4. Next Plan : Makan Siang di Warteg

36.3K 4.3K 40
                                    

"Warteg sebelah kantor, Pak," sahutnya. Aku mengernyitkan kening. Masa makan siang pertama kami dihabiskan dengan makan di warteg, yang benar aja. Bukannya aku anti makan di warteg, tapi kali ini situasinya berbeda, aku ingin memberi kesan yang tak bisa dilupakan Rea untuk makan siang pertama kami.

"Nggak ada pilihan lain?" tanyaku. Wajahnya terlihat kebingungan.

"Nggak ada, Pak. Cuma disitu satu-satunya tempat makan yang bisa bayar dengan duit sepuluh ribuan," jawabnya. Aku hampir saja tertawa dengan jawaban jujurnya.

"Saya yang traktir, cari makan yang berkelas sedikit dong," ujarku.

"Tapi saya lagi pengen makan disitu, Pak." Wajahnya terlihat memelas. Lain kali akan kupertimbangan makan di warteg bersamanya, tapi nggak kali ini. Suasana warteg nggak bakalan bisa menciptakan kesan romantis. Misalnya, baru aja aku mau pegang tangannya, tiba-tiba diganggu sama pembeli yang minta diambilin makanan.

"Nggak!" Aku tetap menolak pilihannya.

"Kita kebetulan lagi jauh dari kantor, ngapain kamu balik ke kantor lagi cuma makan makanan yang dimanapun bisa kamu temui," kataku memberi alasan kenapa aku nggak setuju dengan pilihannya. Dia tersenyum masam.

"Ya sudah kalau gitu, Bapak aja yang tentukan mau makan dimana," sahutnya. Aku tersenyum sekilas mendengar perkataannya.

Aku berniat membawa Rea ke salah satu rumah makan milik mama yang nggak begitu jauh dari posisi kami sekarang. Kalau kebetulan mama ada di sana, aku akan sekalian mengenalkan mereka. Aku ingin membuktikan pada mama, jika tanpa bantuannya pun aku bisa mendapatkan wanita yang kusukai. Biasanya mama yang paling cerewet, mengenalkanku ke setiap anak-anak gadis teman arisannya, seolah aku ini barang dagangan.

Setelah Dinda, adikku menikah, obsesi mama untuk megenalkanku kepada wanita-wanita semakin parah. Katanya aku harus segera menikah dan menghapus mitos yang mengatakan jika aku akan sulit menikah karena telah dilangkahi Dinda. Ada-ada saja.

Mama memiliki tiga usaha tempat makan, satu rumah makan padang dan dua rumah makan khusus vegetarian. Kali ini aku akan membawa Rea ke rumah makan padang milik mama, biasanya jam segini mama berada di sana. Mama pasti akan senang jika aku mengenalkannya pada Rea. Rea nggak seperti gadis-gadis lain yang sering dikenalkan mama padaku. Rata-rata tipenya sama, anak orang kaya, cantik, manja, dan berpenampilan menarik. Padahal tipe kalem dan manis seperti Rea yang mudah mencuri hatiku.

"Makan di sini, pak?" tanyanya saat aku memarkirkan mobil. Aku mengangguk mengiakan dan membiarkannya menebak-nebak sendiri.

"Tapi, Pak ...," ujarnya tertahan sambil menatap plang rumah makan. Aku menoleh ke arahnya, apa lagi yang ada di dalam pikirannya.

"Kenapa?"

"Nggak jadi, Pak," ucapnya sambil turun dari mobil. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil menatapnya.

Kami makan dalam diam, sesekali dia menyeka keningnya yang berkeringat. Aku mengamatinya tanpa bicara sepatah kata pun. Sepertinya Rea bukan orang yang suka makanan pedas. Sepertinya aku salah karena membawanya ke sini.

"Jangan lupa tinggalkan kartu namamu," kataku sambil meneguk air mineral. Aku tidak tahu kenapa malah membahas kartu nama saat ini, apa mungkin aku grogi dan kehilangan bahan pembicaraan?

"Pakai kartu nama Bapak aja," jawabnya.

"Loh tujuan saya ngajak kamu makan disini biar bisa ngelobi pemilik rumah makan ini," sahutku sambil menatap jam tanganku dengan gelisah. Biasanya jam segini mama sudah berada di sini. Tapi nggak begitu dengan hari ini. Tadi waktu kutanyakan dengan Mas Sapto, orang kepercayaan mama, mama memang belum datang dari tadi pagi.

"Tapi, kan, tadi Bapak yang ngelobi, bukan saya," sahutnya dengan wajah cemberut. Dia mendorong kursinya menjauh dariku, seperti memberi tanda jika dia tidak senang dengan perkataanku.

"Jangan suka pilih-pilih nasabah," ujarku dengan nada pura-pura marah.

"Saya nggak pilih-pilih nasabah, Pak. Cuma nggak sreg aja sama calon nasabah yang Bapak pilih," jawabnya.

"Sama aja," sahutku. Rea menundukkan wajah, terlihat ketakutan dengan ucapanku. Apa aku terlalu keras padanya?

"Saya nggak suka nasi padang, Pak. Masa tiap prospek ke sini, saya mesti pura-pura makan nasi padang yang saya nggak suka," katanya dengan suara pelan. Hampir saja aku tertawa setelah mendengar pengakuannya. Wajah ketakutannya sungguh membuatku gemas.

"Nggak harus makan disini juga kali," sahutku sambil menahan tanganku yang begitu ingin mengelus kepalanya.

"Kamu bisa ngobrol hal-hal yang disukai nasabah sampai mereka nggak canggung lagi. Ciptakan kedekatan sama nasabah bukan keterpaksaan,"  jelasku berusaha mencairkan suasana hatinya yang sedang tidak baik.

"Lain kali kita makan di tempat yang kamu suka aja," kataku memberi penawaran. Rea mengangguk ragu.

"Kenapa nggak bilang kalau kamu nggak bisa makan pedas?" tanyaku.

"Percuma, Pak," sahutnya. Aku hampir tergelak, percuma karena dia nggak berani menolak perkataanku. Sepertinya itu maksud ucapannya.

"Ya sudah ayo balik ke kantor. Saya ada janji dengan direktur BPR Persada." Aku beranjak dari dudukku dan diikuti olehnya. Sepertinya rencanaku untuk mempertemukan mama dan Rea gagal. Sampai jam sudah menunjukkan pukul satu siang, mama belum juga terlihat. Mungkin untuk selanjutnya, lebih baik aku langsung membawanya ke rumah.

"Sudah cukup dinginnya?" tanyaku sambil menurunkan suhu pendingin mobil. Berkali-kali Rea terlihat tidak nyaman dan mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya. Mungkin efek makanan pedas yang dimakannya tadi. Aku mengambil beberapa helai tisu padanya dan mulai menyalakan mobil. Sesaat wajahnya terlihat bingung, dan dengan perlahan mengambil lembaran tisu yang kuserahkan padanya.

"Besok ajak saya kalau kamu mau makan di warteg sebelah kantor," kataku menawarkan rencana makan siang kami yang selanjutnya.(*)

Hi, I'm Your Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang