Yorin tengah serius dalam pekerjaannya. Menatap layar monitor sambil memikirkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah di kantornya, yakni nilai saham yang pasarannya mulai meningkat secara drastis. Bagaimanapun caranya Yorin harus melepaskan adiknya dari ikatan perjanjian antara Pramu dan ayahnya. Dengan cara ia menghasut ayahnya untuk menaikkan harga lelangnya kepada Pramu. Semoga saja Pramu menolak dan membebaskan Yuke dari masalah ini. Ketika masalah pertama tuntas, maka perusahaan keluarganya juga tidak jadi bangkrut.
Mendengar suara ketukan pintu di sela-sela kesibukannya, tiba-tiba adiknya datang bersama seorang laki-laki bersurai legam. Awalnya Yorin tidak menghiraukannya, karena itu hanya mengganggu konsentrasinya saja. Apalagi ia sudah menebak kedatangan Yuke yang tak lain ingin diajarkan cara berdandan seperti beberapa hari yang lalu.
"Kak Yorin! Gue bawa temen, nih! Ngadep sini, dong!" Yuke memang mengetuk pintu untuk menandakan ada tamu yang datang ke ruangan tersebut. Dan sudah menduga kakak perempuan kepercayaan ayahnya itu sedang bergelut dengan komputernya.
Wajah Yuke tampak kesal begitu Yorin tetap tidak mengidahkannya sebagai adik dan anak bungsu. Tak mendapat respon apa pun, Yuke menghampiri meja kerja kakaknya sambil menarik teman laki-laki yang ia bawa bersamanya. Lalu, ia memukul meja yang dipenuhi oleh berkas-berkas penting yang ia sendiri tak tahu pasti itu berkas apa.
Saking kerasnya pukulan tersebut, sampai-sampai Yorin terkejut dan akhirnya menoleh menghadap mereka berdua. "Kalo aku lagi kerja itu jangan digang-" Kalimatnya terputus begitu menyadari dengan siapa Yuke datang. Bukan Rigor kekasihnya, yaitu laki-laki yang pernah ia temui sebelumnya saat di perjalanan menuju ke rumahnya.
"Permisi. Apa Anda butuh bantuan? Sepertinya Anda mabuk berat."
"Jangan ikut campur!"
"Orang aneh."
"Makanya ngadep sini!" seru Yuke. "Ini temen gue, namanya Gilar. Gilar, ini kakak gue yang tadi gue ceritain."
Yorin jadi hilang fokus. Mengingat wajah laki-laki itu hanya membuyarkan isi kepalanya. Pantas saja, ternyata memang benar, laki-laki ini teman Yuke. Ia yakin betul kalau teman adiknya yang bernama Gilar itu pernah mabuk waktu lalu, ia tak salah lihat. Mungkin, dia mabuk bersama Yuke, seperti kemarin Yuke yang mengadakan pesta minum-minum di rumahnya.
"Aku Yorin, kakaknya Yuke," sapa Yorin seraya mengulurkan tangan kepada Gilar. Tak lupa memberi senyuman sopan sebagai pelengkap perkenalan yang ramah.
Gilar membalas uluran tangan tersebut dan akhirnya mereka berjabat tangan satu sama lain. Tekstur kulit telapak tangannya membuktikan kalau Yorin ini seseorang yang peduli akan kecantikan, seperti yang ia dengar sebelumnya dari adik gadis tersebut. "Gua Gilar, temen adek lu."
Setelah saling kenal, mereka bertiga duduk di sofa yang Yorin sediakan untuk tamu dan dirinya. Yuke duduk dengan asal seperti gayanya yang dikenal sebagai gadis tomboi. Sedangkan Gilar, dia duduk dengan santai dan menikmati bau-bauan dari ruangan ini. Terakhir Yorin, ia duduk di sofa tunggal yang ia siapkan untuk dirinya sendiri.
"Jadi, kenapa kalian datang ke sini?" tanya Yorin sambil menyeruput tehnya.
"Gue ajakin Gilar ke sini karena mau bikin kalian saling kenal aja," ujar Yuke. Ia merangkul leher sahabat laki-lakinya dengan erat. Saking eratnya, Gilar hampir merasakan sesak pada pernapasannya.
Tidak, tujuan sebenarnya bukan itu. Yuke ini gadis yang pintar. Tentu saja ia tahu kalau kakaknya sedang sibuk mencari cara untuk membebaskan dirinya dari perjanjian Pramu dan ayahnya. Itu ia ketahui sebab tadi ia tak sengaja mengintip layar komputer kakaknya yang menunjukkan diagram-diagram tentang saham perusahaan. Lagipula kakaknya juga tahu siapa Gilar. Yuke pernah membicarakan hal ini kepadanya, tentang prediksi bahwa Gilar adalah anak kandung Pramu. Itu ia yakini karena raut wajah Yorin sangat aneh.
Berbeda dengan Gilar. Lelaki ini tampak biasa saja. Tidak memikirkan hal-hal yang mengganggu perasaannya. Ia belum mengenal Yorin sebelumnya, jadi ia hanya menganggapnya orang baru. Perihal pertemuan pertamanya dengan Yorin sama sekali tidak bisa diingat.
"Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan makeup-nya." Yorin berdiri dan berjalan menuju laci mejanya. Di sana ada beberapa benda kesayangannya yang ia simpan untuk berjaga-jaga.
Yuke menahan Yorin. Ia berteriak pada kakaknya agar diganti di lain hari saja. "Nggak usah, Kak! Kapan-kapan aja! Lo pasti sibuk!"
Yorin menoleh, kemudian tersenyum manis. "Kalo besok-besok, takut aku yang nggak bisa." Dan kembali melanjutkan aktivitasnya, memilih beberapa alat yang ia butuhkan. Ia mengambil bedak padat, pensil alis, blush on, lipstik, dan lain-lain. Lalu ia menghampiri sepasang sahabat itu lagi. Duduk di tempatnya semula dan menaruh alat-alat makeup yang ia bawa tadi di atas meja.
"Kira-kira gua ganggu kalian, kagak?" tanya Gilar tiba-tiba.
Tentu saja Yorin menggeleng. Tanda ia tak merasa diganggu sama sekali. Ia bisa kembali konsentrasi. Lagipula ini hanya makeup biasa saja, bukan urusan kontrak perusahaan.
"Aduh, nyesel ngajak Gilar ke sini. Kasian dia, jadi nyamuk doang," gumam Yuke sambil membenarkan rambut-rambutnya yang menghalangi pipi.
"Kalo kamu bosen, kamu bisa cerita-cerita aja. Sambil nunggu makeup Yuke selesai," tutur Yorin tak memudarkan senyumannya sama sekali.
Gilar pun hanya mengangguk dan memutuskan untuk menceritakan tentang masalahnya. Alasan ia mau diajak Yuke juga karena ia bosan dan merasa kesepian di rumah. "Akhir-akhir ini bokap gua sering pulang larut malem dan ketauan kagak ada di kantor sama tante gua."
Yuke mematung. Tidak dengan Yorin. Yorin tetap melakukan kegiatannya dengan raut wajah serius. Ia mendengarkan keluhan Gilar, tetapi tidak begitu fokus padanya.
"Gua yakin dia main belakang dari tante gua. Walaupun gua kagak punya bukti apa pun. Tapi firasat gua bilang kalo bokap gua selingkuh." Gilar menunduk tanpa memerhatikan yang lain. Suhu tubuhnya mendadak memanas. Ia risih dan ingin buru-buru menangkap basah ayahnya.
"Maaf nih, mau nanya sebelumnya. Emang ibu kamu di mana? Kenapa ayah kamu bisa sama tante kamu?" tanya Yorin mulai peduli.
"Udah meninggal, hehe." Gilar tertawa canggung. Perlahan tatapannya mulai mengarah pada Yorin,
Lantas, Yorin refleks menaruh alat yang ia pegang tadi ke meja. Sedangkan Yuke masih termenung pada pendiriannya. "O-oh, maaf ya. N-nggak bermaksud begitu. Aduh, jadi canggung."
"Kagak usah minta maaf. Gua kagak baper, kok. Lagian emang nyokap gua udah meninggal sejak gua lahir. Gua kagak terlalu merasa kehilangan juga."
Yorin mengangguk dan kembali melanjutkan mendadani adiknya. "Jangan gitu. Ibu kamu udah susah payah ngelahirin kamu. Berjuang mati-matian biar kamu selamat."
Sampai titik ini pun Yorin belum menyadari kalau Gilar adalah anak kandung Pramu. Yang ia ingat hanya Gilar si pemabuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be [Completed]
BeletrieSemua orang tentu memiliki kepribadian yang berbeda. Tidak mengenal mereka kandung atau bukan. Lantas, bagaimana jika kakak beradik yang tinggal bersama mengatasi sikap yang berbanding terbalik dari masing-masing? Temukan jawabannya dalam cerita ini...