6. I Hear My Angel Voice

32.5K 3.4K 48
                                    

Aku sudah tahu jika badanku nggak bisa dibawa berangkat kerja pagi ini. Tapi tak urung tetap kupaksakan walaupun bangun dari tempat tidur saja sulit untuk kulakukan. Hari masih terlalu pagi untuk memutuskan nggak masuk kerja.

Semalam aku memang tidur larut setelah conference call membahas target bisnis di awal tahun ini. Beberapa hari sebelumnya malah sepertinya tidurku hanya satu jam setelah mengikuti Rapat Kerja Tahunan di kantor pusat. Badanku sakit, sendi-sendinya terasa ngilu dan sepertinya aku terserang demam.

Napasku terasa berat saat aku membuka pintu kamar dan mendadak aku membatalkan niat untuk keluar dari kamar. Sepertinya hari ini aku harus benar-benar beristirahat.

Aku berbaring dengan gelisah. Demam karena kelelahan seperti ini bukan hal baru buatku. Tapi entah kenapa kali ini aku merasa sakitku tidak akan sembuh hanya dengan minum obat.

Biasanya jika demam seperti ini, aku tinggal menghubungi mama, dan nggak lama mama akan datang membawa makanan kesukaanku. Atau pun kalau dia nggak sempat, mama akan meminta sopir pirbadinya mengantar ke rumahku. Memang sudah setahun terakhir ini aku tinggal terpisah dari orang tuaku. Hanya Dinda, adikku satu-satunya yang masih betah tinggal bersama mereka walaupun dia sudah menikah.

Aku membuang napas dengan perasaan kesal. Aneh sekali rasanya aku sampai membayangkan Rea di saat sedang demam seperti ini. Jangan bilang jika sakitku ini karena rindu dengannya. Gila aja!

Jariku berhenti di kontak nama Rea saat sedang mencari nama karyawan kantor yang bisa kuberitahu tentang sakitnya aku hari ini. Sedetik aku terdiam sambil memegang ponsel. Apa yang sedang di lakukannya saat ini?
Mungkin dia sedang sarapan bersama teman-temannya. Hal yang paling nggak kusukai dari karyawan-karyawan kantorku. Ya, pasti itu yang sedang mereka lakukan di saat aku nggak masuk kerja.

"Pagi, Pak," sahut suara di seberang sana setelah beberapa detik aku berdebar menunggu dia menjawab teleponku.

"Ke ruangan saya sekarang. Ambil bungkusan obat yang ada di laci pertama meja saya," kataku. Aku meremas rambutku perlahan dan menyesal dengan kalimat yang barusan aku ucapkan. Mengambil obat? Ide gila apa lagi ini!

"Maksudnya, Pak?" Suaranya terdengar bingung.

"Ambil obat yang ada di laci meja saya. Minta antar Sapri ke rumah saya. Sekarang!" ulangku lagi. Baiklah, kali ini sepertinya aku harus sedikit bersandiwara.

"Bapak suruh saya?" tanyanya. Kali ini aku bisa membayangkan wajah Rea yang kebingungan dan kesal. Perpaduannya pasti terlihat sangat menggemaskan

"Iya, siapa lagi," sahutku.

"Ke...kenapa saya, Pak?"
"Saya random aja telepon orang kantor dan kebetulan kamu yang angkat." Sepertinya kalimat yang aku ucapkan terlalu berlebihan. Mana mungkin aku menelepon seseorang secara random.

"Buruan, saya lagi nggak enak badan. Kamu mau tanggung jawab kalau mendadak ada apa-apa sama saya?" Aku harus melakukan segala cara agar dia mau datang ke rumahku.

"Rohim sedang saya suruh mengantarkan berkas ke kantor pusat," kataku asal. Aku saja tidak tahu apa agenda Rohim, OB kantorku hari ini.

"Saya tunggu sekarang!" Dan dengan cepat aku segera menutup telepon agar tidak ada kalimat penolakan lagi.

Aku menarik napas panjang dan membuangnya dengan perlahan. Hawa panas terasa menerpa wajahku. Kekanak-kanakkan sekali rasanya, tapi aku tidak punya cara lain untuk bertemu dengannya hari ini.

Ponselku mendadak berbunyi saat aku sedang mengganti pakaianku menjadi yang lebih pantas untuk bertemu dengan Rea nanti. Dengan cepat aku meraihnya dan berharap si penelepon adalah Rea, orang yang sedang aku tunggu.

Gendis?

"Ya halo," sapaku malas-malasan. Gendis adalah anak kenalan mama yang menjadi salah satu dari ribuan kandidat calon istri yang disiapkan mama untukku.

"Mas Revan ada di rumah?" tanyanya kemudian. Aku mengernyit, tidak mengerti dengan arah pembicaraannya.

"Iya, ada apa?" Aku balik bertanya.

"Aku lagi di depan rumah Mas Revan nih," ujarnya dengan nada manja yang terdengar dibuat-buat.

"Terus?" tanyaku nggak peduli.

"Aku bawain soto ayam buat sarapan," sahutnya. Keningku semakin berkerut. Apa maksudnya?

"Aku lagi nggak pengen sarapan," kataku ketus.

"Oh nggak apa-apa. Paling nggak bukain dulu pintu dong, Mas," ujarnya dan tak urung membuatku berjalan dengan malas menuju pintu depan. Buat apa juga pagi-pagi seperti ini datang bertamu ke rumahku. Bawa sarapan katanya? Nggak ada kerjaan banget.

"Aku lagi nggak enak badan," kataku membuka pembicaraan saat membuka pintu dan mendapatkan sosok Gendis berada di hadapanku.

"Pas banget dong ya pagi ini aku ke sini," katanya bersemangat dan masuk ke dalam rumah tanpa kupersilakan. Padahal tadi maksudku ingin mengusirnya untuk cepat-cepat pergi.

"Pas apanya?" tanyaku sambil menatap punggungnya. Heran, apa dia nggak masuk angin, sepagi ini sudah mengenakan pakaian yang sangat minim.

"Mas Revan duduk aja, aku siapin sarapannya dulu," ujarnya dan dengan nggak tahu diri masuk ke dapurku. Astaga! Seharusnya tadi aku nggak perlu membuka pintu untuknya.

Aku duduk di kursi ruang tamuku sambil memijit keningku yang semakin bertambah sakit.

"Dimakan dulu, Mas. Sudah minum obat?" Gendis tiba-tiba duduk di sebelahku sambil menyentuh keningku dan refleks aku memalingkan wajah, berusaha menjauh darinya. Menyusahkan sekali, badanku sedang lemas seperti ini dan nggak bisa dengan cepat menjauh darinya.

"Kamu pulang aja sana, aku mau istirahat dulu," ujarku dengan napas berat. Rasanya sungguh mengesalkan, di saat aku menunggu kedatangan Rea, yang muncul malah wanita ini yang bahkan dalam mimpi burukku pun nggak pernah aku bayangkan.

"Sini biar aku yang suapin, sedikit aja ya, Mas." Gendis masih saja memaksa menyodorkan sendoknya ke arahku. Aku menutup mulut rapat-rapat dan berharap siapa pun segera menolongku dari situasi nggak nyaman ini. Demam, kepala pusing, badan lemas, dan ditemani Gendis. Sungguh perpaduan yang membuatku ingin menelan obat tidur saja.

Ini semua gara-gara mama yang mengenalkanku pada gadis ini yang aku rasa kuliah saja belum lulus. Aku bahkan merasa ngeri menatap lekuk tubuhnya yang terlihat begitu jelas karena sempitnya baju yang digunakannya.

Terdengar suara ketukan pintu. Mataku mengerjap. Dengan cepat Gendis berjalan menuju pintu sebelum sempat aku melarangnya. Suara seorang wanita terdengar jelas dan membuatku tersenyum.

I hear my angel voice. (*)

Hi, I'm Your Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang