9. Menguliti Alex

29.1K 3.2K 45
                                    

Suasana kantor tampak sepi saat sapri memarkirkan mobil di halaman kantor. Terdengar helaan napas panjang Rea saat membuka pintu mobil. Aku menoleh sejenak ke arahnya.

"Absen dulu sana, kamu pulang sama saya aja," kataku. Kontan dia menoleh ke arahku dengan tatapan mata tidak senang. Oke, sepertinya hari ini aku  terlalu  berlebihan setelah seharian memintanya membersikan halaman rumahku. Rea pasti kesal padaku.

"Saya pulang pakai busway atau metromini aja, Pak. Rumah kita nggak searah," tolaknya masih dengan wajah masam. Aku meminta Sapri turun dari mobil duluan karena keberadaannya membuatku tidak nyaman.

"Memangnya siapa yang mau jemput kamu buat acara nanti?" tanyaku.

"Sama Alex, Pak," sahutnya. Aku membuang napas, menahan rasa cemburu yang mendadak menghampiri.

"Alex sudah saya suruh jemput Marsha. Kebetulan rumah mereka searah," karangku. Sejak kapan juga aku mengurusi hal tidak penting seperti masalah antar jemput ini.

"Maksudnya nanti Bapak mau jemput saya?" tanyanya dengan wajah bingung.

"Nggaklah. Memangnya saya kurang kerjaan. Maksudnya sekarang saya antar kamu pulang sekalian nungguin kamu beres-beres. Setelah itu kita bareng ke rumah saya," kataku memberikan penawaran yang mau tidak mau membuatnya akan terus bersamaku selama beberapa jam ke depan.

"Kalau kamu kelamaan mikir, mending pulangnya bareng Sapri aja." Aku turun dari mobil dan menuju mesin finger print. Kali ini dia pasti tidak bisa menolak. Wajahnya terlihat berkerut saat aku meninggalkannya. Apa dia sedang memikirkan tawaranku?

"Ya sudah, saya ikut Bapak aja pulangnya," katanya sambil mengejar langkahku. Aku membalas ucapannya dengan berguman pelan, padahal yang sebenarnya dalah hatiku sedang bersorak kegirangan.

Aku bisa melihat dengan jelas kening Rea yang terlihat berkerut saat di sudah berada di mobilku, seperti sedang memikirkan hal penting

"Rumahmu dimana?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Beberapa detik Rea hanya diam sambil membalas tatapanku. Apa pertanyaanku terlalu lancang? Atau dia menganggap pertanyaanku hanya modus? Aku berdehem pelan sambil menunggu jawabannya. Wajahku kupasang seserius mungkin agar tidak terlihat seperti om-om yang sedang menggoda anak gadis.

"Mampang, Pak," sahutnya singkat. Aku menghela napas lega sambil berkonsentrasi pada jalan di hadapanku.

"Duh, jam segini pasti macet tuh," kataku mendadak ingat kondisi daerah Mampang jika di jam pulang kerja seperti ini.

"Makanya saya nggak mau diantar pulang, Pak," katanya dengan nada yang terdengar kesal.

"Kamu bisa telepon orang rumahmu aja?" tanyaku mencoba memberi pilihan lain padanya.

"Kasih tahu kalau kamu telat pulang. Kita langsung aja ke rumah saya," kataku.

"Nggak mau, Pak! Masa saya gini-gini aja, nggak mandi, nggak ganti baju," tolaknya dengan wajah yang telihat menggemaskan.

"Cuma saya aja yang tahu," kataku sambil menoleh ke arahnya sekilas.

"Antar saya pulang dulu, Pak.' Suaranya terdengar memelas.

"Saya sih nggak masalah kalau kita telat. Tapi kasihan sama yang lain kalau nunggu kelamaan," sahutku menjelaskan.

"Kamu bisa mandi di rumah saya." Sepertinya tawaranku terdengar sangat menarik.

"Nggak ada pilihan lain ya, Pak?" tanyanya pelan.

"Nggak ada," sahutku singkat dan tanpa menunggu kata-kata penolakan darinya lagi, aku segera memutar balik mobil dan mengambil jalan ke arah rumahku. Wanita seperti Rea ini memang lebih baik jangan diberi kesempatan untuk berpikir, karena aku nggak bisa menebak apa yang ada di dalam kepalanya saat ini. Bisa jadi dia akan kabur dan nggak mau ikut ke rumahku jika aku mengantar di pulang ke rumahnya terlebih dahulu.

Aku membiarkan Rea berkeliaran di rumahku dengan wajah masamnya. Berkali-kali aku menyuruhnya mandi di kamar mandiku dan ditolaknya mentah-mentah. Aneh sekali, memang dipikirnya aku memasang CCTV di sana?
Saat rumahku mulai ramai dan hampir semua karyawan telah datang, aku malah kehilangan sosok Rea. Di halaman belakang rumahku ini, aku nggak berhasil menemukannya. Jangan-jangan dia nekat pulang ke rumahnya. Aku membuang napas kesal dan berniat kembali ke rumahku untuk mencari Rea.

Sudut mataku berhasil menangkap sosoknya yang sedang duduk di sebelah Alex. Dari mana saja dia? Setelah menghilang beberapa saat, sekarang dia malah terlihat santai berbicara dengan Alex. Sesekali terdengar tawa mereka yang entah kenapa terasa menyakitkan di telingaku.

Dari awal kedatangan di kantor baruku tempo hari, aku memang telah memberi tanda pada Alex, lelaki yang selalu mengekori ke mana pun Rea berada. Sepertinya kekhawatiranku cukup beralasan, karena Alex terlihat sangat mencurigakan setiap di dekat Rea.

Aku tidak bisa berkonsentrasi. Berkali-kali pandanganku tidak fokus dan terus-menerus mencari sosok Rea walaupun sekelilingku terasa ramai. Marsha yang berkali-kali memanggil dan mencari perhatianku, tapi tidak kuhiraukan karena perhatianku fokus pada Rea.

Tunggu... ke mana lagi dia sekarang?

Dengan cepat aku beranjak dari tempatku berdiri dan bergegas mencarinya. Apa dia sengaja membuatku kesal dengan tidak mau mengikuti acara barbeque ini?

Aku menemukan Rea telah berada di dalam rumahku. Wajahnya terlihat bingung dan jalannya  terhuyung. Dengan cepat aku menghalangi jalannya dan berusah menangkap lengannya.

"Kamu kenapa?" tanyaku panik. Aroma alkohol menguar dari pernapasannya. Aku menengang dan dengan cepat menariknya mendekat ke arahku.

"Mau tidur, ngantuk...," sahutnya dengan suara tidak jelas.

"Ya sudah, kamu tidur di kamar aja." Aku segera merangkul tubuhnya dan menuntunnya berjalan menuju kamarku.

Mana Alex! Kurang ajar! Akan kukuliti dia hidup-hidup! (*)

Hi, I'm Your Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang