Setelah Yuke mengusir Rigor, ia kembali menemui Yorin di kamarnya. Dadanya berdebar-debar takut kakaknya bertanya apa yang sebenarnya terjadi tentang dirinya sehingga membuat Rigor begitu. Akhirnya bisa lega tidak ada Rigor di sisi mereka. Kepala Yuke bisa pecah kapan saja jika Rigor mau.
Yuke memastikan Yorin tetap di kamar, kemudian ia berjalan menuju dapur. Berniat membuatkan teh hangat untuk kakaknya agar dia lebih baik setelah pulang kerja. Bekerja seharian pasti sangat melelahkan. Tidak ada salahnya kalau Yuke memanjakan Yorin sekali ini saja.
Setelah tehnya selesai dibuat, Yuke segera kembali ke kamar Yorin. Yuke memandang Yorin yang sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit atap kamar. Pandangan Yorin sangat kosong, Yuke khawatir kalau Yorin sibuk memikirkan hal tadi atau mungkin tentang dirinya yang akan melanjutkan kuliah.
"Nih," ucap Yuke seraya menyodorkan secangkir teh yang baunya menguar sampai ke hidung Yorin. Dalam sekejap rasa letih yang dirasa oleh Yorin mendadak hilang. Yuke melihat kakaknya tersenyum, meski sangat tipis.
Yorin menerima cangkirnya dan berkata, "Makasih, Ke. Tumben-tumbenan bikinin aku teh."
"Lo pasti capek kerja seharian. Gue mau bales budi aja." Yuke mengambil cangkir yang sudah Yorin minum, kemudian ia taruh ke atas nakas di samping ranjang Yorin. "Soal Rigor tadi, mending jangan dipikirin. Gue nggak nyembunyiin apa-apa dari lo, kok."
Dan hanya dibalas anggukan oleh Yorin sebagai tanda percaya. "Eum, Ke, kamu belajar yang bener-bener, ya. Jangan main terus. Aku lagi usaha biar perusahaan Papa nggak jadi bangkrut."
Dugaan awal Yuke benar kalau Yorin masih memikirkan caranya mendapatkan uang yang banyak untuk biaya kuliah. Yuke sangat prihatin pada kondisi mereka sekarang yang tidak seperti dulu.
Terbayang-bayang wajah laki-laki tua yang pernah Yuke temui sebelumnya di ruang kerja Yorin sama persis dengan orang yang ada di mobil Gilar. Yuke yakin mereka adalah orang yang sama. Atau jangan-jangan laki-laki tersebut adalah ayahnya Gilar? Ya, orang yang melelang saham ayahnya demi berselingkuh dengan kakaknya. Jika benar, pasti Gilar akan memutuskan tali pertemanan mereka.
"Om-om kaya itu jadi?" tanya Yuke asal.
Yorin memfokuskan pikirannya. Sekilas ia mengetahui apa yang dimaksud Yuke. "Om? Kenapa kamu nanya-nanya dia?"
Yuke menggeleng, takut menyinggung kakaknya. Yuke ingin membicarakan hal ini dengan Yorin, tentang Pramu yang mirip sekali seperti orang yang ada di dalam mobil Gilar saat itu. "Kayaknya gue kenal sama Om Pramu," ucap Yuke tiba-tiba. "Lo kenal Gilar, nggak?"
"Nggak, aku nggak hafal semua temen-temen kamu." Yorin tidak tahu siapa saja teman-teman Yuke ketika di sekolah. Nama Gilar memang tidak asing di telinganya, tetapi ia tidak tahu wajah pemilik nama tersebut.
Yang ada di benak Yuke, apa respon Yorin saat mengetahui kalau pelelang sahamnya adalah ayah dari sahabatnya. Yuke bingung ingin melanjutkan perjanjian itu atau tidak. Taruhannya bukan hanya motor kesayangan, tapi sahabatnya juga yang kena imbas.
"Gilar itu temen gue. Cuma dia nggak berani dateng ke sini, soalnya takut sama Papa."
"Jadi, dia kenapa?"
"Gilar temen gue itu kayaknya anak Om Pramu, deh," ungkap Yuke serius. Yuke melihat jelas bagaimana perubahan ekspresi kakaknya dari yang semula santai hingga mengeluarkan wajah terkejut.
Ini menambah pikiran saja untuk Yorin. Bagaimana bisa Yuke dihadapkan masalah batin seperti itu? Opsi sahabat atau keluarga. Tentu itu sangat sulit bagi mereka berdua untuk memilih di antaranya. Yorin tidak ingin sang adik mendapat cap jelek sebagai wanita tidak benar sekaligus pertemanan Yuke dengan Gilar yang akan runyam.
"Tapi kalo gue nggak milih jadi simpenan Om Pramu, gue bisa kehilangan motor gue."
"Kamu siap tanggung itu semua? Nggak gampang jadi sosok yang kamu nggak bisa. Jangan paksa diri kamu, Ke. Kamu juga harus pikirin, apa kamu bisa tahan mengubah tampilan kamu? Soal pertemanan kamu, kamu jangan menyepelekan karena kamu akan lulus. Kamu nggak akan tau kedepannya kayak gimana." Yorin bangkit dan mengambil posisi duduk. Kemudian, ia mengelus pucuk kepala sang adik yang rambutnya terasa halus di telapak tangan. "Kamu nggak perlu nanggung ini. Masih ada Kakak. Om Pramu bukan jalan satu-satunya agar kita bisa keluar dari kebangkrutan."
Mata Yuke hampir meneteskan airnya. Ia berusaha menguatkan diri untuk tidak menangis di depan kakaknya yang kini sedang memeluk tubuh kurus Yuke. Di samping ranjang ada cermin fullbody. Posisinya Yorin memunggungi cermin, sedangkan Yuke berhadapan langsung dengan cermin. Yuke melihat pantulan dirinya yang ada di sana dengan kondisi menyedihkan. Seorang adik juga berhak ingin melindungi kakaknya dari musibah. Yuke sangat menyayangi Yorin meski tidak terlalu ia perlihatkan rasa sayangnya lewat sentuhan. Tetapi dari dalam lubuk hatinya, Yuke sangat-sangat menyayangi Yorin setulus hati. Ada rasa ngilu dan perih beradu ketika Yorin menasihatinya tadi. Ia ingin melihat Yorin bahagia, bukan malah menambah beban.
Perlahan Yuke memaksa tangannya untuk membalas pelukan hangat Yorin yang dirasa semakin erat. Ia tidak perlu gengsi. Ia bukan preman yang harus malu karena menangis. Bersikap manis hanya untuk kakaknya tidak salah, bukan? "Kak, gue sayang banget sama lo."
Sekilas Yorin mendengar isakan Yuke di atas bahunya. Ia bahagia kalau Yuke juga bahagia. Namun ia adalah orang yang paling sedih jika adiknya sedih. Mengingat kalau Yuke paling anti menangis dan paling kuat, ternyata dia hanya gadis kecil yang bisa menangis tanpa takut gengsi. Percayalah, Yuke menangis untuk menguatkan dirinya supaya pantang mundur dari segala cobaan.
"Jangan nangis. Aku nggak suka liat cewek yang jago ngegas motor malah lembek pas meluk kakaknya," gumam Yorin membuat Yuke tersadar sesuatu. Ternyata Yorin lebih peka dari yang dia kira sebelumnya.
"Lo tau, kan, gue suka balapan? Uangnya lumayan, Kak. Bisa buat kuliah gue. Jadi, nggak ada salahnya, kan, kalo gue tetep pertahanin motornya?" Yuke melepaskan tautan mereka. Menghapus bekas air mata di pipi-pipinya. Sekarang memandang Yorin penuh serius.
"Aku nggak mau kamu terus-terusan kerja kayak gitu. Nggak bagus. Kamu bisa kecelakaan kalo kamu nggak hati-hati," ujar Yorin khawatir pada Yuke.
Yuke tersenyum tipis mengusap bawah mata Yorin yang juga ada bekas air mata. "Pelan-pelan gue berubah. Jangan khawatirin gue. Oke?"
Yuke semakin dewasa. Jadi, ia tahu bagaimana cara menuntaskan dan mencari jalan keluar masalah yang sedang dihadapinya. Perempuan yang tidak pernah dipandang lemah dan sosok tegar walaupun dianggap masih muda. Suatu saat nanti pasti mereka berdua bisa melewati segala rintangan rumit ini dengan setiap proses yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be [Completed]
General FictionSemua orang tentu memiliki kepribadian yang berbeda. Tidak mengenal mereka kandung atau bukan. Lantas, bagaimana jika kakak beradik yang tinggal bersama mengatasi sikap yang berbanding terbalik dari masing-masing? Temukan jawabannya dalam cerita ini...