٣.

167 29 64
                                    

Weekend dan Ingatan Masa Lalu.

Minggu, hari kemenangan bagi para pelajar sekaligus pegawai negeri. Hari di mana mereka terbebas dari belunggu deadline yang mengincar. Sahabat tiga serangkai itu sedang duduk santai di karpet yang digelar Kevin. Dengan sedikit paksaan dan ancaman dari sang tuan rumah, akhirnya mereka bisa berkumpul bersama.

Rama dan Kevin asyik bermain PS--play station, sementara Eza, pemuda itu berdiri di balkon sembari memandangi langit biru dan sedikit arsiran awan tipis. Entah hanya perasaannya saja atau memang kenyataannya seperti itu. Ia merasa hari ini lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Di jam tangan yang terpasang di tangan kiri cowok itu baru menunjukkan pukul delapan pagu, tapi hawa panasnya sudah seperti pukul sebelas siang.

"Ja! Lo ngapain menyendiri disitu?! Udah kaya cewek yang lagi ngambek saja, lo!" teriak Rama meledek Eza. Jemari-jemarinya bergerak aktif menekan tombol-tombol di remote PS namun, matanya sesekali melirik ke arah Eza.

"Cie ... yang sudah mulai paham dengan kode-kode cewek," goda Kevin. Ia terkekeh geli melihat perkembangan Rama yang cukup pesat.

Eza menyudahi kegiatannya menatap langit, ia mendekat ke arah kedua sahabatnya itu lalu mendudukkan dirinya di samping Rama. Tangan kanannya bergerak mengambil kacang tanah yang berada di piring berwarna putih dengan corak bunga-bunga itu.

Eza memakan kacang rebus itu dengan santai. "Kalian sadar nggak sih? hari ini lebih cerah dari biasanya," ujar Eza menyuarakan pikirannya.

"Itu bukti dukungan semesta buat kita ngumpul. Kalau hujan, gue yakin kalian berdua nggak bakalan ke sini. Secara ya, akhir-akhir ini kita susah banget buat ngumpul kaya gini." Di akhir kata, Kevin mendengus kesal saat ia mengingat-ingat kembali kendala yang menghadang mereka.

Kerja kelompok yang menjadi faktor utama penyebab berkurangnya waktu mereka berkumpul. Guru-guru pun sangat semangat memisahkan sahabat tiga serangkai itu. Selama delapan tugas kelompok yang mereka tak sekali pun berada dalam kelompok yang sama.

"Ngeselin memang. Udah sekolah fullday, always nugas every day," sambar Rama dengan nada yang tak bisa dibilang santai dan tanpa sadar, dia juga mencengkeram kuat remot PS.

Pemilik remot itu melotot tajam ke arah rama. "Ram! lo kalau kesel ke tugas-tugas dan hukuman lo selama ini, jangan lampiasin ke PS gue dong. Yang ada nanti tuh remot patah lagi."

"Patah ..., tapi tak retak," ujar Rama melantur. Ia menyentuh dadanya dengan raut wajah yang didramatiskan lalu kembali berujar, "Kretek ... kretek."

"Krik ... krik ... krik  ...," balas Eza dengan nada suara yang terlewat datar dari biasanya. "Garing banget sih kamu, Ram!"

"Maklumin sajalah, Za. Anak buah gue itu, lagi bucin-bucinnya."

"Pin, Mang batagor yang biasanya lewat sini kok nggak ada? 'kan biasanya jam segini sudah lewat, Pin." Eza dan Kevin saling melempar pandang, tapi dalam hati mereka juga membenarkan pernyataan Rama.

"Lo ya, Ram! nggak di sekolah, nggak di rumah, pikiran lo selalu tentang makanan, heran gue."

"Di sini makan, di sana makan. Di mana-mana perutku selalu lapar," senandung Rama menyanyikan lagu di sana senang.

"Lalala ... lalala ... lalalala ... lalala," sambung Kevin mulai tertular sifat koplak Rama.

"Prok ... prok ... prok ...." Eza bertepuk tangan dengan malas. Sahabatnya ini sungguh membuatnya harus menepuk jidatnya.

"Dahlah kalian lanjut pertunjukannya, aku mau pulang." Eza berdiri, lalu melangkahkan kakinya menuju pintu balkon, tapi baru tiga langkah, tangan kanannya ditarik oleh Kevin bersamaan dengan Rama yang menarik tangan kirinya.

"Kalian penuh drama, guys," balas Eza menyentak kedua tangannya hingga cengkeraman tangan Kevin dan Rama terlepas.

Kevin dan Rama saling melempar senyum sebagai sebuah kode yang hanya bisa dimengerti oleh keduanya. "Wait, Bro. Mau ke mana lo? ke alun-alun saja yuk. Nongkrong sambil cari makan," ajak Kevin sembari merangkul pundak Eza, begitupun Rama, ia melakukan hal yang serupa. Beruntungnya tinggi mereka tak jauh beda.

"Lo nggak usah ngibulin kita lagi ya, Pin. Gue masih ingat loh waktu lo ninggalin gue sama Eja gara-gara ada cewek lo di sana."

"Kali ini nggak deh, kalaupun ada, gue janji nggak bakalan ninggalin kalian."

***
Tiga buah motor sport berhenti dengan mulus di alun-alun kota. Mereka belum turun dari motor, hanya melepas helm full facenya dan menaruhnya di spion. Mereka menatap ke arah tiga anak laki-laki yang perkiraan berumur lima tahun. Bukannya sengaja ingin mengamati ketiga anak kecil tersebut, hanya saja ingin ataupun tidaknya Eza, Kevin dan Rama tetap melihat mereka yang berada di hadapannya.

Tio, Bayu, dan Arya--anak kecil yang sejak tadi diamati oleh sahabat tiga serangkai itu. Tio memiliki perawakan paling tinggi di antara kedua temannya, jika diibaratkan sahabat tiga serangkai, Tio adalah Eza. Bayu, yang paling mencolok di antara mereka karena tubuhnya yang gempal dan berisi, persis seperti Rama sewaktu kecil. Sementara Arya, anak itu tak memiliki kriteria khusus untuk mengenalnya.

"Aduh ..." pekik Bayu yang terduduk di tanah lantaran tersandung batu.

Tio dan Arya menghentikan langkah mereka. "Bay, kaki kamu berdarah," ujar Tio setelah mengamati kondisi temannya itu.

"Kakiku lemas mau jalan," keluh Bayu sesekali meringis pelan. "Gendong,"

"Yang benar aja, Bay," sahut Arya tak percaya.

"Coba berdua dulu," saran Tio. Meski ragu, akhirnya Arya mengangguk. Ia menuruti Tio yang berbalik badan memunggungi Bayu.

Bayu mencoba berdiri dengan berpegangan pada pundak Tio dan Arya. Sementara kedua temannya itu semakin merapatkan diri agar Bayu tak terjatuh. Namun, memang dasarnya saja berat badan Bayu tak sebanding dengan kekuatan kedua temannya itu.

"Brak ..." Ketiga anak kecil itu terjatuh dengan posisi Bayu di atas punggung Tio dan Arya.

"Hua ...."

"Hahahaha ...." Sahabat tiga serangkai itu tergelak di atas sepedanya.

"Mereka persis seperti kita waktu kecil," seru Kevin memutar ingatan masa kecil mereka.

"Yuk samperin."

"Sini, Kakak gendong," tawar Rama, langsung mengangkat tubuh Bayu ke dalam gendongannya.

"Aku juga!" Seru Arya merentangkan kedua tanggannya ke arah Kevin mengisyaratkan ia juga ingin digendong.

Dan sekarang tersisa, Eza dan Tio yang sama-sama terdiam, tapi saling melirik satu sama lain.

"Kamu?" tanya Eza kepada Tio yang dibalas anggukan malu-malu oleh anak berumur lima tahun itu.

"..."

"Pengen deh, balik ke masa kecil lagi. Kegiatan sehari-harinya cuma main, makan, tidur, main, makan, tidur. Enak banget 'kan. Nggak perlu repot-repot memikirkan tugas dan kewajiban."

"Andai waktu bisa diputar," ujar Kevin dengan nada rendahnya.

"Kita memang nggak bisa memutar waktu, tapi kita masih bisa berusaha semaksimal mungkin hari ini, untuk kebaikan masa depan nanti." Rasanya, semakin bertambah usia seseorang, semakin besar pula keinginannya kembali ke masa kecil. Pasti ada waktu di mana, seseorang ingin kembali ke masa-masa itu, semua orang pasti merasakan titik terendah dalam kehidupannya.

1047 words
Semangat ujiannya😉 semoga hasilnya memuaskan. Semua yang terjadi pasti yang terbaik.

Jangan lupa tekan tanda bintang di pojok kiri.

Bersinarlah bintang. Bersinarlah bintang.

Prince Grey (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang