benar saja, Gilar seperti mati rasa ketika tahu sahabatnya—Yuke dikecup di bagian pipi kiri oleh Rigor. Wajar kalau Yorin emosi dan menyuruh mereka keluar dari ruangannya.
Gilar kembali menghadap Yorin setelah mereka—Yuke dan Rigor keluar dari sini. Ia dapati wajah cantik Yorin sangat terkejut dan tidak yakin dengan apa yang dia saksikan. "Jujur, gua kaget banget waktu Rigor-"
Kalimat Gilar terputus. Disela dengan cepat oleh Yorin saking emosinya. "Jangan sebut nama bajingan itu lagi."
Posisi Yorin kalang kabut. Antara dirinya yang tidak suka Yuke diperlakukan seperti itu karena ia tahu sebejat apa kekasihnya atau dirinya yang tidak rela Rigor melakukannya dengan adiknya sendiri. Kepalanya merasakan sakit hanya di bagian kiri. Mulutnya tak kuasa membalas ocehan Gilar yang khawatir dengan keadaannya.
"Gua anterin, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be [Completed]
General FictionSemua orang tentu memiliki kepribadian yang berbeda. Tidak mengenal mereka kandung atau bukan. Lantas, bagaimana jika kakak beradik yang tinggal bersama mengatasi sikap yang berbanding terbalik dari masing-masing? Temukan jawabannya dalam cerita ini...