Tidak ada yang benar-benar sempurna, sesuatu yang tersorot buruk oleh mata pun memiliki sisi istimewa.
——————
Ajeng mondar-mandir di depan pintu kamarnya, ia ragu untuk melangkah ke luar. Mengingat perkataan ibunya kemarin, rasa was-was menggerogoti hatinya. Ditambah, bimbang pun melanda. Antara ia harus nekat, atau berhenti bertindak.Belum lagi, Dhafi terus menghubunginya. Jika Ajeng tiba-tiba memberi kabar yang tidak baik, akankah nantinya Dhafi tidak kecewa? Kepala Ajeng serasa mau pecah sekarang.
Ajeng memekik, kala kordennya tiba-tiba disibak oleh seseorang. Ia menghembuskan napas setelah mengetahui siapa pelakunya, ternyata sang ayah. Ia memegangi dada, sempat khawatir apabila itu ibunya.
"Kenapa, Ayah?" tanya Ajeng, suaranya nampak terdengar sedikit bergetar.
"Kamu mau pergi?" Kirman balik bertanya dengan konteks yang berbeda.
Ajeng semula ragu, tetapi kemudian ia mengangguk juga. Ponsel yang dipegangnya diremas oleh Ajeng, bibir bawah pun digigit kecil, menetralisir rasa gelisahnya.
"Ayah sama ibu mau ke pasar, sepertinya ibumu lupa tentang kemarin. Kamu bisa pergi setelah itu," papar Kirman.
Ajeng membulatkan bibir, bola matanya pun nampak membesar. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Ajeng saat ini, tentunya amat bahagia dan lega.
"Bener, Ayah?" tanya Ajeng, guna memastikan kebenaran.
"Yo. Masa ayah bohong," kata Kirman seraya terkekeh.
Pria paruh baya yang memiliki kumis tipis juga jenggot yang lumayan tebal itu mengukir senyuman. Rasa sayangnya untuk anak semata wayang begitu besar. Tangannya terulur, mengusap puncak kepala Ajeng dengan lembut.
"Ayah tau, tindakanmu bukanlah suatu yang buruk. Jangan patah semangat, buktikan." Kirman melirih, tetapi kata demi kata yang diucapkan diberi penekanan.
Hal itu tentu saja membuat senyum Ajeng merekah, mendengar kalimat dari sang ayah yang merupakan bentuk pemberian semangat untuknya.
"Ayah ke luar dulu, takut ibu curiga nanti," pamit Kirman. Pria itu kemudian melenggang pergi dari hadapan Ajeng yang kini tengah mesem-mesem.
"Ayah udah kasih semangat buat aku, aku nggak boleh kecewain ayah."
***
Ajeng mengintip lewat jendela, terlihat ayah dan ibunya baru saja melesat meninggalkan area rumah. Ia mengepalkan tangan kanannya, lalu diangkat ke udara sambil berseru, "Yes!"
Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung membawa langkahnya keluar dari rumah. Menutup pintu, lalu berlari menuju tempat di mana dirinya dan Dhafi berjanjian.
Ia membuka layar ponselnya sekilas—untuk melihat jam menunjukan pukul berapa. Ajeng terlambat lima menit, mau tak mau ia harus mempercepat langkahnya agar Dhafi tak menunggu terlalu lama.
Rambut yang ia kuncir kuda terpaksa terombang-ambing, helai rambut yang terdapat pada bagian depan yang menutupi dahinya pun mulai tak beraturan. Namun, persetan, Ajeng tak memikirkan hal itu sekarang.
Dengan napas yang terengah-engah, ia sampai di tepi jalan yang bisa dibilang lumayan jauh dari rumahnya, kisaran duaratus meter. Ajeng mendongak, menatap pemuda yang duduk di atas motor sembari memainkan ponselnya.
"Akhirnya dateng juga, kirain gue salah jalan."
"Maaf, Dhaf. Ada sedikit masalah tadi," ucap Ajeng terengah-engah.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Love Yourself (Tamat)
Teen Fiction[JUARA 1 KPLI WRITING MARATHON 2021] Tak ada yang benar-benar terlahir dengan sempurna ke dunia. Sesuatu yang tersorot indah oleh mata, tak mungkin terlepas dari cela. Begitupun sebaliknya, apa yang tersorot buruk oleh mata, pasti menyimpan pesona y...