Ketika jatuh cinta, beberapa hal memang sulit untuk dikondisikan. Namun, jangan pula lupakan akal dan logika. Karena hati tak dapat berkuasa sendiri.
_______Sayup-sayup angin berembus, menerpa kulitnya yang tak mulus. Terduduk manis dengan tas berada di pahanya, menunggu seseorang yang belum kunjung tiba. Sudah sepuluh menit menunggu, tetapi belum ada tanda-tanda kehadirannya.
Kepalanya ditengokkan ke kanan dan kiri, mencari kepastian. Helaan napas tercipta, ia mengeluarkan ponsel kecil yang berada di dalam tas untuk mengecek waktu sudah pukul berapa.
Suara derap langkah kaki terdengar cepat, ia menoleh ke arah pintu masuk rooftop. Senyumnya mengembang sempurna, kala yang ditunggu hadir juga.
"Maaf. Aku kelamaan, ya? Tadi ada piket dulu." Gadis yang baru saja datang itu bernapas tidak teratur, ia tertunduk, kedua tangannya bertumpu di lutut.
"Ah, enggak, kok. Jangan nunduk kayak gitu kalau lagi ngos-ngosan, katanya sih nggak baik," pesan Ajeng. Tangan kanannya terulur mengusap pundak sosok gadis yang saat ini memperlihatkan deretan giginya kikuk.
Gadis itu--Luna--lantas berdiri tegap menuruti seperti yang Ajeng pesankan. Kedua tangannya memegangi dada, mengatur napasnya agar tak tersengal-sengal.
Ajeng memperhatikan Luna lamat-lamat, seperti enggan mencari suatu objek lain untuk dipandang. Senyumnya yang manis dengan tahi lalat yang berada di samping bibirnya. Mengingat kejadian pagi tadi, Ajeng begitu empati.
Sadar akan tatapan Ajeng yang seolah mengintimidasi, Luna berdehem canggung lalu berucap, "Em ... kenapa kamu ngajak aku ke sini? Mau bicara apa?" tanya Luna tanpa berbasa-basi.
Ajeng tersenyum untuk menanggapi. "Soal tadi pagi, kenapa kamu berani banget bicara tentang perasaanmu ke Daniel?" Ah, Ajeng mengucapkan nama pemuda itu barusan. Ia ingin merutuki bibirnya karena salah menyebut kata.
Raut wajah Luna kian berubah masam, seribu bahasa diam. Ia berbalik badan, berjalan menjauh dari Ajeng. Namun, tangannya sudah dulu dicekal, mengartikan bahwa dirinya harus tetap tinggal.
"Tunggu. Kenapa mau pergi? Kita belum selesai bicara, bahkan pertanyaan pertamaku aja belum kamu jawab." Ajeng menahan, merasa tak puas dengan percakapan yang belum terselesaikan.
"Sebenarnya, kamu mau menghina aku, kan? Kenapa tadi pagi kamu belain aku, kalau ujungnya kamu sama aja kayak orang lain," tukas Luna, nadanya meninggi, seperti tersulut emosi.
"Bukan gitu maksud aku, Luna. Aku cuma nanya, sama sekali nggak ada niatan buat hina kamu. Sekali lagi, aku bukan orang jahat." Cekalan tangan itu masih tak berubah, saling berhadapan dan berkontak mata mengubah suasana menjadi sangat serius.
Luna menunduk lemah, lalu berucap, "Beneran?" tanyanya dengan suara yang begitu lirih hampir tak terdengar.
"Emang mukaku keliatan becanda? Aku nggak pandai ngelawak," balas Ajeng dengan kekehan kecil di akhir kalimatnya.
"Atas dasar apa aku harus percaya sama kamu? Kita baru kenal," papar Luna tanpa ekspresi.
Ajeng melepaskan tangannya, lalu jari-jemarinya saling bertaut. Tak habis pikir dengan ucapan Luna, apa ia terlihat seperti orang yang memiliki niatan buruk? Padahal, dari segi penampilan pun sangat tidak mendukung Ajeng menjadi pemeran antagonis.
Tangan kanannya kini memegangi dagu, mencoba berpikir sesuatu. Sesekali ia melangkah maju, mengitari Luna yang menatapnya sayu.
"Tadi pagi, aku nolongin kamu. Kalo aku emang punya niatan jahat, kayaknya nyawamu udah nggak ada sekarang. Bisa aja aku dorong kamu dari atas sini," cetus Ajeng dengan senyuman yang mengembang lebar-lebar.
Luna tampak mendengkus sebal dengan jawaban yang diberikan Ajeng. Ia mulai sadar, anggapannya tidak benar. "Maaf."
Ajeng terkekeh kecil, lalu mengangguk memaafkan. Ia berjalan mendekati Luna menatapnya dengan intens. "Kamu suka Daniel sejak kapan?"
Luna menghela napasnya, kemudian berucap, "Aku suka dia sejak MOS pertama, tapi baru berani bilang sekarang. Aku latihan sekeras mungkin untuk bisa bilang secara langsung ke Daniel, sebelumnya cuma bisa stalk sosmednya. Bener kata dia, harusnya aku sadar diri." Pandangannya tertunduk lesu. Agaknya, semesta kurang berpihak pada Luna, satu-satunya harapan yang ia impikan, tak bisa digapainya.
"Lagian, kenapa kamu bisa suka sama cowok kayak dia, sih? Kamu tau, kan, dia itu suka ganti-ganti pacar sesuka hati. Nekat banget." Ajeng bersungut-sungut, mendengar cerita dari Luna membuatnya sedikit miris.
Seorang pemuda semacam Daniel, mengapa banyak disukai kaum perempuan? Apa karena harta dan tampangnya saja? Tak habis pikir.
Luna masih terdiam, tak membalas ucapan Ajeng yang seolah memojokkannya. Ajeng menutup bibirnya dengan tangan, ia merasa salah berbicara. Apa Luna tersinggung?
Tangan Ajeng terulur mengusap pundak Luna yang sedikit lebih pendek darinya. Lalu, ia menarik tubuh Luna ke pelukannya. Mengusap lembut punggung gadis itu, berusaha menenangkan.
"Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu, Lun." Ajeng masih setia mengusap punggung Luna meski gadis itu tetap menggantungkan tangannya di udara, tak membalas pelukannya.
"Kalimat-kalimat Daniel tadi nggak perlu dimasukkin hati. Nggak usah sedih, aku tau yang namanya suka sama seseorang memang terkadang susah untuk dikendaliin." Luna kini memberanikan membalas pelukan Ajeng dengan erat, ia merasa memiliki teman yang tulus kepadanya. Sebelumnya, tak ada yang pernah memeluk dirinya seerat ini.
"Apa aku nggak pantes buat jatuh cinta, Jeng? Apa perempuan jelek kayak aku selamanya dapet perlakuan kayak gitu?" lirih Luna di sela-sela peluk hangat itu.
"Jangan merendahkan diri sendiri. Semua perempuan itu cantik, dari dalam kuncinya. Tuhan ciptain kita, kan, berbeda-beda, bukankah itu spesial? Semua orang berhak jatuh cinta, kok." Ajeng mengurai pelukan itu, mereka saling berhadapan dan menatap satu sama lain.
Luna menarik sudut bibirnya kecil, lalu menyeka air mata yang hendak memaksa turun. Ajeng begitu peduli, meski temu itu baru sekali. Mengapa tak sedari dulu saja temu itu tercipta. Luna akan merasa bahagia.
"Apa kita bisa jadi teman?" pinta Luna.
Andai Luna tahu, bahagia itu juga berpihak pada Ajeng. Dia tidak bertepuk sebelah tangan, sesungguhnya mereka memang ditakdirkan untuk melangkah beriringan.
"Nggak." Ajeng menggeleng keras, Luna merubah raut wajahnya tiba-tiba.
"Nggak usah banyak tanya lagi, kita temenan!" seru Ajeng dengan girang. Kedua tangannya menarik tangan Luna dan diangkat tinggi-tinggi ke udara.
Senyum Luna mengembang lebar, kini ia memiliki seorang teman. Setelah sekian lama terbiasa sendiri, mulai hari ini kekosongan itu terisi. Oleh Ajeng tentunya.
***
"Kok pulangnya agak terlambat, kenapa?" tanya Pramesti saat Ajeng tiba di rumah dengan jam yang tidak biasanya.
Ajeng terlebih dahulu menyalimi tangan ibunya. "Ada masalah sedikit."
"Kenapa? Angkot yang kamu tumpangi mogok lagi?" Sosok pria paruh baya keluar dari kamar dengan memakai sarung bermotif kotak-kotak, tak lupa peci yang terpasang di kepalanya. Tak lain adalah Kirman-Ayah Ajeng.
"Bukan, kok, Yah. Anu ... tadi ngobrol sama temen dulu." Ajeng menggaruk-garuk lengannya gatal. Tak ada alasan lagi untuk menutupi yang sebenarnya, Ajeng membicarakan apa yang memang terjadi.
"Kok tumben." Pramesti menyipitkan mata, seperti mengintimidasi Ajeng yang saat ini sedang dalam kebingungan.
"Kan nggak sering-sering, cuma sekali." Ajeng menyatukan kedua tangannya di depan dada, meminta permohonan maaf.
Ajeng lalu berjalan mundur dengan cepat memasuki kamar. Pramesti dan Kirman saling tatap seolah menanyakan ada apa dengan puterinya, tetapi setelah itu gelengan tercipta bersamaan.
_______
Say halo dari Upi!❤️
Gimana chapter ini? Ada kritik dan saran? Drop di sini, akan saya terima dengan lapang hati.
Salam sayang,
Upi yang habis ini mau pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Love Yourself (Tamat)
Teen Fiction[JUARA 1 KPLI WRITING MARATHON 2021] Tak ada yang benar-benar terlahir dengan sempurna ke dunia. Sesuatu yang tersorot indah oleh mata, tak mungkin terlepas dari cela. Begitupun sebaliknya, apa yang tersorot buruk oleh mata, pasti menyimpan pesona y...