3. Makan Yuk, Nanti Ditraktir

42.5K 4.7K 96
                                    

Bagaimana, kita sudah bisa berangkat sekarang?" tanyaku setelah meeting selesai. Hari ini sangat cerah dan begitu juga dengan hatiku. Membayangkan akan bersama Rea hari ini membuat semangatku bertambah berkali-kali lipat.

"Sebentar, Pak. Saya sarapan dulu," sahutnya tanpa menoleh ke arahku. Aku mengernyit, sudah jam segini dan dia belum sarapan?

"Biasakan sarapan di rumah. Kantor tempat buat bekerja bukan santai-santai sambil menikmati sarapan," kataku sambil beranjak meninggalkannya.

"Sarapan saya itu cuma minum teh, Pak." Dari nada bicaranya dia terdengar kesal. Aku tertawa dalam hati karena wajah kesalnya terlihat menggemaskan.

"Oke, saya tunggu di mobil. Jangan lebih dari lima menit."

Aku segera mencari Rohim, OB kantor ini dan memintanya membeli roti untuk Rea. Apa yang dilakukannya di pagi hari sampai nggak sempat sarapan sebelum ke kantor? Sebenarnya aku paling nggak suka jika ada karyawan yang menghabiskan waktu kerja mereka dengan hal yang bisa dikerjakan sebelum jam operasional, sarapan misalnya. Kadang ada hal yang harus diprioritaskan saat bekerja.

"Duduk di depan! Ngapain kamu di belakang," kataku saat Rea membuka pintu mobil dan berniat duduk di belakang. Hari ini Sapri nggak masuk, dan aku nggak mungkin membatalkan jadwal kami hanya gara-gara tidak ada driver. Sesaat dia terdiam di posisinya dan menatapku dengan pandangan mata bingung.

"Kok Bapak yang bawa mobil?" tanyanya tak juga beranjak dari duduk dan pindah ke depan.

"Pindah ke depan," ulangku. Kalau seperti ini seolah-olah akulah yang menjadi driver. Dan tentu saja ini menyulitkanku untuk nenatap wajahnya diam-diam.

"Ini mobil kantor loh, Pak. Masa Bapak yang bawa." Dari nada bicaranya aku tahu dia tidak senang dengan apa yang aku lakukan. Tentu saja aku tahu jika mobil kantor nggak boleh digunakan oleh sembarang karyawan. Kali ini tentu saja ada pengecualian jika driver nggak ada di tempat.

Wajahnya terlihat sedang memedam amarah. Tapi aku suka dengan raut wajahnya yang terlihat galak seperti ini, seperti menantangku untuk menaklukkannya.

"Sapri ijin nggak masuk. Istrinya mau melahirkan. Sudah cukup penjelasannya?" jelasku. Dengan perlahan dia pun bergeser dari duduknya dan keluar dari mobil untuk pindah ke depan dan duduk di sebelahku. Aku tersenyum dalam hati sambil mencuri pandang ke arahnya. Wajah kesalnya benar-benar membuatku berdebar.

"Kalau pagi gini, biasanya Mbak Gladys belum ada di Cafe-nya, Pak." Tanpa aku pinta dia memulai pembicaraan. Aku menoleh sekilas ke arahnya dan pura-pura nggak peduli. Dia seperti ingin memancing agar aku bisa terlibat pembicaraan dengannya. Mungkin dia nggak betah karena aku mendiamkannya sejak mobil mulai meninggalkan kantor.

"Buka laci dashboard!" perintahku tiba-tiba. Dia terdiam sejenak dan terlihat terkejut dengan perkataanku.

"Ada apa di laci, Pak?" tanyanya sambil menatapku. Aku mengangkat bahu, membiarkannya menebak-nebak sendiri. Dengan gerak pelan, dia membuka laci dashboard. Wajahnya terlihat ketakutan. Apa dia kira aku sedang mengerjainya?

"Ini buat apa, Pak?" tanyanya gugup. Dia mengeluarkan sebungkus roti dan memperlihatkannya padaku. Dia masih tanya buat apa? Nggak mungkin buat kasih ke nasabah, kan?

"Habiskan! Saya nggak mau kamu pingsan di depan nasabah," kataku tanpa menoleh ke arahnya karena aku yakin wajah kebingungannya pasti akan membuatku kehilangan konsentrasi lagi.

"Enggak ada racunnya, kan, Pak?" tanyanya hampir tak terdengar. Aku menoleh dengan cepat  ke arahnya. Kalau ada yang bisa kuberikan pada roti itu, tentu saja bukan racun, mungkin obat tidur lebih baik.

Tak perlu waktu lama, Rea membuka bungkusan rotinya dan dengan bersemangat memakannnya. Sesaat dia menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arahku.

"Bapak mau?" tawarnya. Terdengar basa-basi, tapi dengan yakin aku mengangguk dan kontan membuatnya salah tingkah.

"Saya juga nggak sempat sarapan," kataku berbohong.

"Ini, Pak." Dia menyodorkan rotinya padaku.

"Nggak bisa, Rea. Saya lagi bawa mobil," ujarku. Rea berguman pelan dan selanjutnya suasana hening tanpa ada yang saling bicara. Jadi cuma sampai di sini aja, dia sama sekali nggak berinisatif menyuapi roti buatku atau apalah yang membuat suasana lebih romantis?

"Ya sudah, tunggu mobil singgah aja Bapak makannya," ujarnya seperti menutup pembicaraan. Aku melengos kesal.

-

Aku terus memperhatikan Rea yang sedang merayu Gladys, pemilik D'lounge Cafe. Pendekatannya bagus, dia menjalin kedekatan emosional yang baik dengan nasabah. Nggak hanya sekadar jual produk bank. Aku hanya sesekali menimpali pembicaraan mereka. Pantasan aja aku bisa naksir kayak gini sama dia. Walaupun penguasaan produk perbankannya nggak begitu baik, tapi masih mendingan Rea, dibandingkan Marsha yang bunga deposito pun dia nggak ingat.

Dan hasilnya nggak mengecewakan, dia berhasil melobi Gladys untuk memindahkan hampir semua dananya di bank lain ke bank Daxim. Rasanya aku ingin mengelus rambutnya sambil memberikan pujian padanya. Tapi tentu saja nggak mungkin kulakukan. Aku belum memiliki keberanian sampai ke tahap itu. Kalau pun kulakukan, mungkin Rea akan menonjok wajahku.

"Good job, Rea," pujiku saat dia berjalan di sebelahku. Dia tersenyum samar dan kemudian menunjukkan wajah datarnya lagi, seperti nggak terpengaruh dengan pujianku.

"Masih ada rencana mau ke mana, Pak?"  tanyanya.

"Kamu masih ada?" Aku balik bertanya. Dia menggeleng sambil melirik jam tangannya.

Aku ingin mengajaknya makan siang, tapi entah kenapa tidak bisa terucap. Aku khawatir dia menolak dan beranggapan buruk karena aku terlalu lancang padanya. Aku melirik ke arahnya lagi. Dia seperti sedang menahan senyum. Aku mengernyit heran.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanyaku penasaran.

"Saya lapar, Pak," jawabnya dengan wajah memelas. Aku tersenyum memikirkan jika rencanaku sepertinya akan berjalan mulus.

"Mau makan apa? Nanti saya yang traktir."(*)

Hi, I'm Your Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang