7. Meredam Hasrat

34.7K 3.6K 38
                                    

"Siapa ya?" Terdengar suara Gendis bertanya pada Rea. Aku bangkit dari dudukku perlahan agar dapat segera menghampiri Rea. Jangan sampai Gendis berbicara aneh-aneh pada Rea. Padahal pacar saja bukan, tapi kelakuannya sangat posesif dan membuat kesal.

"Suruh masuk aja," kataku sambil berjalan mendekat. Aku bisa melihat tatapan angkuh Gendis pada Rea dan dibalas Rea dengan wajah juteknya. Aku jadi geli sendiri, karena wajah Rea terlihat seperti seorang wanita yang sedang memergoki pacarnya selingkuh.

"Kamu bawa obatnya, kan?" tanyaku perlahan dan mendadak jantungku berdebar kencang saat menatap matanya. Rea melirikku sekilas, gerak tubuhnya terlihat ragu. Sepertinya dia sedang merasa tidak nyaman.

"Dia siapa? Sales obat?" tanya Gendis.

"Bukan Mbak, saya sales panci," sahut Rea dengan wajah kesal. Aku menahan tawa dalam hati saat melihat wajahnya yang terlihat tidak senang dengan perkataan Gendis.

"Dia karyawan kantorku. Sudah kamu pulang aja sekarang," kataku akhirnya. Jangan sampai gara-gara ucapan Gendis, Rea malah ngambek dan langsung kembali ke kantor.

"Kamu ambil di tempat yang benar, kan?" tanyaku dengan suara lembut tanpa memedulikan Gendis yang mengentakkan kakinya berkali-kali tanda dia sedang kesal. Rea berguman sambil menyerahkan sebuah bungkusan padaku.

"Tunggu apa lagi, kamu pulang sana," kataku lagi pada Gendis karena dia masih saja berdiri di tempatnya semula, wajahnya keruh dan aku yakin dia pasti sangat kesal padaku. Tapi apa peduliku?

"Saya juga mau langsung balik kantor, Pak," kata Rea buru-buru.

"Tunggu dulu sebentar," kataku sambil berbalik menuju kamarku. Apa yang harus kulakukan agar dia bisa tetap di sini? Ayo, berpikirlah Revano! Oke, sepertinya aku punya sebuah rencana.

Aku mengambil laptop dari dalam kamarku dan kembali ke ruang tamu dengan tergesa. Rea masih saja berdiri di depan pintu, wajahnya gelisah dan berkali-kali dia seperti sedang menarik napas panjang

"Tolong kamu input data pencapaian kalian bulan ini dan email ke Area Manager," pintaku dengan suara lemah yang dibuat-buat. Aku memang sedang sakit, tapi nggak sampai selemah itu sampai bicara aja nggak bisa kulakukan. Ini hanya salah satu cara agar dia mau sedikit lebih lama di rumahku. Hari ini saja aku memberikan dispensasi target padanya.

Aku meletakkan laptop di meja dan meminta Rea duduk di sebelahku. Lagi pula apa yang membuatnya begitu betah berdiri di depan pintu rumahku, seperti sedang menunggu uang sumbangan.

"Tapi Pak...., saya ada janji dengan Pak Andre, pemilik show room mobil yang tempo hari saya bilang ke Bapak," katamya terbata dan tidak juga beranjak dari posisinya.

"Pak Andre biar Marsha aja yang handle," ujarku dan kontan wajah nasabah yang bernama Andre itu muncul di kepalaku, seorang lelaki berumur, genit bukan main dan tentu saja sangat berbahaya buat Rea. Ah! Membayangkannya saja membuatku kesal.

"Nggak bisa, Pak. Pak Andre sudah saya prospek dari sebulan yang lalu, masa sudah final gini diserahin ke Marsha." Suaranya terdengar bergetar, dia pasti sangat kesal padaku. Aku juga pernah di posisi Rea, mencari nasabah bukan hal yang mudah dan saat calon nasabah direbut oleh marketing lain, sakitnya sama rasanya seperti sedang patah hati.

Aku menarik napas panjang, sebaiknya masalah ini nggak aku bahas saat ini.

"Oke...saya mengerti," sahutku akhirnya. Aku memijit keningku yang mendadak bertambah pusing.

"Sebentar saja, setelah itu kamu boleh kembali ke kantor. Kepala saya pusing sekali dan nggak bisa lama-lama menatap layar laptop." Kali ini aku nggak sedang bersandiwara karena kepalaku benar-benar terasa berat. Rea menatapku sambil mengembus napas panjang.

"Apa yang harus saya ketik, Pak?" tanyanya dan akhirnya dia duduk di sebelahku.

"Terserah," sahutku. Astaga! Kenapa aku malah bilang terserah? Apa karena otakku mendadak tumpul gara-gara mencium aroma tubuhnya. Sepertinya wangi vanilla yang menguar dari tubuhnya sedang meracuni pikiranku. Aku memejamkan mata perlahan sambil berusaha mengatur pikiranku agar tetap fokus yang entah kenapa sangat sulit kulakukan.

"Bapak mendingan tidur aja deh atau apa gitu," katanya dan bersamaan dengan itu dia membuka laptopku dan menyalakannya. Suasana hening beberapa saat, yang terdengar hanya sesekali dia menanyakan letak dokumen yang akan dikirimkannya.

"Ambilin saya minum," pintaku tiba-tiba. Kenapa tindakan yang kulakukan selalu kacau jika di dekatnya?

"Minum?" Dia mengulang permintaanku.

"Buat minum obat," sahutku. Tak urung Rea beranjak dari duduknya dan dari sudut mataku aku bisa melihat dia terlihat kebingungan mencari air minum untukku. Salahku juga yang nggak memberi tahu letak dispenser minuman padanya.

"Minum ini aja, pak. Masih bersih, belum saya minum." Dia akhirnya menyerahkan sebotol air mineral padaku. Aku membuka mataku perlahan dan dengan gerak dramatis berusaha membuka tutupnya seperti gerakan orang yang sedang kesusahan membuka tutup botol.

"Sudah saya email barusan. Saya boleh balik ke kantor ya, Pak," katanya lagi. Jangan dulu, aku belum rela dia pergi.

Rea kemudian mengambil botol air mineral dari tanganku dan membuka tutupnya. Saat menyerahkan botol air mineralnya, tatapan matanya seperti sedang mengejek, are you serious? Buka tutup botol aja nggak bisa?

Saat itu, mendadak pandanganku fokus pada bibirnya yang terlihat sangat menggoda dan aku hampir kehilangan kendali saat mendadak menarik tangannya. Wajahnya memucat karena kaget. Apa boleh aku menciumnya saat ini?

"Tangan Bapak panas banget!" Jeritan Rea mendadak menyadarkanku dari hasrat gilaku. (*)

Hi, I'm Your Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang