Eza menyandarkan tubuhnya di balkon kamarnya. Tangan kanannya menggenggam handphone berwarna hitam. Sejenak, ia menimang-nimang antara menelpon kedua sahabatnya atau tidak. Setelah bertarung dengan bathinnya sendiri. Eza mendial Kevin dan Rama dalam panggilan grup dan tak lama kemudian Kevin dan Rama muncul di layar handphone Eza.
"Assalamualaikum, Kyai. Tumben nelpon?" tanya Rama penasaran. Jarang-jarang Eza menelponya lebih dulu. Biasanya juga yang selalu melakukan panggilan video grup adalah Rama. Itu pun karena dia kelewat gabut pas tengah malam.
"Waalaikum salam. Sibuk nggak?"
"Sesibuk apapun kita, pasti ada waktu luang untuk mendengarkan Eza bercerita, ea," ujar Kevin angkat bicara.
"Bukan bercerita, tapi bersabda dengan dakwahnya," ledek Rama menertawakan Eza.
"Apaan, Ja."
"Tiga hari lagi aku nikah," tutur Eza to the point.
"Hah?" Pekik Rama mendadak lola.
"Yang bener lo?" tanya Kevin memastikan.
Wajarkan kalau Kevin dan Rama seterkejut ini. Tidak angin, tidak ada hujan mendadak sebar undangan.
"Iya!"
"Wihh, kita yang pakarnya cinta bisa kalah ya, Ram. Wah, Eza ngelangkahi nih," decak Kevin yang masih tak percaya. Gerakan Eza sungguh tak terbaca. Dalam sekali gerak, langsung pernikahan.
"Siapa calonnya? Masih seputar bidadari surga?" Eza mengangguk pelan sebagai bentuk jawaban dari pertanyaan Rama.
Kevin langsung melambai-lambai heboh di sana. "Eh, iya. Gue baru ingat. Lo bilang lo mau melanjutkan teori lo pas kita SMA saat lo udah jatuh cinta. Jadi sekarang kasih tahu gimana lanjutannya, yang itu lho 'cinta bukan hanya soal cantik dan menarik. Ataupun pintar dan bergelar'."
"Wih, ingatan lo masih tajam juga ya, pin," puji Rama mengakui ketajaman ingatan sahabatnya.
"Shyuut. Jadi gimana Za?" Setelah mengisyarakatkan Rama agar diam. Kevin kembali mendesak Eza mengenai lanjutan quote yang pernah sahabatnya lontarkan sewaktu SMA.
"Cinta bukan hanya soal cantik dan menarik, bukan pula pintar dan bergelar. Melainkan keindahan akhlaknya yang membuat hati ini bergetar," pungkas Eza diakhiri dengan senyuman. Ketahuan sekali, bahwa ia saat ini sedang membayangkan sesuatu.
"Bergetar ...," ujar Rama menyentuh dadanya dengan telapak tangan, sok dramatis seperti gayanya biasanya. "kerasa nggak Pin?" ledek Rama melemparkan pertanyaan kepada Kevin.
Kevin mengabaikan tingkah Rama yang tak pernah ada habisnya. Sahabatnya yang satu itu sangat pandai memperbaharui dan mendaur ulang suasana dengan bersumber tingkah recehnya.
"Btw, lo ada fotonya nggak Za? Gue kepo nih. Penasaran banget seperti apa sosok yang bisa menaklukan hati Syahreza Rahshan." Kevin menatap Eza dengan penuh tanya di matanya.
"Sabar, sabar. Tiga hari lagi kalian juga ketemu," jawab Eza. Bukannya tidak mau memberi tahu, bukan ingin sok misterius apalagi bersikap possessive. Hanya saja ia memang tak memiliki satu pun foto Fatimah. Bahkan dalam undangan mereka pun tak ada foto prewedding. Tentu saja sudah jelas alasannya. Mereka belum halal, belum sah melakukan interaksi sedekat itu.
"Nggak usah bikin kita gregetan deh, Ja. Lo nikah sama siapa hah?" seru Rama meluap-luap.
Tak ingin membuat suasana semakin panas, Kevin menengahi kedua sahabatnya itu. Ia memperhalus kata-kata Rama dan membujuk Eza agar tak ada rahasia di antara mereka bertiga.
"Wajar dong kalau kita penasaran. Kita udah sama-sama dari kecil, Za. Apalagi lo nggak pernah ada kabar dekat sama cewek. Cewek secantik Aurellia Pasha yang keturunan Turki lo tolak. Alisha Zahra yang merupakan anak dari pemilik pesantren juga lo tolak. Kita penasaran Za. Sumpah, bikin gregetan tahu nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Grey (Belum Revisi)
Teen FictionLanglite story (belum revisi) "Cinta Eza dan Fatimah, tak memandang rupa maupun wajah. Sebelum melihat, mereka sudah lebih dulu bersemayam dalam cinta." "Cinta Rama dan Karin adalah pengulangan takdir. Sesulit apapun mereka menghindar. Nyatanya takd...