Aku membuang napas kesal saat melihat perubahan wajah Rea, dari yang tadi begitu emosional sekarang hanya bisa menunduk tanpa berani menatap wajahku. Apa sebenarnya yang ada di kepalanya? Apa aku sebegitu menakutkannya sampai dia tidak mau mengangkat wajahnya?
"Ke ruangan saya sekarang!" perintahku dengan suara tegas agar dia tidak menolak dengan alasan yang tidak masuk akal. Masih tanpa berbicara satu patah kata pun, dia mengikuti langkahku.
"Tutup pintunya," perintahku lagi. Rea mendorong pintu ruanganku perlahan. Wajahnya terlihat tegang dan walaupun begitu wajahnya tetap terlihat menggemaskan. Perpaduan antara wajah manisnya dan juteknya membuatku berdebar.
"Kamu harus ingat, jika pintu tertutup artinya orang yang berada di dalamnya tidak mau diganggu," lanjutku sambil duduk di kursi. Sepertinya aku terlalu berlebihan, tapi nggak ada salahnya juga menggodanya seperti ini sebentar saja.
"Saya butuh penjelasan atas ketidaksopananmu tadi. Apa ada hal penting sampai kamu bertindak di luar batas kewajaran seorang pegawai?" Aku mengetuk-ngetuk jari di meja untuk mengintimidasinya. Dengan perlahan dia menarik kursi dan duduk di hadapanku. Aku masih terus mengetuk-ngetuk jariku di meja sambil menunggunya bicara.
"Ehem! Maaf Pak, tadi saya benar-benar nggak tahu kalau ada tamu di ruangan ini. Lain kali saya bakal lebih hati-hati lagi," sahutnya sambil mengangkat wajahnya perlahan. Nah begitu lebih baik, memandang wajahnya membuat perasaanku lebih baik.
"Jadi, apa yang harus saya tanggung jawab?" tanyaku mengulang perkataannya. Aku masih tidak habis pikir, tanggung jawab apa yang dimaksudnya? Apa karena aku telah memberikan nasabahnya kepada Marsha? Atau ada hal lain yang nggak kuketahui? Tapi apa yang mesti aku tanggung jawab padanya?
"Oh...itu...." Rea diam lagi. Wajahnya semakin tegang. Aku menghela napas panjang, mencoba bersabar dengan apa yang sedang dipikirkan wanita ini. Di satu sisi aku tidak tega melihat wajahnya yang terlihat tidak nyaman saat menatapku, tapi di sisi lain aku merasa senang bisa menggodanya seperti ini.
"Apa ada masalah?" tanyaku sambil menatap matanya. Rea tergagap lagi saat membalas tatapanku.
"Kalau yang Bapak maksud masalah kerjaan, sebenarnya nggak ada, Pak," sahutnya setelah menarik napas panjang.
"Terus?" tanyaku tidak sabar. Kenapa untuk menjelaskan satu hal saja mesti berbelit-belit seperti ini?
"Sebelumnya maaf, Pak. Mungkin perkataan saya ini agak sedikit menyinggung." Dia diam sejenak. Aku juga diam, mencoba mendengar permasalahannya dengan seksama karena sepertinya terdengar serius.
"Saya...saya merasa ada sesuatu yang terjadi saat tertidur di kamar Bapak kemarin," katanya pelan.
"Maksudnya?" Aku mengernyitkan keningku. Kejadian? Apa maksudnya kejadian saat aku menciumnya tempo hari? Apa dia dalam keadaan sadar saat itu? Gawat!
"Apa Bapak tahu siapa yang memindahkan saya ke kamar Bapak?"
"Itu saya. Memangnya kenapa? Sebagai tuan rumah, enggak mungkin saya membiarkan kamu tertidur di ruang tamu," jawabku berusaha tenang. Anggap seperti tidak terjadi apa-apa dan apa yang kulakukan tempo hari adalah hal yang wajar.
Mencium seorang wanita yang bukan pacarku dalam keadaan tidak sadar aku bilang wajar? Gila aja! Iya, sepertinya aku memang sudah gila.
"Saya...saya merasa ada yang terjadi setelah itu." Wajah Rea kembali terlihat kebingungan. Kali ini aku sudah tahu arah pembicaraan Rea. Dia sebenarnya ingin menuduhku sebagai pria mesum yang sudah mencuri ciuman darinya malam itu, tapi tidak bisa mengungkapkannya karena segan padaku.
Memang aku pelakunya. Terus tanggung jawab apa yang diinginkannya? Menikahinya? Oke, akan kusanggupi.
"Kalimatmu bertele-tele. Saya nggak ngerti," ujarku mulai merasa terdesak. Apa yang harus aku jelaskan jika dia menuntut tanggung jawabku? Padahal aku hanya menciumnya tanpa bertindak jauh.
"Begini Pak..., saya nggak tahu apa yang terjadi. Tapi setelah bangun, saya merasa ada...ada seseorang yang telah me...membuat tanda di tubuh saya."
Seperti petir di siang bolong, aku hampir tidak bisa bernapas setelah mendengar perkataannya. Aku akui malam itu aku memang ceroboh karena nggak bisa meredam nafsuku, lain kali mungkin akan kulakukan dengan lebih hati-hati. Lain kali akan kucoba lagi.
Tenang Revano, stay cool.
"Saya nggak bakal membiarkan orang lain mengganggu tamu saya, termasuk kamu," sahutku sambil tersenyum.
"Kalau maksudmu ada seseorang yang menganggu tidurmu, saya pastikan nggak ada," lanjutku dengan percaya diri.
Wajah Rea terlihat berubah, dia seperti ingin marah tapi tidak bisa meluapkannya. Yang terjadi akhirnya dia hanya menarik napas panjang.
"Maaf kalau mengganggu waktu Bapak. Kalau begitu, saya permisi dulu," katanya tergesa. Lucu sekali bisa mengerjainya seperti ini.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang membuatmu sampai mabuk seperti itu?" tanyaku berbasa-basi, padahal sebenarnya aku sudah tahu apa yang terjadi padanya tempo hari.
"Mabuk?! Saya nggak mabuk kok, mungkin gara-gara habis minum obat flu," sahutnya dengan yakin. Aku terkekeh setelah mendengar jawabannya.
"Saya ada janji sama nasabah, Pak. Permisi," katanya buru-buru.
"Seluruh rumah saya dipasang kamera CCTV," ujarku meggodanya. Langkahnya terhenti dan wajahnya kembali menegang.
"Mungkin ada yang mau kamu lihat." Aku tersenyum lagi dan masih berusaha menggodanya. Wajah kesal dan bingungnya benar-benar membuatku ingin nenariknya ke pelukan dan menciumnya.
"Kapan-kapan aja, Pak," sahutnya buru-buru.
"Atau mungkin kamu mau lihat bagaimana agresifnya kamu waktu memeluk dan mencium saya malam itu." Aku memiringkan wajah dan tersenyum menatap wajahnya yang memucat.
Good job, Revano (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, I'm Your Boss!
ChickLitRevano pernah dicium tanpa sengaja oleh seorang wanita yang sedang mabuk. Waktu berlalu, tapi dia tidak akan pernah lupa dengan sosok wanita misterius yang ternyata telah mencuri hatinya. Saat keduanya dipertemukan kembali dalam kondisi yang berbed...