Hari demi hari berganti dengan cepat, kesibukan membuat mereka larut dalam kepentingannya masing-masing. Kevin dan Rama sama-sama sibuk dengan tugas-tugas kuliah mereka yang menumpuk. Sebentar lagi mereka menghadapi ujian semester dan itu membuat mereka sibuk, tapi anehnya di tengah kesibukan dan tuntutan deadline, Kevin dan Rama justru menemui Eza di pesantren.
"Sekali ini sajalah, gue mau lepas dari tuntutan tugas-tugas," gumam Rama semakin menambah laju kecepatan motornya.
Pada akhirnya, Rama dan Kevin saling kebut-kebutan di jalan. Meluapkan beban mereka dalam setiap embusan angin yang menerbangkan kegelisahan yang ada.
Dua jam mereka melajukan motornya membelah jalanan. Dari jalan utama hingga jalan pelosok bebatuan seperti saat ini. Lokasi pesantren Eza memang tergolong desa, tapi jangan salah. Alumni pesantren sana juga tak kalah saing di masyarakat.
"Kalian kenapa?" tanya Eza menghampiri kedua sahabatnya yang duduk bersandar dengan raut wajah pasrahnya.
"Lusuh banget tuh muka," lanjut Eza setelah mengamati kedua sahabatnya dengan saksama. Ia mendadak bingung ke mana perginya sosok Rama Byantara yang receh dan penuh drama. Ke mana perginya Kevin Adrian yang puitis dalam meluncurkan gombalan andalannya.
"Galau," jawab Kevin tak berminat. Ia juga tak mengubah posisinya yang sudah mirip seperti wajah-wajah orang teraniaya. Beruntungnya di ruang penerima tamu ini hanya ada mereka bertiga. Setidaknya Kevin dan Rama tidak terlalu memusingkan image mereka di hadapan umum.
"Bisa galau juga ternyata," balas Eza seolah tak percaya. Orang-orang mengenal Kevin sebagai playboy ternama di SMA Pusaka. Namun, sekarang cowok yang mengenakan kemeja kotak-kotak dengan kancing terbuka itu tampak tak memiliki semangat hidup.
"Icha minta putus," jawab Kevin pelan. Ia memejamkan matanya. Sungguh frustasi rasanya. Sebentar lagi ia akan menghadapi ujian semester, tapi di sisi lain ia juga diuji dengan tingkah kekanakan Icha.
Tiga hari setelah ia menyatakan perasaannya. Ia dan Icha resmi berpacaran. Seminggu belakangan ini Icha menjauhinya karena sebuah kesalahpahaman. Icha mengira Kevin selingkuh di belakangnya. Puncaknya kemarin, adik dari sahabatnya itu memintanya putus.
Eza mengalihkan perhatiannya ke arah Rama yang sibuk krusak-krusuk dengan tumpukan buku dan juga lembaran folio di atas meja. "Icha adek kamu Ram?"
Rama menoleh sejenak sebelun menjawab. "Iya. Mereka jadian tiga bulan yang lalu."
Eza menganggukkan kepalanya pertanda mengerti. Sebenarnya ia sudah merasa ada yang berbeda dari cara Kevin menatap Icha saat SMA dan benar saja, sahabatnya itu menaruh rasa kepada Icha.
"Lagian kamu kan udah biasa mutusin cewek, Vin."
"Ya, mungkin ini karma gue. Emang sesusah itu membuat dia percaya kalau gue sudah beneran berubah. Sesusah itu ya?" keluh Kevin yang terbalas keheningan. Eza terlalu bingung harus menjawab seperti apa, ia minus dalam hal cinta.
"Ja, lo kan nganggur nih, bantuin tugas gue dong. Cuma nyalin modul ini ke folio," ujar Rama begitu enteng. Seolah modul lima ratus halaman di tangannya itu mampu tersalin dalam sekejap mata.
"Cuma?! Ya sudah sana kerjakan sendiri."
"Kan gue minta tolong, Ja!"
"Kalau begini caranya bagaimana bisa selesai?!" Rama mengacak rambutnya frustasi.
"Sholat dulu,"
"Memangnya kalau solat akan langsung terisi dan selesai? Memangnya kalau solat bisa bikin Icha menarik kata-katanya kembali?" Eza tersenyum menanggapi pertanyaan Rama.
Setahun menuntut ilmu di sini, mengajar adik kelas membuat Eza tak terlalu terkejut dengan pertanyaan sahabatnya itu.
"Memangnya uang bisa turun begitu saja dari langit terus jadi kaya raya begitu?" Bukannya menjawab justru Eza kembali mengajukan soal yang setipe, tapi bukan Rama namanya kalau tidak bisa mereceh dalam keadaan serius.
"Kalau nunggu uang turun dari langit sih nggak bisa. Kalau gorok tanah pakai garpu bisa, cari harta karun." Rama tergelak mendengar ucapannya sendiri. Begitupun dengan Kevin yang sejak tadi tak berminat menimbrung perbincangan kedua sahabatnya. Eza jangan ditanya, sereceh apapun drama Rama. Ia tak pernah tertawa lepas sampai menimbulkan gelak tawa. Sekedar tersenyum simpul saja.
Raut wajah Eza kembali dalam mode seriusnya. "Kalian pikir orang kaya itu bisa seenak ngambil daun teh di perkebunan? Semua itu butuh usaha. Kalau kamu mau tugasmu cepat selesai ya usaha, tapi bedanya terletak pada keberkahan di dalamnya serta kemudahan dalam menempug perjalanannya."
"Iya, iya. Pak Yai, paham."
"Pak Kyai Ram! Kyai!" ucap Kevin membenarkan. Namun, percuma. Logat Rama memang seperti itu.
"Lo duluan sajalah, Ja. Gue dan Kevin nyusul."
"Yang ada kamu nyasar lagi. Takutnya malah nyasar ke pesantren putri, kan aku sendiri yang repot."
"Gue siap nyasar tujuh kali tujuh putaran kalau begitu." Eza dan Kevin memutar bola matanya malas mendengar ucapan Rama yang tiba-tiba bersemangat. Berbeda sekali ketika ia mengeluhkan tugas beberapa menit yang lalu.
"Tunggu saja. Tunggu sampai lo menemukan cewek yang nggak akan bisa membuat lo berpaling dan lo akan kesel dia berpaling dari lo. Tunggu saja masa-masa itu."
"Curhat lo? Itu sih cerita asmara lo, Pin. Kepin Adrian, seorang playboy cap kakap yang tunduk pada gadis manja bernama Thalisha Amartha."
"Masih mau ngoceh terus?" sindir Eza terlewat dingin.
"Monggo, Pak Yai. Monggo," ujar Rama sopan. Ia meniru gaya-gaya pramugari yang melayani penumpang dengan sopan.
***
"Za," panggil Kevin yang membuat pemilik nama itu langsung menoleh.
"Lo kan udah setahun nih di pesantren. Nggak ada gitu, someone yang membuat lo kepincut? secara kan mereka udah sejalan dengan lo. Pasti mudahlah menyesuaikan diri."
Seharusnya memang seperti itu. Seharusnya Eza juga dengan mudah membuka hati dengan orang-orang yang sudah jelas akhlak baiknya, tapi pemuda bernama lengkap Syahreza Rahsahan itu tetap sama--menjaga jarak dengan kaum hawa.
"Sekitar sebulan yang lalu. Abah Rahman--pemilik pesantren. Menjodohkanku dengan putrinya, Alisha Zahra--" Belum selesai Eza berbicara, sudah lebih dulu disela oleh Rama yang tampak begitu antusias seperti perempuan yang begitu senang karena menepukan bahan gosip baru.
"Terus, terus? Lo terima nggak?" Eza menggeleng pelan sebagai jawaban. Membuat Rama secara refleka menggebrak meja sakit gregetnya dengan tingkah sahabatnya itu.
"Kok nggak sih, Ja! Kesempatan emas lho ini."
"Ya gimana lagi. Hati nggak bisa dipaksa kan?"
Telak. Rama langsung bungkam seribu bahasa. Benar memang, hati tidak bisa dipaksakan. Rama mengakuinya dalam hati. Ia juga merasakannya langsung. Bagaimana hatinya terjerat dalam satu nama dan sayangnya ia tak bisa melupakannya meski telah berulang kali mencoba.
Tepat pukul lima sore, Kevin dan Rama kembali ke kota yang sedang menunggu mereka untuk menyelesaikan cerita.
1000 words
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Grey (Belum Revisi)
Teen FictionLanglite story (belum revisi) "Cinta Eza dan Fatimah, tak memandang rupa maupun wajah. Sebelum melihat, mereka sudah lebih dulu bersemayam dalam cinta." "Cinta Rama dan Karin adalah pengulangan takdir. Sesulit apapun mereka menghindar. Nyatanya takd...