"Hebat."
Satu kata yang terlontar dari bibir lelaki itu membuat dahi Ajeng berkerut dalam. Berada di bawah teduhan pos satpam sekolah, mereka hanya berdua. Sayang seribu sayang-terjebak hujan-tidak bisa pulang. Akhirnya, memilih untuk berteduh sampai benar-benar reda. Namun, kata yang memecah hening justru menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab di benak.
"Hebat? Apanya?" tanya Ajeng.
Daniel berdecak keras, jaket hitamnya ia pakaikan ke tubuh dengan terbalik agar bisa melindungi bagian depan badannya. "Enggak usah pura-pura bego." Kata-katanya begitu ketus.
"Siapa juga? Terserah kamu." Ajeng melengoskan pandangan, hidungnya kembang kempis karena kedinginan dan sedikit memerah juga.
"Seminarnya kemaren, hebat. Nggak nyangka," papar Daniel kemudian disertai kekehan yang membuat Ajeng mendengkus geli.
Gadis itu menepuk lengan Daniel keras, tetapi sang empu tidak melakukan perlawanan apa-apa. Ia tetap diam, mengamati Ajeng dalam-dalam.
"Kamu nggak usah ngeledek, ya," cibir Ajeng. Ia tahu sebenarnya apa maksud dari perkataan Daniel yang memujinya, tidak mempan.
Lalu, setelah itu kembali hening. Tidak ada lagi percakapan. Ajeng sibuk memerhatikan tetesan air yang jatuh ke daratan, berbeda dengan Daniel yang melamunkan sesuatu. Namun, Ajeng tidak ingin penasaran.
Rintik-rintik yang mengenai genting menjadi penghias di antara keheningan yang melanda mereka berdua. Ada kalimat yang seharusnya diucap, tetapi hati dan logika tampak tidak sejalan. Pikiran berkelana ke sana kemari tidak menentu, hingga berada pada titik di mana sulit untuk berbuat sesuatu.
"Gue ...." Daniel menjeda kalimatnya bersamaan dengan Ajeng menoleh yakin. Iris mereka bertemu, tidak ada yang memutuskan lebih dulu.
Ajeng tahu ada luka di sana. Luka yang belum sempat terucap, luka yang pernah ia gali tetapi sang pemilik enggan membagi. Namun, telah berjanji akan diceritakan di waktu yang benar-benar tepat, begitu janjinya. Apa saat ini adalah waktu yang tepat? Ajeng bertanya-tanya dalam hati.
"Niel. Kenapa? Apa kamu udah siap cerita?" Nada Ajeng lembut, mematahkan pondasi yang dibangun kuat-kuat oleh Daniel.
Daniel menunduk, menatap sepasang sepatunya yang sedikit basah. Ajeng meneguk ludah, ia menggeser posisi duduk dan semakin mengikis jaraknya dengan Daniel. Seakan paham, Ajeng mengusap punggung lelaki itu, memberi ketenangan yang ia harap bisa disalurkan.
Setelah Ajeng dilantik menjadi Ketua OSIS, mereka berdua menjadi sangat dekat. Gadis itu perlahan memberi nasihat demi nasihat kepada Daniel agar mau berubah. Bahkan, dia sudah meminta maaf kepada Luna atas perbuatannya.
"Kamu harus minta maaf sama Luna!"
Matanya mendelik tidak terima, ia pun melengoskan pandangan sembari bersedekap dada. "Nggak. Buat apa? Harga diri gue bisa jatuh." Begitu ucapnya.
Namun, pikirnya tidak akan ada paksaan lagi. Memang benar, tetapi justru telinganya perih akibat dijewer oleh gadis di sampingnya. Ia pun meronta meminta dilepaskan. "Lepasin, nggak!" kesalnya.
Ajeng tidak menuruti permintaan Daniel. "Nggak. Kecuali, kalo kamu janji mau minta maaf sama Luna," ujar Ajeng sembari menaik turunkan kedua alis.
Daniel berdecih, ia memegangi pergelangan tangan Ajeng yang saat ini berada di telinga sebelah kanannya. "Harga diri gue mau ditaro di mana? Nggak, gue nggak mau. Gue tetep nggak mau."
Dasarnya, Daniel memang keras kepala. Ajeng pun semakin mengganaskan cubitannya pada telinga dan Daniel memekik lara namun tidak ia hiraukan. Biarkan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Love Yourself (Tamat)
Teen Fiction[JUARA 1 KPLI WRITING MARATHON 2021] Tak ada yang benar-benar terlahir dengan sempurna ke dunia. Sesuatu yang tersorot indah oleh mata, tak mungkin terlepas dari cela. Begitupun sebaliknya, apa yang tersorot buruk oleh mata, pasti menyimpan pesona y...