Chapter 17

65 19 13
                                    

Karena keberhasilan hanya akan diraih oleh orang yang mau berusaha. Berapa kali pun dia jatuh, asalkan berkeinginan untuk bangkit kembali; jalan keberhasilan akan dibuka lebar-lebar.

————————————————


"Hasil keputusan yang kami ambil sudah benar-benar fix. Penilaian ini diambil dari visi misi dan juga program-program yang kalian tulis di kertas pendaftaran kemarin." Seorang pemuda berujar tegas, almamater khas anak OSIS terpakai rapi dan pas di tubuhnya. Siapa lagi kalau bukan Agil, si Ketos tampan SMA Lentera.

"Sejujurnya, kami juga merasa kecewa karena sebagian besar yang daftar kemarin menyepelekan tentang ini, bahkan mereka mengisi formulir dengan asal-asalan." Agil masih melanjutkan ucapannya, dari nada suaranya nampak benar-benar kecewa.

Ajeng diam sembari menyimak, begitupun siswa-siswi lainnya yang berstatus sama dengannya--calon pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah. Tak ada yang membuka suara, semua sibuk mendengarkan perkataan seseorang di depan mereka.

"Dari lima puluh lebih peserta, kami cuma ambil enam orang. Yang tidak terpilih menjadi pasangan calon, dikategorikan sebagai pengurus OSIS biasa, sebagian juga digugurkan. Enam orang inilah yang akan menjadi pengurus OSIS utama. Paham?" Agil memaparkan lagi.

"Paham!" serentak mereka.

Keberuntungan berpihak kepada Ajeng, gadis itu terpilih menjadi pengurus OSIS utama. Kerja keras otaknya dan juga mengumpulkan harapan-harapan yang ia tuangkan di lembar formulir itu membawanya sampai ke titik ini.

"Untuk pasangan-pasangan calon, kami sudah berdiskusi," ujar Agil. Pemuda itu berbalik badan, berjalan ke arah meja di pojok ruangan.

Agil mengotak-atik laptopnya, proyektor pun telah dihidupkan sejak tadi. Di layar putih yang telah disediakan, muncul data berisi nama yang telah dikelompokkan.

"Oke, kalian bisa langsung lihat. Satria Adjie  dipasangkan dengan Leana Adinda. Vivi Indah Raulana dipasangkan dengan Natasya Septiani. Ajeng Nadhivera dipasangkan dengan Dhafi Alramadhan."

Begitu selesainya kalimat Agil, Ajeng celingukan. Tujuannya adalah mencari sosok yang dipasangkan dengannya, meneliti setiap name tag yang terpasang di sisi kiri seragam mereka.

Tidak sadar, rupanya seorang pemuda bernama Dhafi itu berada tepat di sampingnya. Ajeng tersenyum kikuk sekaligus merasa canggung. Namun, Dhafi mengulurkan tangan ke arahnya.

"Lo Ajeng, kan? Gue Dhafi." Pemuda itu menyebutkan namanya.

Ajeng membalas uluran tangan itu, lalu mengangguk sekilas. "Salam kenal, ya."

Dalam pikiran Ajeng, pemuda bernama Dhafi itu terlihat ramah, parasnya pun bisa dibilang sangat tampan. Jika ia berdiri di samping Dhafi, jelas akan menemukan jauh sekali perbedaan.

Ruangan itu mendadak penuh dengan perbincangan, sesama mereka mencoba untuk saling mengenal lebih dalam. Dikarenakan perbedaan kelas, oleh karena itu masih sangat terasa canggung.

"Oke, oke, tahan bentar." Agil kembali memberi instruksi, suasana langsung hening--tak ada yang bersuara lagi. "Saya rasa cukup pertemuan hari ini, silahkan kalian saling berkomunikasi untuk membicarakan apa-apa saja persiapan untuk kampanye di hari yang akan datang," imbuhnya.

"Ngobrol di sini juga enggak papa. Bukan cuma sama pasangan aja, tapi semua harus saling support, ya!" Setelah itu, Agil kembali dengan laptopnya.

"Eh, ngomong-ngomong lo Ajeng yang kadang ribut sama Daniel, kan?" tanya salah satu dari enam orang yang duduk berjejeran di sana.

Ajeng meneguk ludah, apa ia sering menjadi bahan perbincangan? Sampai-sampai, seseorang menanyakan hal itu padanya. Wajahnya berubah datar, entah respon apa yang harus ia berikan.

"Gue kadang liat lo adu mulut sama Daniel. Tapi, jujur, gue salut banget sama lo, Jeng. Emang, cowok kayak dia itu harus dikasih pelajaran." Gadis bernama Dinda itu terus berceloteh. Ajeng merasa sedikit tenang, ternyata ada yang satu pemikiran dengannya.

"Eh lo berdua jangan-jangan tukang mainin cewek juga kayak si Daniel-Daniel itu?" Dinda menambahi, seolah mencurigai dua pemuda yang bersama dengan mereka.

"Gue orangnya setia, ya. Saking setianya, gue jomblo sejak lahir," ucap Dhafi.

"Gue sih punya pacar, si mbak Lisa blekping itu pacar gue." Satria memelankan suaranya.

"Bentar, tolong ambilin aer. Mau gue siram nih anak satu." Lea kesal, tetapi setelah itu tertawa.

Berkat celotehan Dinda, suasana tak lagi canggung. Mereka saling tertawa, sampai tidak sadar dalam ruangan itu masih ada Agil yang sibuk dengan pekerjaannya.

"Gue tersindir sebagai salah satu mantannya Daniel." Gadis bernama Vivi menyengir kuda. Lalu, ia menutup mulut, entah apa maksudnya.

"Serius? Siapa nama lo ...." Natasya menjeda ucapannya, ia membaca name tag gadis yang baru saja berbicara itu, "Oh, Vivi. Gimana rasanya?" tanya Natasya.

Ajeng memudarkan senyum, mengapa perbincangan mereka melenceng sampai sejauh itu? Terlihat, raut wajah Satria dan Dhafi pun tak mengenakan.

"Maaf, kenapa kita malah bahas Daniel, ya?" Ajeng menyela.

"Lah, bener juga! Ngapain coba? Dahlah." Dinda memutar bola mata malas, merutuki dirinya yang memang sebagai pencetus pembahasan itu tadi.

***

Seorang gadis berjalan tergesa-gesa, tidak memperdulikan pandangan orang lain tentangnya. Menerobos memasuki kantin, matanya menjelajah sekeliling, mencari sosok yang ingin ia temui.

Ia kembali menyeret langkahnya, menuju arah di mana sosok itu berada. Tatapan matanya tajam, seperti akan menikam. Rambut yang terkuncir muda terombang-ambing akibat langkahnya yang cepat.

"Ikut gue!" berangnya.

"Lo—eh apa-apaan, sih!" Sosok yang ia cekal tangannya tidak terima.

"Bisa diam tidak?" Tidak memperdulikan, ia tetap menarik tangan sosok itu menjauh dari area kantin.

"Heh, tuh orang punya utang apa, ya? Dari kemaren loh, ditarik-tarik mulu."

Yang ditanya mengedikkan bahu. "Bisa jadi."

***

"Kemaren si Anjeng yang narik-narik gue, sekarang elo. Ada masalah hidup apa, sih?" Daniel melepaskan tangannya, ia berdecih sinis, melirik gadis di sampingnya pun enggan.

"Sekali lagi lo sengaja salah nyebut nama Ajeng, mati lo," ucap gadis yang ber-name tag Juvita Lestari itu.

Daniel enggan menanggapi, ia bersandar di dinding. Mereka berdua berada di gedung belakang sekolah yang tak terpakai, keadaannya pun sepi. Menyeramkan.

"Apa? Lo mau ngomong apa?" desak Daniel.

"Gue peringatin sama lo, ya, jangan sok baik sama Ajeng. Gue tau, nggak mungkin lo secara cuma-cuma nolongin Ajeng waktu dia keserempet motor Minggu lalu. Lo pasti punya maksud terselubung, kan? Ngaku, lo!" berang Juvita. Gadis itu meluapkan kata demi kata dengan penuh penegasan.

Daniel mengangkat alis, kemudian disusul dahi yang berkerut dalam. "Maksud lo apa?"

Juvita menghela napas panjang, pemuda di depannya sungguh menaikkan puncak kekesalannya. Mati-matian Juvita berusaha untuk tenang, agar kakinya tak mendadak menendang bagian terlarang milik Daniel untuk memberinya pelajaran.

"Lo enggak usah pura-pura polos. Memanfaatkan kesempatan, right? Lo itu busuk!" cecarnya lagi.

Daniel maju selangkah, tatapan matanya menusuk ke manik Juvita. Ia merasa terusik dengan kalimat yang dilontarkan gadis itu padanya.

"Bukti apa yang nguatin kalimat lo?" Daniel bertanya, suaranya lirih seperti berbisik.

Juvita tiba-tiba terdiam. Bola matanya bergerak tak tentu arah, di saat yang sama Daniel menyeringai.

"Jadi orang nggak usah sok tau. Kumpulin dulu bukti mengenai ucapan lo, baru lo bisa koar-koar depan gue."

When You Love Yourself (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang