Pagi ini sebenarnya sama seperti pagi di hari-hari lainnya, dengan rutinitas yang sudah kuhapal di luar kepala. Tapi sepertinya nggak berlaku untuk hari ini. Biasanya setelah melakukan meeting pagi bersama marketing, aku seolah mendapat semangat baru karena dengan menatap wajah Rea saja sudah cukup membuatku hariku terasa berbeda.
Tapi entahlah, perasaan kesal yang tak terlampiaskan mendadak menyerang pikiranku saat aku mendapatkan Rea sedang berbincang dengan salah seorang staff auditor internal yang akan memeriksa cabang ini selama seminggu ke depan.
Aku seperti memergoki pacarku sedang selingkuh, kepalaku terasa menegang dan pikiranku benar-benar tidak fokus dibuatnya. Interaksi mereka benar-benar membuatku kesal. Rea yang terlihat malu-malu malah membuatku ingin menariknya dan membawanya pergi. Kepalaku terasa menegang dan rasanya sangat kesal. Mungkin aku cemburu.
"Rea, ke ruangan saya sekarang," kataku padanya saat dia telah menyelesaikan bincang-bincangnya dengan auditor itu. Sial! Rasanya aku nggak bisa membendung rasa kesal di kepalaku. Apa mereka sudah saling mengenal? Karena mereka terlihat seperti teman lama yang lama tidak bertemu. Ah! Masa bodoh dengan masa lalu mereka, yang pasti saat ini aku harus segera mengamankan Rea.
"Ada apa, Pak?" tanyanya. Pikiranku dengan cepat bekerja, alasan apa yang bisa membuatku menahannya dalam waktu yang cukup lama.
"Ada beberapa permintaan special rate deposito yang belum lengkap tanda tangan pejabatnya." Aku membiarkannya mengikuti langkahku dan membukakan pintu saat sudah berada di depan ruanganku.
"Biasanya Mbak Lana yang ngerjain, Pak," katanya sambil menatapku bingung. Memang benar yang dikatakannya, tapi khusus hari ini aku ingin dia yang mengerjakan agar mencegahnya bertemu dengan auditor sialan itu. Kalau perlu, aku akan membuatnya bertahan di ruanganku sampai sore.
"Lana sedang ada janji sama nasabah. Kamu aja yang kerjakan," sahutku. Aku berbohong tapi itu nggak penting kali ini.
"Kerjakan di komputer saya. Kamu tinggal mem-foward email yang sudah ada. Tinggal kamu cocokan datanya dengan di sistem," kataku lagi. Mata Rea terlihat membesar, mulutnya seperti ingin mengatakan kalimat penolakan. Aku tersenyum samar dan pura-pura nggak melihat perubahan wajahnya.
"Biar saya kerjakan di meja saya aja, Pak," tolaknya.
"Disini aja! Setelah itu masih ada yang harus kamu kerjakan lagi." Aku sudah tahu Rea yang keras kepala itu pasti akan menolak.
"Tapi Pak, saya ada janji sama nasabah siang nanti."
"Tunda dulu sampai besok," sahutku mencoba membujuknya.
"Kan, lebih penting cari nasabah daripada ngerjain hal sepele kayak gini, Pak," protesnya. Aku menatapnya tajam, tidak suka dengan penolakannya yang terkesan dibuat-buat.
"Jangan cari alasan. Hal sepele kayak gini kalau jadi temuan auditor bisa menurunkan nilai kalian."
"Tapi sampai jam makan siang aja ya, Pak," pintanya.
"Kamu juga biasanya makan siang di kantor." Aku tidak memedulikan perkataannya dan kemudian duduk di sofa agar dapat mengawasinya dari jauh.
"Diajak makan siang sama auditor yang tadi, Pak. Kebetulan teman sekolah dulu." Aku membuang napas kesal, sudah kuduga auditor sialan itu bergerak cepat.
"Telepon Rohim. Minta belikan dua bungkus nasi di warteg sebelah!" perintahku. Dengan begini dia bisa makan siang bersamaku di ruangan ini.
"Sebaiknya kamu jangan terlalu menjalin hubungan baik dengan auditor. Mereka memang terlihat baik di hadapan kita, padahal saat itulah sebenarnya mereka sedang mengintrogasi dan menemukan kesalahanmu." Oke sepertinya aku mulai berbicara nggak penting.
"Dan kamu jangan keluar dari ruangan ini sampai saya ijinkan!"
Aku tersenyum dari balik koran yang sedang aku baca saat diam-diam menatap wajah Rea yang sedang serius di depan komputer. Sesekali keningnya berkerut dan aku semakin gila ingin menatapnya lama-lama.
"Pak, sudah selesai. saya sudah boleh keluar?" tanyanya tiba-tiba. Aku tersentak kaget dan buru-buru memasang wajah dingin.
"Sebentar, saya cek dulu."kataku sambil beranjak dari duduk dan menghampirinya. Aku berdiri di belakangnya dengan posisi tanganku bertumpu pada meja sehingga seolah-olah aku sedang memenjarakannya.
"Kamu nggak teliti, bunganya masih nggak sesuai dengan jumlah dana nasabah di bank," ujarku sambil mencondongkan tubuhku mendekat ke arahnya. Aku bisa mencium wangi samar parfum yang digunakannnya, manis dan membuat otakku nggak bisa berpikir dengan benar.
"Benar kok, Pak. Bapak kali yang salah lihat," katanya tidak terima. Aku semakin mendekat agar bisa melihat layar komputernya dengan jelas. Padahal tujuanku sebenarnya agar bisa menatap wajahnya dari jarak dekat.
"Pekerjaan saya sudah selesai kan, Pak?" tanyanya sambil menoleh ke arahku. Aku tersentak karena kali ini jarak kami begitu dekat, aku bahkan bisa merasakan helaan napasnya menerpa wajahku.
"Oke, ayo kita makan dulu," ujarku setelah berdehem untuk menghilangkan rasa canggungku.
"Saya boleh keluar ya, Pak?" tanyanya memastikan.
"Keluar dari ruangan ini? Oh tentu saja boleh. Ayo," ajakku. Rea terdiam, keningnya berkerut dan dia menatapku dengan bingung.
"Makanan kita sudah dibelikan Rohim tadi. Atau kamu lebih suka kita makan di luar?" tanyaku.
"Saya makan sendiri aja, Pak," sahutnya gugup.
"Menolak ajakan makan dari atasan itu nggak sopan, Rea," kataku mengemukakan teori asalku.
"Dan memaksa karyawan itu termasuk tindakan yang melanggar hukum loh, Pak," balasnya.
"Oke, kali ini saya nggak akan memaksa. Jadi kamu mau makan siang di mana?" tanyaku sambil menahan senyum.
"Food court di seberang kantor kayaknya," jawabnya. Aku tahu dia pasti sengaja tidak mau memakan makan siang yang telah kubelikan, tapi aku punya cara lain agar bisa makan bersamanya.
"Kedengarannya menarik, saya temani kalau gitu. Ini nggak termasuk pemaksaan, kan?" (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, I'm Your Boss!
ChickLitRevano pernah dicium tanpa sengaja oleh seorang wanita yang sedang mabuk. Waktu berlalu, tapi dia tidak akan pernah lupa dengan sosok wanita misterius yang ternyata telah mencuri hatinya. Saat keduanya dipertemukan kembali dalam kondisi yang berbed...