Sepanjang perjalanan pulang, Gilar hanya diam memikirkan semua perkataan Rigor di telepon. Padahal tujuan utama dirinya menelepon Yorin untuk menenangkan diri, sebab ia mengalami depresi berat tentang ayahnya juga sahabatnya. Namun, ia malah menyesal karena berniat membicarakan masalah ini. Ia terpaksa mengetahui masalah baru.
"Bilang sama bapak lu jangan kurang ajar sama Yorin. Kalo masih aja ganggu Yorin, gua nggak segan-segan bunuh Pramu."
Entah masalahnya apa sampai-sampai Rigor meneriakinya seperti itu.
"Pa! Coba jelasin sama Gilar! Papa ada urusan apa sama keluarganya Yorin?!" Gilar memberontak ketika sampai di depan rumah. Ia mendobrak pintu utama dan mendapati sang ayah tengah berciuman dengan wanita lain. "Berengsek!"
Umpatan tersebut sukses menjadikan Pramu sebagai seseorang yang serius. Matanya yang semula melebar karena bahagia, berubah menjadi lesu karena tidak senang. "Papa tidak pernah mengajarkan kamu mengumpat."
Gilar mendekati ayahnya perlahan dengan tatapan tajam ingin menerkam. Sedangkan wanita di samping Pramu menunduk ketakutan. Kedua tangan Gilar mengepal, urat-urat tangannya terlihat jelas. Penampilan Gilar yang acak-acakan juga mendukung untuk ditakuti.
"Nak, kita bicarakan baik-baik. Jangan sampai pakai kekerasan." Tangan Pramu gemetaran. Tanpa sadar tangannya menahan bahu sang anak untuk menjaga jarak dari mereka—Pramu dan si wanita. "Napasmu bau alkohol. Apa-"
"Jelasin, berengsek!" Gilar meninju wajah tampan Pramu dengan sadis. Gerakan cepat tanpa aba-aba itu tak sempat Pramu hindari.
***
Yorin tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia terus-menerus menangis tanpa henti di bahu Yuke. Semua yang ia saksikan tadi sangatlah tidak bisa dimengerti. Bagaimana bisa dunia sesempit ini? Mengapa ia baru tahu sekarang kalau Gilar adalah putra tunggal Pramu?
Hatinya sakit. Antara marah dan khawatir. Gilar juga tampaknya tidak mengetahui apa-apa tentang masalahnya. Dia juga sama terkejutnya seperti Yorin.
"Kak Yorin pasti lupa, ya? Gue, kan, udah pernah bilang, kalo Gilar itu anak Om Pramu."
"Gilar temen gue itu kayaknya anak Om Pramu, deh."
Sekilas ucapan Yuke terlintas di kepalanya. Kini tangisannya mereda, isakannya hampir tak terdengar. "K-kamu telepon Gilar sekarang."
Yuke diam sejenak. "Buat apa?"
"Aku mau minta maaf." Menghela napas pasrah. Rasanya sangat sulit untuk mengucapkan sepatah dua kata kepada Gilar. Ia siap dimarahi Gilar, karena Yorin tahu ia tak seharusnya emosi. Ini bukan kesalahannya atau pun Gilar.
Sementara itu, Yuke sibuk mencari kontak sahabatnya untuk dihubungi. Setelah ketemu, dengan cepat Yuke menekan bagian telepon.
Sedangkan di posisi Gilar, ia jadi serba bingung. Sahabatnya menelepon sehari sebelum tes beasiswa. Apakah Yuke mengetahui maksud Gilar yang mengikutinya lewat jalur beasiswa?
"Halo, Ke?"
Yuke tersenyum tipis. "Soal-"
"Gua nggak bermaksud rebut beasiswa lu, kok. Gua disuruh bokap gua. Maafin gua, Ke." Yuke sangat terkejut, ucapan tersebut sangat menohok baginya. Padahal tujuan Yuke menelepon Gilar bukan tentang itu.
Yuke meraih pundak Yorin di sisinya. Ia merangkul sang kakak dengan kasih sayang. Lantas tersenyum pilu. "Lo nggak lagi ribut sama Om Pramu, kan, Lar?"
Pertanyaan barusan sontak membuat Gilar kembali meluruhkan air matanya. Pikirannya kacau tak karuan. Ia merasa bersalah akan perilaku Pramu terhadap Yorin, atau bahkan pada Yuke.
"Gua minta maaf sekali lagi. Maaf atas segala kesalahan bokap gua sama kalian. Gua nggak pernah tau sebelumnya, gua nggak tau kenapa bokap gua ngelakuin ini. Gua malu. Malu karena terlahir atas namanya. Gua bego. Harusnya gua sadar dari awal. Gua lebih bajingan dari Rigor." Napasnya tersengal-sengal. Kakinya tidak kuat untuk menopang berat badannya, sehingga Gilar jatuh meluruh ke lantai yang dingin.
"Maafin gua, Ke. Gua dipaksa bokap gua. Jujur, gua emang mau satu kampus sama lu nanti. Tapi, gua nggak mau rebut sesuatu yang seharusnya jadi hak lu. Lu, kan, tau gua bodoh. Gua mana mungkin bisa ikut seleksi."
Yuke gemetaran mendengar pengakuan sahabatnya. "Gue seneng. Gue bangga lo mau ikutan seleksi. Lihat sisi positifnya aja. Karena Om Pramu, lo jadi giat belajar. Walaupun itu dianggap pemaksaan, tapi seenggaknya lo ada kemajuan. Cuma tujuannya aja yang salah."
"Gilar ...," panggil Yorin di tengah-tengah percakapan.
Dengan sedikit ragu, Gilar bertanya, "I-iya? Lu abis nangis, ya? Kenapa nangis? Sini cerita sama gua biar reda."
Napas Yorin tertahan. Merundukkan pandangnnya ke bawah sambil menyusun kata-kata untuk dijawab. "Kamu sama papa kamu baik-baik aja, ya. Jangan melawan orang tua."
Gilar mengernyit tak mengerti arti kalimat tersebut. Ia hanya mengangguk samar, meski di seberang sana Yorin tidak akan tahu. Mendengar ucapan Yorin kali ini sangat menenangkan hati. Amarahnya mereda. Sekejap pikiran tentang ayahnya lenyap.
***
Gilar mengubah ekspresinya jadi tersenyum. Sangat tipis. Sungguh. Ia memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Melempar ponselnya asal ke atas ranjang kamarnya. Lagi dan lagi senyuman yang ia ukir sendiri tanpa sebab itu tak bisa dipudarkan.
"Sekarang gua lega. Walaupun sementara, tapi seenggaknya gua punya Yorin yang bisa ngertiin gua." Pandangannya mengarah pada luar jendela. Terlukis bayang-bayang dirinya dan Yorin saat pertama kali bertemu. Gemerlap langit malam memang indah. Terdapat sudut bibir Yorin juga di sana. Bibir yang ia temui di saat mabuk berat karena efek minuman keras.
Gilar terkekeh. Lantas kembali merubuhkan tubuhnya ke ranjang bersebelahan dengan ponsel. "Percaya atau nggak, gua udah cinta sama dia."
Diusapnya bekas air mata di pipi kanan-kiri. Lalu bangkit, berjalan menuju balkon yang ada di kamarnya. Menatap bintang-bintang di angkasa lepas. Menikmati angin malam yang sepoi-sepoi.
Tak lama dari itu, datanglah sosok wanita muda yang tadi bersama Pramu. Namanya Aneri. Gilar akui perempuan itu cantik dan bisa membuat berahi pria mana saja takluk.
"Pramu nggak angkat telepon gue. Dia bawa mobilnya keluar, dan nggak ada kabar dari kantornya," ucapnya sambil berekspresi menyesal.
Ditepuknya pundak Aneri oleh Gilar secara spontan. "Gua nggak marah sama lu soal bokap gua. Kalo lu naksir beneran karena emang suka, nggak papa, lanjutin aja." Gilar memelas. Gadis ini tampaknya tulus, bukan karena uang saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be [Completed]
General FictionSemua orang tentu memiliki kepribadian yang berbeda. Tidak mengenal mereka kandung atau bukan. Lantas, bagaimana jika kakak beradik yang tinggal bersama mengatasi sikap yang berbanding terbalik dari masing-masing? Temukan jawabannya dalam cerita ini...