Udara Berbeda di Langit yang Sama
Bintang di langit tampak jelas, tanpa terhalang awan maupun polusi. Dalam kesendiriannya itu, Eza duduk termenung memandangi langit hitam. "Kalian sedang apa?" Cowok berbaju koko berwarna putih itu tak langsung kembali ke asrama begitu selesai sholat tahajjud yang terhitung sudah lima belas menit sejak ia terduduk di kursi taman belakang.
Sementara di lain tempat, dua orang pemuda yang berjalan sempoyongan di depan club mulai berjalan tak jelas.
"Kok gue jadi teringat Eza, ya?" ucap Kevin sambil menatap langit gelap tanpa setitik cahaya lantaran terhalang kabut.
"Tinggal video call, gitu saja ribet," celetuk Rama menyuarakan pendapatnya.
Pletak .... Kevin menjitak kepala Rama dengan sisa-sisa kesadarannya.
"Otak lo tambah menyusur kalau mabuk, Ram!" decak Kevin. Ia kesal dengan tingkah Rama yang berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu.
Rama memutar bola matanya malas, ini bukan kali pertama Kevin berkata seperti itu, bahkan setiap kali Rama mabuk Kevin selalu mengatakan kalimat yang sama setiap malamnya.
"Lo nggak ingat? di pondokpesantren itu tidak boleh membawa handphone," ujar Kevin menjelaskan apa yang telah Eza jelaskan saat ia dan Rama mengantar Eza ke pesantren beberapa waktu lalu
***
Sudah tiga bulan Eza berada di pesantren. Tak butuh lama untuknya beradaptasi dengan lingkungan pesantren dan santri-santrinya. Meskipun sifatnya yang jarang bicara dan terkesan cuek bagi orang-orang yang melihatnya."Eza!" panggil Haikal setengah berteriak. Usianya tak jauh dengan Eza, hanya saja usianya lebih tua dua tahun.
"Ada apa?" tanya Eza. Ia mendekat ke arah seorang santri yang baru saja meneriakkan namanya.
"Bisa ikut ke ndalem? Kyai Rahman minta tolong buat mengambil karpet dan menatanya untuk kajian besok," ujar Haikal menjelaskan.
Eza mengangguk paham. "Ayo," balasnya berjalan lebih dulu dan langsung disusul Haikal yang menyelaraskan langkahnya hingga bisa sejajar dengan Eza.
"Kak Eza! Kak Eza," jerit segerombolan yang tak jauh dari ndalem.
Dulu Eza pikir ia bisa menenangkan jiwa raganya di pesantren ini. Namun, untuk ketentraman raganya ia harus memendam dalam keinginannya itu. Pasalnya, Eza masih menjadi sorotan seperti biasa. Sama halnya dengan ia ketika masih sekolah di SMA Pusaka.
"Aku lebih suka Akhi Haikal. Benar sih nggak ganteng, tapi matanya itu lho teduh banget. Apalagi suaranya, Masya Allah menenangkan banget. Pengen deh punya suami seperti Akhi Haikal." Eza dan Haikal tersenyum geli mendengar khayalan santriwati di dekatnya yang membelakanginya. Ia tetap bercerita, meski teman-teman di hadapannya sudah mengode dengan menunjuk ke arahku dan Haikal menggunakan dagunya.
"Jadi pengen punya suami seperti Akhi Haikal, hmm?" goda Haikal yang langsung membuat gadis berhijab hitam itu langsung berbalik menghadap Haikal dan melotot saking terkejutnya.
"Eh?! Us-tad," ucapnya gelagapan. Dalam hati ia meruntuki kecerobohonnya. Ia melirik ke arah tempatnya duduk tadi dan waw ... teman-temannya meninggalkannya yang terjebak dalam ucapannya sendiri.
"Afwan, Ustad. Saya permisi," pamitnya mengambil jalan pintas untuk menghindar dari Haikal.
"Wa Laa Taqrabuzzina," peringat Eza membaca surah Al-Isra' ayat tiga puluh dua.
Haikal menyengir lebar sembari menggaaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Habisnya lucu banget dia,"
"Nikahi sana," saran Eza yang langsung dibalas jitakan kepala oleh Haikal.
"Dia itu baru kelas dua Aliyah. Jangan main-main, Za."
"Dahlah, ayo cepat siapkan karpet buat acar besok." Setiap sebula sekali akan ada kajian akbar yang mengizinkan masyarakat umum mengikuti kajian yang diadakan pihak pesantren.
***
Embusan angin malam begitu menusuk pori-pori kulit. Berusaha menggoyahkan niat insan-insan yang hendak mengikuti kajian akbar di pesantren.Kyai Rahman, membuka acara selaku tuan rumah. Ia mempersilahkan tamu undangan sekaligus temannya untuk mengisi kajian malam ini.
Dr Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Cinta dalam Pandangan Islam (terj), menjelaskan bahwa cinta merupakan perasaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri, dan terpautnya hati orang yang mencintai pada pihak yang dicintainya, dengan semangat yang menggelora dan wajah yang selalu menampilkan keceriaan.
Adapun cara merawat cinta itu adalah, pertama, meluruskan niat. Agar cinta berbuah ibadah, sucikan niat dalam mencintai karena Allah SWT semata.
“Segala amal itu tergantung niatnya dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya itu kepada Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Muttafaq alaih).
Kedua, mencintai secara proporsional. “.... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah [2]: 216).
"Dalil lainnya terdapat dalam Surah At-Taubah ayat 24."
Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Grey (Belum Revisi)
Fiksi RemajaLanglite story (belum revisi) "Cinta Eza dan Fatimah, tak memandang rupa maupun wajah. Sebelum melihat, mereka sudah lebih dulu bersemayam dalam cinta." "Cinta Rama dan Karin adalah pengulangan takdir. Sesulit apapun mereka menghindar. Nyatanya takd...