Chapter 4

104 28 39
                                    

Pikirkan dahulu sebelum bertindak, jangan sampai menambahkan luka yang seharusnya tak tercipta. Terkadang, ketidaksengajaan pun memberikan efek yang luar biasa sakitnya.
_______

Langkahnya terseret pelan menapaki halaman SMA Lentera yang kian banyak dedaunan berserakan. Cuaca pagi ini terasa amat dingin, ia mengenakan sweater pemberian sang ibu di saat umurnya tepat menginjak angka 17 tahun.

Gadis yang mengenakan rok kebesaran dan memiliki panjang di bawah lutut itu menghela napas berat saat beberapa siswi lainnya melirik tanda tak suka. Alasan apa lagi jika bukan menggunjingkan penampilannya?

Tidak ada tanda-tanda emosi, Ajeng pandai mengontrol diri. Ia terus membawa kakinya melangkah menuju kelas. Sorot matanya menyapu sekeliling koridor, hingga sebuah titik menarik perhatian. Ia menyipit guna memperjelas pandangan. Di lorong utama, nampak beberapa siswa dan siswi berkerumun di sana.

Dahinya berkerut dalam tanda keheranan, ia mempercepat gerakan kakinya agar bisa melihat apa yang terjadi sebenarnya. Ajeng menerobos kerumunan, bibirnya membulat kala mengetahui sosok yang menjadi pusat perhatian.

"Lo sehat?" tanya Daniel kepada gadis yang berdiri di depannya.

Tingginya tentu saja lebih pendek, hanya sedada pemuda itu. Daniel. Sosok yang pagi-pagi seperti ini sudah menaik pitamkan emosi Ajeng.

"Sehat, kok. Emang kenapa? Ada yang salah?"

Daniel terkekeh pelan, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Bola matanya menyorot langit-langit lorong utama, nampak berpikir sejenak.

"Coba ulangin kata-kata lo tadi," pinta Daniel.

"Aku suka kamu, Daniel." Gadis itu nampak malu-malu, pandangannya tertunduk menatap ubin lantai yang tersusun rapi.

Tawaan remeh mulai mencuat, Ajeng menatap sekeliling. Tak jarang siswi-siswi itu mengeluarkan ponsel dan merekam kejadian saat ini. Tak habis pikir, di mana letak akal pikirnya?

"Tapi gue enggak. Kayaknya gue harus beliin lo kaca segede gaban. Coba liat diri lo sendiri." Daniel maju selangkah. Tangannya menyentuh kulit gadis di depannya itu dengan rasa jijik. "Item, norak, alay. Lo itu sama sekali bukan tipe gue." Tawa jahat Daniel mengudara, bagai suara kelelawar ketika malam tiba.

"Oh ya, lo juga kan yang DM spam emot love itu ke gue? Alay tau, nggak!" Daniel berujar dengan enteng sembari berkacak pinggang.

Gadis di depannya mulai rapuh, nampak ia melangkah mundur menjauh dari Daniel. Mengangkat wajah, menatap pemuda yang berada tepat di depannya dengan pilu.

Namun, semakin gadis itu mundur, Daniel pun tak segan untuk memajukan langkah. "Lo pengen tau tipe cewek gue kayak gimana? Pastinya punya kulit putih, mulus, bersih. Itu baru definisi cantik!" tegas Daniel tak tanggung-tanggung. Ia semakin gencar memojokkan gadis itu ke ujung tembok.

Cukup sudah! Ajeng tidak tahan lagi melihat drama ini. Ia berjalan cepat mendekati keduanya lalu mendorong tubuh Daniel menjauh dari gadis yang telah terpojok itu.

Daniel memasang raut wajah murka, ia menggertakkan giginya kuat-kuat. Lirikan tajam itu sukses menelusup masuk ke manik mata Ajeng. Lagi-lagi gadis ini yang membuat ulah dan mencari masalah dengannya.

"Apa lagi?"

Ajeng terbelalak kaget, apa lagi katanya? Pemuda yang selalu ia umpati bajingan di depannya ini sungguh tak memiliki hati nurani. Ketika melakukan kesalahan pun sepertinya mustahil untuk mengakui.

"Kalo kamu emang nggak suka dia, ya udah, nggak perlu hina-hina kayak tadi. Cukup bicara baik-baik kan bisa?" Kali ini, nada bicara Ajeng terdengar lembut. Bahkan, sudut bibirnya pun sedikit terangkat—tak terkesan jahat.

"Oh ... jadi lo nyalahin gue lagi? Mau jadi pahlawan?" Nada bicara Daniel seperti menantang. Telunjuknya mengarah ke arah gadis yang ditolaknya tadi sambil berucap, "Salah dia sendiri bertindak tanpa berpikir apa resikonya. Harusnya, sebelum ngelakuin apa-apa tuh ngaca. Kan malu sendiri akhirnya. Lagipula, apa yang gue omongin tadi semuanya bener."

Ajeng mengatur napas untuk mencegah meletupnya emosi. Ia menahan mati-matian agar tetap dalam kondisi normal saat menghadapi situasi panas seperti ini.

"Apa kamu nggak mikirin perasaan dia gimana? Kamu tolak dia itu juga udah bikin sakit, apalagi ditambah kamu hina dia kayak tadi. Punya otak masih berfungsi, kan?"

Bisik-bisik yang terdengar lirih itu tak berhasil menghentikan tindakannya. Biasanya, ia selalu menutup-nutupi diri karena tak ingin banyak yang tahu jika ia memiliki perseteruan dengan pemuda bernama Daniel itu.

"Apa yang dia omongin bener, Niel." Sosok pemuda tinggi tegap dengan rambut ditata menyamping ke sebelah kanan itu bersedekap dada sambil melangkah mendekat ke arah mereka.

"Lo itu udah kelewatan," imbuhnya tanpa mengubah posisi tangannya.

Daniel merasa dirinya terpojokkan saat ini. Sedangkan Ajeng tersenyum bangga karena ada sosok lain yang berada di pihaknya. Ia menghembuskan napas lega, setidaknya ia berhasil mempermalukan Daniel di depan banyak orang.

"Kenapa lo jadi ikut-ikutan nyalahin gue, sih?!" tanya Daniel sembari membentak. Dagunya terangkat menunggu jawaban.

"Karena tindakan lo emang salah. Harusnya lo mikir, cewek itu hatinya lemah, Niel," kata pemuda itu.

Ajeng memperhatikannya, membaca nama yang tertera di bagian seragamnya. Genta Wijaya—nama pemuda itu. Ajeng seperti pernah melihat, tetapi baru mengetahui namanya sekarang.

Tanpa meninggalkan sepatah kata lagi, Daniel melengos pergi meninggalkan lorong utama. Tak ada yang mencegahnya, dalam hati Ajeng bersorak gembira.

Ajeng hampir lupa akan sesuatu, ia menoleh ke belakang. Menghampiri gadis yang masih berdiri sendiri di pojok tembok. Bulir-bulir bening terjatuh menuruni pipinya, tangan Ajeng tergerak untuk menghapus jejak air mata di sana.

"Makasih," kata gadis itu.

"Ngapain lagi? Bubar!" Suara melengking itu mengejutkan Ajeng, ternyata berasal dari Genta yang memerintahkan siswa-siswi itu agar membubarkan kerumunan.

Bak raja, semua patuh akan perintahnya. Satu persatu meninggalkan lorong utama, bahkan Genta pun ikut meninggalkan mereka berdua. Ajeng ingin berterima kasih, tetapi ia urungkan.

"Sekali lagi makasih ...." Gadis itu tampak mengeja nama yang tertera di seragam, "Ajeng," lanjutnya.

"Ah, iya. Sama-sama, Luna." Ajeng juga ikut membaca nama yang tertera di seragam gadis itu.

Ajeng berpikir sejenak, lalu berucap, "Bisa kita bicara?"

Luna seperti kebingungan dengan pertanyaan Ajeng. Melihat raut wajah Luna seperti itu, ia tertawa kecil guna mendinginkan suasana.

"Cuma ngobrol biasa aja, kok. Nggak akan aneh-aneh, aku bukan orang jahat," kata Ajeng.

Luna pun ikut tertawa kecil. Pikirannya terlalu jauh jika menganggap Ajeng akan melakukan tindakan yang buruk kepadanya.

"Pulang sekolah nanti aku tunggu di Rooftop, ya." Ajeng memutuskan. Luna pun menyanggupi sembari tersenyum simpul.

"Kalo gitu, aku mau masuk kelas." Ajeng berjalan mundur dan melambaikan tangan ke arah Luna

Dalam pikiran Ajeng, Luna adalah gadis yang baik dan terkesan polos. Berteman dengannya bukan suatu hal yang buruk. Ia mesti berbicara dengan gadis itu nanti, seperti janji yang telah dibuat beberapa menit lalu.

__________

Say halo dari Upi!❤️

Gimana chapter ini? Ada kritik dan saran? Drop aja di sini, akan saya terima dengan lapang hati.

Salam sayang,

Upi yang matanya ngantuk.

When You Love Yourself (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang