"Maksud, Bapak?" Suaranya terdengar bergetar. Aku tertawa dalam hati, sepertinya dia sudah masuk perangkapku.
"As you hear, saya nggak akan terpancing kalau tidak ada yang memulai," sahutku. Wajahnya semakin memucat, entah kenapa aku begitu senang melihat perubahan wajahnya.
"Jadi, kamu mau saya temani menonton rekaman malam itu?" tanyaku menggodanya. Wajahnya memerah dan dia tidak berbicara satu patah kata pun. Hanya gerakan mengigit bibirnya yang membuatku yakin jika dia sedang merasa terancam.
"Kalau tidak ada yang mau kamu bicarakan, silahkan keluar. Saya ada jadwal conference call beberapa menit lagi," kataku akhirnya sebelum dia benar-benar menangis. Pada kenyataanku aku nggak tega membiarkan Rea berwajah ketakutan seperti ini. Kasihan. Tapi kalau nggak seperti ini, Rea yang dingin itu nggak bakal mau mendengarkanku. Dia selalu saja tidak pernah menganggap keberadaanku.
Bukan conference call yang kulakukan seperti yang kukatakan pada Rea tadi. Aku malah merenung seperti orang bingung. Setelah pertemuan dengan Pak Renaldi dan Pak Bagas barusan, kebingunganku semakin bertambah.
Apalagi kalau bukan pembicaraan tentang kemungkinan aku akan ditarik ke kantor pusat untuk menempati posisi pejabat yang kosong. Aku juga memikirkan penawaran dari Bank Dana kepadaku yang bermaksud menjadikan aku pimpinan di kantor cabang yang baru akan dibuka. Bank Dana adalah bank besar dengan sebagian sahamnya adalah milik asing, bank yang selama ini selalu dijadikan tolak ukur bank-bank lainnya. Ibaratnya untuk bank swasta, bank Dana menempati posisi pertama, baik itu dari segi dana pihak ketiga maupun produk-produk perbankannya.
Suara ketukan pintuku terdengar samar. Apa mungkin Rea?
"Masuk," kataku.
"Saya boleh konsultai sebentar, Mas?" wajah yang muncul di balik pintu membuat keningku berkerut. Marsha.
"Ada apa, Marsha?" tanyaku sambil pura-pura berkonsentrasi di depan layar komputerku. Bisa turun harga diriku jika Marsha tahu yang kulakukan dari tadi hanya merenung.
"Gini, Mas...." Dia menggantung ucapannya sambil mendekat ke arah mejaku dan tanpa kupersilakan dia sudah terlebih dahulu menarik kursi dan duduk di atasnya.
"Saya kesulitan buat follow up daftar nasabah yang Mas beri kemarin," ujarnya. Keningku kembali berkerut.
"Susah apanya? Bukannya malah mempermudah kamu. Beberapa nama nasabah yang saya beri ke kamu itu besar kemungkinan akan kembali ke kita jika kamu pintar merayunya," kataku.
Aku memang memberikan tugas pada Marsha untuk menarik kembali beberapa nasabah besar yang diambil oleh bank lain. Karena menurutku produk yang ditawarkan Bank Daxim nggak kalah dengan produk bank lainnya.
"Saya bingung mulainya," katanya setengah merengek. Aku membuang napas sambil mengarahkan padanganku padanya. Wanita di hadapanku ini terlihat menarik, wajahnya cantik, malah kadang terlalu percaya diri kalau berbicara. Masa hanya berhadapan dengan nasabah sampai tidak tahu caranya.
"Sudah berapa tahun kamu jadi marketing?" tanyaku. Marsha menatapku bingung.
"Dua tahun, ngg...hampir tiga tahun deh kayaknya," ujarnya sambil menerawang.
"Nah selama tiga tahun itu, masa kamu nggak bisa dapat triknya," balasku.
"Ada sih, tapi...." Dia memotong perkataannya lagi.
"Tapi...rata-rata nasabah yang Mas beri itu berumur diatas lima puluhan. Saya agak kurang cocok, Mas," lanjutnya. Kali ini aku membuang napas kesal sambil menatap matanya tajam.
"Itu artinya kamu nggak profesional dalam pekerjaanmu. Ayolah Marsha, jangan hanya gara-gara masalah sepele seperti itu membuatmu menyerah," ujarku. Mata Marsha mengerjap perlahan, aku tidak tahu apa dia sedang menahan tangis karena kumarahi atau malah sedang mengedipkan mata mengodaku.
"Baik, Mas," ujarnya dengan suara pelan.
"Kalau sudah kamu boleh keluar dan tolong panggilkan Rea kalau kebetulan kamu melihatnya," kataku menutup pembicaraan. Aku paling tidak suka basa-basi yang nggak berfaedah seperti ini. Lebih baik aku memanggil Rea karena aku punya satu rencana yang mau tidak mau harus diikutinya, rencana yang mendadak terlintas di pikiranku.
Aku menunggu dan masih menunggu sampai rasanya lima belas menit telah berlalu dan Rea belum muncul juga. Jangan-jangan Marsha nggak memberitahunya.
Aku keluar dari ruanganku dengan tergesa dan mengedarkan mata ke sekitarku. Rea terlihat sedang menuruni tangga dengan tergesa.
"Rea!" panggilku sebelum dia beranjak semakin jauh. Apa dia sedang berniat kabur dariku?
"Mau kemana?" tanyaku sambil menuruni tangga dan mengambil sebelah sepatunya yang terlepas karena kepanikannya menghindariku.
"Mau ngesol sepatu sebentar Pak," sahutku sambil menatapku penuh harap. Aku menggantung lenganku dan tidak berniat mengembalikan sepatunya.
"Oh...bukannya ini sepatu baru?" tanyaku tidak percaya dengan ucapannya.
"Iya, Pak. Nanti sekalian mau ke tempat nasabah juga." Jawabnya.
"Nasabah siapa? Saya belum baca laporan rencana kunjungan nasabah kamu hari ini." Aku menuruni tangga dan mendekatinya. Wanita ini begitu pintar mengelabuhiku, dan kali ini aku nggak akan kehilangan cara lagi. Rea mengambil sepatu dari tanganku dengan cepat dan segera mengenakan di kakinya. Aku hampir tertawa geli melihat kelakuannya.
"Don't be a liar," ucapku sambil memiringkan senyumku.
"Saya tahu kamu mulai merasa nggak nyaman dengan keberadaan saya disini," kataku memulai rencana yang mendadak singgah di kepalaku tadi.
"Apalagi setiap menatap saya, kamu mirip anak kucing yang ketakutan."
"Bersikaplah profesional, Rea. Pisahkan antara urusan perkerjaan dan pribadi," kataku berusaha mengintimidasinya.
"Saya mengerti, Pak," sahutnya singkat.
"Sekarang saya boleh pergi kan, Pak," pintanya dengan menundukkan wajahnya.
"Bagaimana kalau saya memberikan kamu penawaran?" tanyaku. Ini penawaran besar yang nggak setiap saat bisa kuberikan pada sembarang orang.
"Agar suasana hatimu kembali nyaman saat melihat saya, bagaimana kalau saya menawarkan hubungan yang lebih dari sekedar atasan dan bawahan?"(*)
-------
Yuhuuu...
Baca kelanjutannya di KaryaKarsa ya. Link ada di profil, atau cari aja judul yang sama ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, I'm Your Boss!
ChickLitRevano pernah dicium tanpa sengaja oleh seorang wanita yang sedang mabuk. Waktu berlalu, tapi dia tidak akan pernah lupa dengan sosok wanita misterius yang ternyata telah mencuri hatinya. Saat keduanya dipertemukan kembali dalam kondisi yang berbed...