10. Tidur di Kamar Mandi

29.7K 3.1K 74
                                    

Ini ujian terberat dalam hidupku. Godaan terlarang yang nggak bisa aku tolak.

Bagaimana aku bisa menolaknya jika saat ini sosok yang siang malam berada dalam pikiranku tiba-tiba memelukku dengan eratnya. Bahkan napasnya terasa hangat menerpa leherku. Aku menahan napas saat menuntunya masuk ke kamarku. Iblis-iblis seperti sedang berpesta pora merayakan keberhasilanku menyentuh Rea walau dalam kondisinya yang sedang tidak sadar. Lagi-lagi napasku tertahan saat tidak sengaja menatap blouse-nya yang tersingkap dan menampilkan perutnya yang terlihat sangat menggoda.

Sial! dari tadi aku sudah berusaha menahan hasrat tergilaku, tapi tetap saja godaan ini lebih berat dan mengacaukan segalanya. Sepertinya sedikit sentuhan tidak akan berarti apa-apa. Sedikit saja agar aku bisa menuntaskan rasa penasaranku ini.

Aku membaringkan Rea dengan perlahan di kasurku. Tidak ada satu orang wanita pun yang pernah aku bawa masuk ke kamarku, apalagi berbaring di kasurku seperti ini, kecuali mama dan adikku, Dinda. Dan itu membuat jantungku berdebar dengan kencangnya.

Seperti seorang pencuri yang takut ketahuan, dengan cepat aku menutup pintu kamarku. Gila! Aku nggak pernah senekat ini jika menyangkut wanita. Tapi kenapa wanita di hadapanku ini begitu menggoda dan membuatku seperti seorang penjahat mesum kelas kakap.

Napas Rea terlihat lebih teratur saat ini, tapi posisi tidurnya sangat menggoda. Bibirnya yang berwarna kemerahan seperti memancing untuk dicium. Dadanya naik turun seolah sedang menantangku untuk menjamahnya. Gila! Aku bisa gila rasanya!

Aku terduduk di ujung tepat tidur dengan napas memburu dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. Tenangkan diri Revano, tarik napas dalam-dalam. Ini hanya cobaan yang akan segera berlalu. Tapi kenapa mataku nggak mau lepas memandang sosoknya?!

Aku memberanikan diri mendekat kembali dan mengabaikan hasratku yang seperti sedang berdentum-dentum kegirangan. Aku mengelus rambutnya perlahan dan menarik blouse-nya agar mata kurang ajarku nggak berkeliaran ke mana-mana. Satu ciuman di kening sepertinya nggak apa-apa. Aku mendaratkan bibirku di keningnya dan berharap waktu bisa berhenti agar aku bisa lebih lama lagi menciumnya.

Satu...dua....tiga. Oke, sudah cukup. Aku harus segera pergi dari sini agar pikiranku kembali waras. Saat aku akan beranjak, tangan Rea mendadak menarik lenganku. Jantungku hampir berhenti berdetak dan dengan berdebar aku menoleh ke arahnya. Apa dia sadar dan tahu apa yang barusan kulakukan padanya? Aku menoleh dan mendapatkan Rea masih dalam kondisi tertidur, hanya tangannya saja yang menarik tanganku erat. Kalau seperti ini, sudah pasti aku nggak bisa menolak. Lagi pula Rea sendiri yang melarangku pergi.

Aku kembali duduk di sebelahnya dengan kondisi saat ini tanganku dipeluk dengan erat oleh Rea. Aku menahan napas, sebelah tanganku yang lain mulai menyentuh wajahnya. Dari tadi aku nggak bisa menahan keinginan untuk menyentuh bibirnya. Cuma menyentuh, nggak lebih! Itu yang berkali-kali aku ucapkan dalam hati saat tanganku mulai mengelus bibirnya. Rasanya seperti disengat. Bibirnya terasa lembut mengenai kulitku, begitu menggoda dan seketika meruntuhkan segala akal sehatku.

Hangat napasnya yang menerpa wajahku, bibirnya yang menggoda, dan wajah polosnya yang membuatku semakin nggak bisa mengendalikan diri. Aku mendekatkan wajahku, semakin mendekat hingga dengan perlahan menempelkan bibirku di bibirnya. Tubuhku bergetar pelan. Sial! Aku semakin nggak bisa menahan hasrat gilaku ini!

Aku melumat bibirnya dengan napas terengah, terasa manis dan membuat ketagihan. Harusnya aku nggak boleh menciumnya dalam kondisinya yang sedang tidak sadar seperti ini, harusnya aku bisa lebih menahan diri. Tapi kenyataannya semua itu nggak bisa kulakukan. Aku seperti sudah ditarik terlalu dalam oleh pesonanya.

Wajah Rea terlihat memerah, entah karena efek alkohol atau karena ciumanku. Aku bisa mendengar desahan samarnya saat aku memperdalam ciuman. Mataku menatap nanar wajah manisnya yang entah kenapa saat ini terlihat begitu sensual. Ciumanku semakin turun ke leher, memberikan gigitan kecil hingga sampai ke dadanya. Semuanya begitu memabukkan.

Stop Revano!

Aku berguling dari tempat tidur dan dengan napas memburu segera keluar dari kamar. Kepalaku terasa pusing, sepertinya hampir pecah karena masih memikirkan manis ciumannya. Ada sedikit rasa sesal yang menyergap karena hanya bisa seberani ini. Sial! Ternyata aku sebrengsek ini!

--

Aku kembali ke halaman belakang setelah beberapa kali mengatur napas dan menghilangkan bayangan Rea dari dalam pikiranku. Aku harus berpikiran waras, walau keinginan untuk kembali ke kamar dan menemui Rea begitu besar.

"Rea mana ya?" Aku menangkap suara Alex dari kejauhan. Rasanya aku ingin memberinya pelajaran padanya tapi ... bukankah gara-gara Alex aku bisa mencium Rea?

"Sudah pulang," sahutku ketus.

"Loh kok pulang, Rea nggak asyik," komentar Marsha sambil berusaha mendekat ke arahku.

"Pulang sama siapa, Pak? Sendiri?" tanya Alex panik sambil matanya berkeliaran ke sekitarnya, memastikan jika Rea memang sudah pulang seperti yang kukatakan.

"Tadi... kayaknya dia agak nggak enak badan, kasihan kalau pulang sendiri. Saya susul dia dulu ya, Pak," lanjut Alex dan bergegas mau beranjak.

"Saya tahu. Tadi sudah saya infokan ke sopir taksi. Tenang aja, dia bakal aman sampai ke rumah," jelasku dengan tenang. Sepertinya aku barusan menciptakan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan yang telah kubuat.

"Tapi...." Alex seperti akan memotong pembicaraanku, tapi urung dilakukannya.

"Kenapa, Lex? Kamu tahu Rea sakit apa?" pancingku.

"Eh...nggak tahu juga, Pak," sahutnya gugup dan dia pun segera berlalu dari hadapanku. Sepertinya mutasi ke cabang lain akan kupertimbangkan untuk Alex.

Acara barbeque berlangsung sampai jam sembilan malam. Aku memang sengaja menghentikan acara sebelum larut malam dengan alasan mengkawatirkan para karyawan wanita yang akan pulang ke rumah mereka. Padahal yang sebenarnya, di kepalaku wajah Rea berputar-putar tanpa henti dan membuatku tidak bisa berkonsentrasi.

Aku memberanikan diri membuka kamarku setelah semuanya pulang. Tatapanku mengarah pada Rea yang ternyata masih pulas tertidur. Sepertinya malam ini aku akan menjadi malam terberatku. Membayangkan wanita yang aku sukai tidur di rumah yang sama denganku, mendadak membuat kepalaku terasa sakit.

Atau mungkin lebih baik malam ini aku tidur di kamar mandi? (*)

Hi, I'm Your Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang