Pagi ini kondisiku sudah jauh lebih baik, jadi sudah bisa bekerja seperti biasa. Sebenarnya sakitku bukan sakit yang mengharuskanku untuk istirahat panjang di rumah, hanya sakit karena kelelahan dan sakit untuk mencari perhatian. Oke, lupakan kalimat terakhir yang aku ucapkan.
"Ehem...selamat pagi semuanya." Aku berdehem sebelum menyapa karyawan-karyawan yang sedang berkerumun di lantai dua. Seketika suasana langsung hening. Aku bisa menangkap wajah Rea yang menoleh menatapku dengan wajahnya yang terlihat kaget.
"Pagi Pak Revano, sudah baikan?" Marsha menyapaku dan bergegas menghampiriku.
"Meeting lima menit lagi! Jangan lupa persiapkan diri kalian." Aku berjalan cepat menuju ruanganku dan mengabaikan Marsha yang terlihat ingin sekali mendekatiku.
Aku menunggu lima menit berlalu dan berharap meeting dapat segera di mulai. Rasa rindu ingin melihatnya dan juga mendengar suaranya membuatku seperti orang linglung. Sepertinya mulai hari ini aku akan melancarkan cara baru untuk mendekatinya karena dia terlihat nggak begitu mengerti dengan kode-kode yang aku berikan. Mungkin aku harus sedikit agresif.
"Sebelumnya maaf karena dua hari ini saya nggak bisa masuk kerja dan memantau pekerjaan kalian." Aku segera membuka meeting pagi saat semua tim marketing telah berkumpul di ruanganku.
"Ada kabar penting yang harus saya sampaikan pada kalian hari ini," lanjutku mengabaikan wajah-wajah bingung yang sedang menatapku.
"Kabar yang sangat membuat saya bangga pada kalian. Yes, we got A for this month ." Aku tersenyum lebar sesaat setelah mengumumkan keberhasilan pencapaian cabang untuk bulan ini. Suasana yang awalnya hening menjadi riuh rendah karena suara tepuk tangan.
"Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa buat saya yang baru satu bulan di cabang ini. Semua target terpenuhi, dan ini hasil kerja keras kalian," kataku lagi sambil menatap wajah tim marketing satu per satu. Saat berhenti pada Rea, jantungku mendadak berdetak sangat kencang. Apalagi saat dia memalingkan wajah menghindari tatapanku, aku hampir nggak bisa mengontrol keinginan untuk memeluk tubuhnya.
"Untuk merayakan keberhasilan kalian, bagaimana kalau saya mengundang kalian ke rumah saya malam ini? Kebetulan besok juga libur." Mataku masih tidak berkedip menunggu Rea membalas tatapan mataku. Padahal harusnya dia juga turut senang dengan pencapaian cabang kali ini, tapi kenapa dia malah berwajah tegang?
"Mungkin sedikit barbeque party." Lanjutku lagi dan di saat yang bersamaan Rea menatapku sekilas dan kemudian mengalihkan pandangannya lagi.
"Boleh banget, Pak!" seru salah seorang karyawan. Aku menoleh dan mendapatkan Alex dan yang lainnya ikut menimpali dengan semangat.
"Tapi saya nggak tahu rumah Bapak," kata Marsha tiba-tiba. Harusnya Rea yang mengucapkan kalimat ini.
"Tanya aja sama Sapri. Atau nanti saya share di grup Wattsapp alamat lengkapnya," sahutku.
"Nanti bakal saya bicarakan dengan tim operation juga. Oke sudah jelas semuanya ya. Jam tujum malam di rumah saya." Aku pun menutup meeting karena ada hal lain yang ingin aku kerjakan. Perlahan satu persatu keluar dari ruanganku
"Rea, jangan keluar dulu. Ada hal yang mau saya bicarakan," kataku. Kontan dia menahan langkahnya dan menoleh padaku.
"Ada apa, Pak?" tanyanya dengan wajah bingung dan aku juga menangkap nada kesal dari pertanyannya. Dan semua itu tak urung membuatku tersenyum dalam hati. Wajahnya benar-benar terlihat menggemaskan.
"Gimana dengan Pak Andre?" tanyaku. Aku menanyakan nasabah yang tempo hari pernah dijanjikan Rea padaku. Tapi sebenarnya ini juga hanya basa-basi agar aku tidak kehilangan bahan pembicaraan.
"Ohh...sudah Pak! Kemarin sudah transfer dananya dari bank lain," sahutnya dengan bersemangat. Aku tersenyum senang mendengar jawabannya.
"Bagus. Ayo temanin saya ketemu dengan Pak Andre," kataku kemudian.
"Buat apa, Pak?" tanyanya sambil mengernyitkan keningnya.
"Buat menjalin hubungan baik dengan nasabah, Rea. Bukan berarti setelah kamu berhasil mengambil hati nasabah, bakal kamu tinggalin begitu aja," sahutku berusaha memberikan pengertian padanya.
"Tapi, Pak...."
"Sapri sudah nunggu di bawah. Ayo." Tanpa menunggu persetujuannya karena aku yakin dia pasti akan menolak, aku segera beranjak dan mencari Sapri.
--
"Saya baru tahu kalau Pak Andre itu masih keluarga jauh kamu," kataku saat mobil beranjak meninggalkan rumah nasabah. Biasanya aku memang selalu membahas hal-hal remeh bersama nasabah, tidak memulu menawarkan produk bank. Karena yang terpenting adalah menciptakan hubungan baik dengan nasabah.
"Iya, keluarga jauh Ibu saya. Saya juga baru tahu setelah beberapa kali ngobrol," sahutnya dengan nada tidak senang. Aku menoleh ke arahnya, apakah karena sudah waktunya jam makan siang?
"Pantasan dia mau pindah ke kita ya," timpalku.
"Nggak gara-gara itu juga sih, Pak. Saya sudah prospek dari awal tahun dan dia belum juga berminat." Nada suaranya terdengar semakin kesal. Apa mungkin karena dia marah dengan perkataanku barusan?
"Ngomong-ngomong saya lapar. Ayo kita makan dulu," ujarku mengalihkan pembicaraan karena suasana terasa semakin tidak nyaman. Rea diam, tidak menanggapi perkataanku. Aku sampai harus menoleh ke arahnya untuk memastikan jika dia baik-baik saja.
"Bapak aja, kebetulan saya bawa bekal dari rumah," tolaknya. Aku jadi bertambah yakin jika dia sedang kesal padaku.
"Ohh...saya kira kamu disini ngekost. Rumahmu dimana?" Aku kembali mengalihkan pembicaraan agar suasana hatinya kembali membaik.
"Saya tahu, Pak!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring Sapri dari balik kemudi. Aku tersenyum tipis, Sapri tahu saja jika memang itu yang ingin kuketahui.
"Nggak harus sekarang juga ke rumah saya, Pak. Mau ngapain juga," katanya masih dengan wajah keruh. Aku terkekeh.
"Sekarang sih nggak, lain kali mungkin. Ya, kan, Sapri?" kataku pada Sapri. Sapri balas terkekeh menanggapi perkataanku.
"Ya sudah kalau gitu. Kamu ikut saya ke rumah sebentar, beres-beres buat acara nanti malam. Kamu sama Sapri, cukuplah buat bantu-bantu saya," ujarku seperti menemukan ide baru. Menahan Rea di rumahku sepertinya merupakan ide brilian.
"Bekalnya kamu makan di rumah saya saja," lanjutku.
Aku bisa menangkap kilat tajam dari mata Rea. Tapi tetap saja aku tidak peduli, karena membayangkan Rea berada di rumahku membuatku begitu berdebar. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, I'm Your Boss!
ChickLitRevano pernah dicium tanpa sengaja oleh seorang wanita yang sedang mabuk. Waktu berlalu, tapi dia tidak akan pernah lupa dengan sosok wanita misterius yang ternyata telah mencuri hatinya. Saat keduanya dipertemukan kembali dalam kondisi yang berbed...