2. Nggak Tahu Namanya? Gila Aja!

50.9K 5.3K 80
                                    

Aku mendata nama-nama calon nasabah yang akan diprospek oleh para marketing. Setiap pagi pada saat meeting, mereka harus menyerahkan data calon nasabah yang akan mereka kunjungi serta kemungkinan hubungan baik yang akan terjalin.

Mataku memicing saat menatap data calon nasabah Rea. Ya, namanya Rea, teman-temannya memanggilnya begitu. Aku setengah mati mencari tahu namanya di web internal yang menampilkan nama-nama karyawan di cabang ini. Sebenarnya bisa saja aku memintanya memperkenalkan diri, seperti yang kulakukan pada yang lainnya. Tapi setiap kali menatap matanya, bicaraku jadi ngawur dan nggak terkendali. Aku memang payah jika menyangkut hal yang seperti ini.

Kebanyakan nama calon nasabah yang diserahkannya padaku adalah lelaki. Sepuluh orang calon nasabah, sembilan lelaki, hanya satu wanita. Aku mendadak ngeri membayangkan keadaan di lapangan. Lebih jelasnya, aku nggak rela dia sendirian menghadapi calon-calon nasabah itu.

Aku bergegas bangkit dari dudukku dan membuka pintu ruanganku. Lantai dua ini sudah sepi, bisa dipastikan tim marketing sudah ke lapangan.

"Mas cari siapa?" Mendadak wanita dari negeri antah berantah itu muncul di hadapanku. Dia memang cantik, tapi sayang terlalu berlebihan, baik fisik maupun sifatnya. Siapa tadi namanya? Marsha?

"Yang lain ke mana?" tanyaku setelah hampir keceplosan ingin bertanya Rea mana?

"Sudah keluar dari tadi, Mas," sahutnya. Keningku berkerut, kalau yang lain sudah keluar, kenapa dia masih di sini?

"Terus, kamu kenapa masih di kantor?" tanyaku.

"Itu ..., aku lagi nungguin Mas," ujarnya. Aku mengernyit heran.

"Loh, kenapa?"

"Dulu Pak Awan selalu mendampingi marketing tiap ke lapangan buat prospek nasabah. Setiap marketing ada jadwalnya." jelasnya.

"Terus?" tanyaku tidak mengerti arah pembicaraannya.

"Jadi apa hari ini Mas Revan nggak ada rencana mau ketemu sama nasabah bareng aku?" tanyanya. Mataku memicing setelah mendengar perkataannya.

"Oke, sekalian saya juga mau berkenalan dengan beberapa nasabah di cabang ini," ujarku. Wajahnya terlihat berbinar. Dia mengikuti langkahku turun ke lantai bawah dengan bersemangat.

Dan besok aku telah menetapkan jadwalku untuk mengunjungi nasabah bersama Rea.

-

Aku akui teknik pemasaran Marsha memang bagus. Tapi entah kenapa aku tidak suka dengan caranya yang hanya bermodalkan penampilannya tanpa menjelaskan produk yang dijual secara terperinci. Dia mau jual diri atau produk bank?

"Makan siang yuk, Mas," ajak Marsha setelah keluar dari sebuah toko grosir pakaian anak-anak. Pemilik toko ini memang sudah menjadi nasabah di bank Daxim, memiliki beberapa simpanan dalam bentuk tabungan dan investasi. Tujuan Marsha mengajakku ke sini, agar bisa membantunya melobi si pemilik untuk memindahkan dananya dari bank lain dan menempatkannya dalam bentuk tabungan ataupun deposito atas nama istri dan anaknya.

"Saya sudah ada janji. Kamu ajak Sapri aja." Aku menyebut nama sopir kantor. Wajah Marsha terlihat berkerut. Aku membuka pintu mobil tanpa berbicara lagi padanya.

"Antarkan saya ke Jatinegara. Nanti satu jam lagi kamu sama Marsha boleh jemput saya," perintahku pada Sapri.

Marsha yang duduk di belakang terlihat ingin protes tapi tidak jadi karena aku sedang menerima telepon dari Joe, teman kuliahku yang juga direktur PT Angkasa, perusahaan yang bergerak di bidang distribusi pakan ternak. Berita baiknya dia berencana menjadikan Bank Daxim sebagai bank untuk pembayaran gaji karyawan mereka. Dan siang ini, aku berencana makan siang bersamanya sekalian membicarakan masalah payroll perusahaannya.

Aku sengaja tidak membawa Marsha bersamaku, karena ini makan siang antar dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Mungkin setelah makan siang, aku akan mengajak Marsha bertemu dengan Joe, agar dia nggak cuma tahu beres aja.

-

"Marsha, lain kali tingkatin pengetahuan kamu tentang produk unggulan Bank Daxim. Jangan cuma asal bicara di depan nasabah," ujarku saat kami baru keluar dari mobil.

"Maaf, Mas," sahutnya dengan nada sok manja. Aku berguman dan berjalan meninggalkannya, langkahnya lamban membuatku emosi.

Aku menghabiskan waktu lumayan lama di kantor Joe untuk bernegosiasi dengannya. Kehadiran Marsha malah membuat kacau. Berkali-kali dia salah menjelaskan produk Bank Daxim dan hanya nyengir saat aku membetulkannya. Benar-benar membuatku emosi.

Hari sudah sore dan aku harus segera memulai meeting sore untuk mengevaluasi pekerjaan marketing di hari ini. Aku jadi nggak sabar untuk memulainya karena ingin segera bertemu dengan Rea.

"Tim, lima belas menit lagi kita kumpul di ruangan saya," kataku saat melewati  anak-anak marketing yang sedang menghadap komputer mereka masing-masing. Sebelumnya mataku sempat menangkap Rea yang sedang menatap layar komputernya dengan tatapan mata kosong.

Tepat jam lima, rombongan marketing funding dan landing memasuki ruanganku. Aku berdehem pelan sambil berusaha mengalihkan pandanganku dari Rea.

"Baik selamat sore semuanya. Kita langsung mulai aja ya. Dimulai dari Lana, gimana pencapaian anak buahmu hari ini?" tanyaku pada Lana, team leader marketing funding.

"Sore juga Pak. Hari ini pencapaian team funding di atas rata-rata. Hampir semuanya target, kecuali Marsha yang katanya menemani Bapak tadi," sahutnya.

"Iya dia menemani saya bertemu pemilik PT Angkasa yang katanya mau payroll dengan kita," timpalku.

"Silahkan marketing-nya sendiri yang menjelaskan," lanjutku dan tanpa bisa dicegah, pandanganku beralih pada Rea. Matanya membesar dan terlihat terkejut.

"Sore Pak. Seperti yang tadi pagi saya jabarkan, ada sepuluh orang calon nasabah yang saya prospek hari ini. Semuanya memiliki peluang besar di bank kita." Dia berhenti sesaat sambil menarik napas panjang. Sepertinya hari ini lumayan berat untungnya, terlihat dari raut wajahnya yang kelelahan

"Yang pertama pemilik toko bangunan Arta Bangunan. Sebenarnya anak-anaknya sudah menjadi nasabah kita. Tadi dia berminat dengan salah satu produk tabungan yang saya tawarkan dan besok akan datang ke kantor," lanjutnya.

Dia terus menjelaskan nama-nama nasabah yang hari ini diprospek beserta hasil yang didapatkannya. Pandanganku tak lepas darinya, bukan karena sedang berkonsentrasi dengan perkataannya tapi karena terlalu fokus melihat gerak bibirnya setiap kali dia biacara.

"Coba ulangi calon nasabah yang terakhir kamu sebutkan," ucapku. Konsentrasiku benar-benar terganggu dan apa yang diucapkannya dari awal sama sekali tidak menempel di otakku.

"Putri pemilik D'Lounge Cafe, Pak. Dia berminat mendepositokan dananya," sahutnya dengan suara yang terdengar semakin mengecil. Mungkin dia mengira aku sedang marah padanya.

"Besok atur jadwal bertemu dengannya. Saya temani kamu prospek," ucapku dan kembali melanjutkan sesi tanya jawab dengan marketing lainnya. Aku nggak bisa berlama-lama menatapnya, bisa buyar meeting sore ini karenanya.

"Meeting sore ini selesai. Jangan lupa persiapkan diri buat besok. Semangat ya, tim!" Aku menutup meeting dan menunggu tim marketing beranjak dari ruanganku. Saat Rea bangkit dari duduknya, mendadak aku ingat sesuatu.

"Eh...kamu!" Panggilku.

"Iya, kamu." Ulangku lagi karena wajahnya terlihat bingung

"Ingat, jangan lupa atur jadwalnya!" Aku berdiri berdiri tepat di belakangnya saat dia menoleh padaku.

"Maaf, apa Bapak nggak tahu nama saya?" tanya dengan wajah kesal. Hampir saja aku tertawa mendengar pertanyannya. Bagaimana mungkin aku nggak tahu namanya? Atau..., jangan-jangan dia kesal padaku karena dari tadi aku nggak menyebutkan namanya.

"Andrea Keeana Gunawan," sahutku sambil berusaha membalas tatapan matanya.

"Makasih, Pak," ucapnya sambil berlalu.

"Rea, jangan lupa pastikan besok calon nasabahnya ada waktu untuk bertemu," ucapku sekali lagi sebelum dia benar-benar keluar dari ruanganku.

"Baik, Pak Revano," sahutnya dengan nada formal.

Aku memang lemah, begini saja sudah bisa mengobati rasa rinduku padanya. (*)

Hi, I'm Your Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang