Aku menghabiskan libur akhir pekanku dengan penuh kegundahan. Setelah terbangun dan menemukan Rea tidak berada di kamarku lagi, aku seperti kecolongan. Padahal niat untuk mengutarakan perasaanku sudah aku rencanakan, tapi dia malah pergi tanpa pamit. Berkali-kali aku ingin menghubunginya, tapi di saat yang sama juga aku merasa nggak yakin apakah yang aku lakukan benar. Bisa jadi Rea marah padaku karena aku membawanya ke kamarku tanpa izinnya, makanya dia pulang tanpa pamit.
Di pikiranku terbersit banyak rencana, dari mengajaknya kencan di malam minggu, sampai ingin mendadak datang ke rumahnya berbekal alamat yang diinfokan Sapri. Tapi lagi-lagi semuanya tidak ada satu pun yang terwujud. Mendadak aku menjadi sangat pengecut, mendadak aku bingung untuk memulai pembicaraan dengannya.
Hai Rea, bagaimana kabarmu hari ini setelah ciuman panas kita tempo hari? Nggak mungkin kan basa-basiku seperti itu.
Akhir pekanku pun berlalu sia-sia. Sepertinya kali ini aku harus agresif, tidak bisa berdiam diri seperti ini.
Aku menarik napas kesal sambil melirik jam tanganku. Sudah hampir jam delapan, tapi saat aku mengumumkan tidak adanya meeting pagi karena ada pejabat yang datang, sosok Rea tidak terlihat olehku. Entah kenapa aku sangat gelisah dan menjadi sulit berkonsentrasi. Padahal pagi ini aku akan kedatangan Pak Renaldi dan Pak Bagus selaku Area Manager dan Regional Head untuk melakukan kunjungan rutin mereka. Tapi yang ada di kepalaku malah Rea dan Rea, semuanya tentang Rea.
Memikirkan target cabang saja sudah cukup membuat kepalaku sakit, kali ini ditambah memikirkan Rea. Aku bisa gila rasanya.
Telepon di mejaku berdering dan mengacaukan pikiranku. Dengan enggan aku meraih ganggang teleponnya.
"Pagi Pak Revano. Mereka sudah datang, Pak," ujar suara di seberang sana.
"Siapa yang sudah datang?" tanyaku bingung. Di kepalaku malah memikirkan jika si penelepon ini ingin memberitahu jika Rea sudah datang ke kantor. Bukannya memang itu yang kutunggu dari tadi.
"Pak Renaldi dan Pak Bagus, Pak," sahut suara yang kuyakini adalah suara Via. Aku tersentak. Sial! Sepertinya pikiranku benar-benar kacau. Bukankah tadi aku meminta Via menghubungiku jika Pak Renaldi dan Pak Bagus sudah datang? Kenapa malah aku yang bingung sendiri?
"Oiya...ya..., tolong antarkan ke atas ya, Vi," sahutku.
Aku meraba layar ponselku yang dari tadi menampilkan kontak Rea. Dari tadi keinginan untuk menghubunginya begitu kuat, tapi tetap saja jariku mendadak kaku saat sudah akan menekan tombol panggil. Lagi-lagi aku menyesali begitu pengecutnya aku. Akan kuhubungi dia setelah meeting singkat dengan para petinggi ini.
Seperti kunjungan yang rutin dilakukan Area Manager dan Regional Head tiap tiga bulan sekali, kunjungan kali ini juga tidak jauh-jauh dari membahas target dan pencapaian cabang. Juga ada pembicaraan tentang rencana akan melakukan event untuk nasabah prioritas. Biasanya aku yang paling bersemangat jika kedua petinggi ini datang. Tapi kali ini tidak, pikiranku menggembara ke mana-mana. Beberapa kali Pak Bagus menegurku karena kurang berkonsentrasi.
"Bapak harus tanggung jawab atas semua...."Pintu ruanganku terbuka tiba-tiba dan sosok Rea muncul dan berbicara lantang penuh amarah. Kontan kami yang berada di dalam ruangan saling berpandangan dengan bingung. Aku mengernyit, setelah mengacaukan pikiranku, kali ini mendadak muncul dan berbicara hal yang tidak kumengerti di depan para pejabat ini.
Tanggung jawab apa maksudnya?
"Maaf," ucapnya setelah hening beberapa saat. Dia menutup pintu kembali dan di saat itu aku sudah hampir mau mengejarnya tapi mendadak ingat jika saat ini sedang bersama Pak Renaldi dan Pak Bagus.
"Anak buah kamu?" tanya Pak Bagus dengan wajah bingung.
"Iya Pak," sahutku.
"Bersemangat sekali ya pagi-pagi gini," timpal Pak Renaldi sambil terkekeh. Aku berdehem pelan sebelum menanggapi perkataannya. Rea tidak pernah seperti ini sebelumnya, dia malahan cenderung dingin dan jarang bicara panjang lebar padaku. Jika pagi ini dia mendadak penuh amarah seperti tadi, spertinya aku harus mencari tahu alasannya.
"Biasa pak, anak muda," ujarku sambil tertawa aneh. Apa Rea marah padaku gara-gara aku meminta Marsha mengambil alih salah seorang nasabahnya yang menurutku sering menggodanya? Atau dia marah karena nggak mengikuti acara barbeque tempo hari? Atau...? Aku tidak habis pikir apa alasannya.
Aku masih berbasa-basi beberapa saat sebelum Pak Bagus dan Pak Renaldi pamit menuju cabang lain. Mataku mengedar ke segala arah mencari sosok Rea saat kembali menuju ruanganku, tapi sosok Rea tak kunjung aku temukan.
"Rea mana?" tanyaku pada Lana yang kebetulan berpapasan denganku.
"Ng...itu, Pak," sahutnya gugup. Aku memicingkan mata, tidak senang dengan jawabannya.
"Di toilet, pak," jawabnya kemudian.
"Saya aja yang panggilin, Pak," katanya lagi dan bergegas menuju toilet.
Sepertinya sepuluh menit telah berlalu dan Rea tak kunjung datang ke ruanganku. Apa sebenarnya yang sedang direncanakannya? Menghindariku? Buat apa?
Aku membuang napas kesal dan melangkah menuju toilet. Untungnya toilet di lantai dua ini tidak dibedakan untuk wanita dan pria, sehingga aku bisa bebas menunggunya.
Astaga! Lama sekali, apa sebenarnya yang dikerjakan di dalam sana.
"Re...." Tanganku sudah hampir mengetuk pintu toilet, mendadak pintunya terbuka dan Rea muncul sambil menundukkan kepalanya.
Awalnya aku ingin sedikit berbasa-basi padanya. Menanyakan kenapa dia tiba-tiba masuk ke ruanganku sedangkan masih ada Pak Bagus dan Pak Renaldi bersamaku. Tapi aku tidak sabar lagi, apalagi melihat wajahnya yang terlihat sangat tidak bersahabat, seperti sedang mengibarkan bendera perang.
"Kamu mau minta tanggung jawab apa sama saya?" (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, I'm Your Boss!
ChickLitRevano pernah dicium tanpa sengaja oleh seorang wanita yang sedang mabuk. Waktu berlalu, tapi dia tidak akan pernah lupa dengan sosok wanita misterius yang ternyata telah mencuri hatinya. Saat keduanya dipertemukan kembali dalam kondisi yang berbed...