Orang baik, tak selamanya baik. Orang jahat, tak selamanya jahat. Terkadang, cuaca perasaan sangat mempengaruhi keduanya.
______"Parah, parah, parah! Ini tuh enak bangeet!" Juvita berseru nyaring setelah melahap dan menelan habis sesuap makanan yang dipesannya tadi.
Ternyata, rumor itu benar adanya. Cafe ini memang penghasil makanan yang lezat-lezat. Buktinya, Juvita sampai berteriak seperti orang yang tak mempunyai rasa malu.
Agil terkekeh geli, pemuda itu mengacak-acak rambut Juvita pelan. Ajeng yang melihat kejadian itu pun memutar bola mata malas. Lagi-lagi ia ber-cosplay menjadi nyamuk.
Namun, Ajeng pun menikmati makanan itu. Lezat dan pas di lidahnya. Ya wajar saja, ia jarang sekali makan makanan cafe seperti ini. Kecuali, Juvita yang mengajaknya pergi.
"Aku kenyang," kata Juvita. Gadis itu telah menghabiskan satu porsi makanan dan juga dua gelas jus mangga kesukaannya.
"Habis ini mau ke mana, nih?" tanya Juvita, sorot matanya melirik Ajeng dan Agil yang sama-sama sedang menyeruput jus milik mereka masing-masing.
"Gimana kalo kita ke Mall?" usul Agil.
Juvita pun mengangguk antusias, tetapi bunyi notifikasi ponselnya menganggu momen mereka. Melirik sekilas, lalu Juvita mengambil ponselnya.
Ajeng menyimak, ia ingin tahu apa yang terjadi. Dari raut wajah Juvita seperti ingin memberitahu sesuatu, tetapi bibirnya tetap bungkam.
"Kenapa, Ju?" Hingga pada akhirnya Ajeng membuka suara.
"I-itu. Mama minta aku pulang." Dengan sedikit rasa gugup, Juvita menjawah pertanyaan Ajeng.
"Kok mendadak gitu, memang ada acara?" Kini Agil yang bertanya.
Juvita menggeleng pertanda tidak tahu. "Tapi mama minta kamu ikut," ujar Juvita. Ia tidak tahu, mengapa sang mama meminta kekasihnya untuk ikut serta dengannya. Banyak tanda tanya yang memenuhi otak Juvita sekarang.
Agil pun sama herannya, mengapa ia harus ikut ke rumah Juvita? Sebenarnya, tidak masalah. Namun, ini bukan hal yang biasa.
Kini, pupil mata Juvita beralih menatap Ajeng. "Jeng, aku minta maaf, ya. Kamu pulang sendiri nggak papa?"
Tentu saja Ajeng mengangguk. Ia sudah terbiasa, bukan suatu hal yang mengejutkan. "Nggak papa. Kalian balik aja, itu pasti penting."
"Ya udah, bentar, aku bayar makanan dulu." Agil bergegas menuju kasir untuk membayar makanan mereka. Setelahnya, kembali menuju Ajeng dan Juvita berada.
"Maaf ya, Jeng, sekali lagi. Aku sama kak Agil balik duluan." Setelah itu, Agil dan Juvita pun bergegas keluar dari Cafe meninggalkan Ajeng seorang diri di dalamnya.
Ajeng menghela napas. Tidak ada pilihan lain, ia juga harus pulang ke rumah. Apalagi, ini hari Minggu. Tak enak jika membiarkan sang ibu membuat kue-kue untuk dijual seorang diri.
Ajeng memakai Sling bag-nya lalu segera keluar dari Cafe. Ia berdecak, di jam-jam seperti ini angkot-angkot pasti sudah lewat menuju pasar. Ajeng pun menyeret langkah kakinya menyusuri trotoar.
Gadis itu menyeberang jalan, tangannya di angkat ke udara guna memberi simbol kepada pengguna kendaraan. Walaupun jalanan sepi, tetapi Ajeng mewanti-wanti. Namun, dari arah kanan Ajeng, sebuah motor melaju kencang seperti tidak melihat ada seorang gadis yang melewati jalan.
Brak!
Ya, Ajeng terserempet motor yang melaju kencang itu. Tubuhnya limbung mencium aspal, darah-darah bercucuran dari lutut dan sikunya.
Gadis itu masih tersadar, tetapi meringis kesakitan. Bahkan, untuk bangun dari ambruknya pun tak kuasa. Sementara pengendara motor yang menyerempet Ajeng tadi sudah kabur tak meninggalkan jejak.
Sebuah motor yang berbeda berhenti dan seseorang yang mengendarai motor itu menghampiri Ajeng yang masih terkapar tak berdaya.
"Pegang tangan gue, gue bantu berdiri," ucap seorang itu.
Ajeng tak menolak, ia menerima uluran tangan seorang itu dan mulai beranjak dari ambruknya. "Makasih," kata Ajeng dengan nada yang lirih menahan sakit.
Ajeng mendongak, ingin tahu siapa di balik orang yang berbaik hati menolongnya. Namun, wajah seseorang itu tertutupi helm. Alhasil, Ajeng tak dapat mengetahui siapa orang itu.
"Elo?" Membuka helm-nya, terlihatlah wajah yang biasa Ajeng lihat. Daniel. Si pemuda songong yang beberapa kali membuat Ajeng naik pitam.
Ajeng pun terkejut, ternyata Daniel orangnya. Setelah ini, ia tak ingin berharap jika pemuda itu akan menolongnya. Dalam hitungan detik, Ajeng yakin bahwa Daniel akan meninggalkannya di jalanan yang sepi ini.
Namun, perkiraan Ajeng nyatanya salah. Daniel justru celingak-celinguk seperti mencari sesuatu objek. Ajeng tidak tahu pemuda itu akan melakukan apa.
Sebuah taksi berhenti saat Daniel memberi kode dengan cara melambaikan tangannya ke udara. "Kalo mau mati itu nggak usah di jalanan gini. Nyusahin." Daniel menyelipkan tangannya ke bawah lutut dan pinggang Ajeng. Ya, pemuda itu menggendongnya.
"Kamu mau ngapain, sih?" Ajeng bertanya nyaring.
"Bawa lo ke kuburan. Ya rumah sakit, lah. Gue juga manusia, dan gue masih punya rasa simpati, ya." Daniel membawa Ajeng masuk ke dalam taksi itu, tak lupa dirinya pun ikut serta.
Masalah motor, itu belakangan. Sebejat-bejatnya Daniel, tak mungkin membiarkan seorang gadis terkapar kesakitan di tengah jalan. Dia juga manusia yang mempunyai perasaan.
***
Ajeng meringis kala cairan obat merah diteteskan ke lukanya. Tak pernah membayangkan sebelumnya, sesakit ini rasanya. Coba saja kalau Ajeng lebih hati-hati, kecelakaan itu tak akan terjadi.
Dokter berjenis kelamin laki-laki itu dengan cekatan membalut luka Ajeng dengan kain kasa berwarna putih. Lalu, Dokter itu menggunting sebagian kain yang berlebih dan kemudian memberi plaster.
"Sudah. Jangan lupa sering diganti, ya. Biar nggak infeksi," kata Dokter itu.
"Terimakasih, Dok!"
Senyum Dokter itu mengembang. "Saya tinggal karena ada pasien lain yang harus ditangani." Setelah berucap, sang Dokter pun berlalu meninggalkan ruang UGD.
"Nggak usah bilang makasih," potong Daniel saat Ajeng membuka mulutnya ingin berkata.
Ajeng mendengkus, ingin mengatakan sesuatu tetapi Daniel memotongnya. "Makasih."
"Buruan, gue anter lo balik." Daniel berkata ketus. Ia berjalan meninggalkan Ajeng yang masih terduduk di kasur brankar.
Ajeng kemudian menggeser kakinya agar bisa menyentuh lantai. Rasa nyeri menjalar ke sekujur tubuhnya--serasa remuk.
"Kalo ibu liat aku kayak gini, pasti sedih." Ajeng bermonolog, berhenti menggerakkan kakinya.
Sedangkan Daniel di ambang pintu berdecak kala Ajeng belum nampak batang hidungnya. Ia berbalik, kembali menuju brankar Ajeng.
"Lama banget, sih!" cibir Daniel.
"Kalo bisa jalan, dari tadi juga aku udah lari!" Lagi, kekesalan Daniel dibalas ketus oleh Ajeng. Lagian, apa pemuda itu tidak bisa melihat kondisinya sekarang? Menjengkelkan!
Hembusan napas gusar tercipta oleh Daniel, pemuda itu berjongkok membelakangi Ajeng. "Buruan naik," titahnya tak jauh-jauh dari nada kesal.
"Kalau nggak ikhlas mending nggak usah!" Ajeng bersungut-sungut, melengoskan padangan ke arah lain.
"Lo juga mending nggak usah bacot!" Daniel kesal, ia menendang nakas guna meluapkan kekesalannya.
Di saat-saat seperti ini pun perseteruan itu masih terjadi. Ajeng mau tak mau mengambrukkan tubuhnya ke punggung Daniel dan mengalungkan tangannya di leher pemuda itu.
"2 kali lo nyusahin gue hari ini."
_______
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Love Yourself (Tamat)
Teen Fiction[JUARA 1 KPLI WRITING MARATHON 2021] Tak ada yang benar-benar terlahir dengan sempurna ke dunia. Sesuatu yang tersorot indah oleh mata, tak mungkin terlepas dari cela. Begitupun sebaliknya, apa yang tersorot buruk oleh mata, pasti menyimpan pesona y...