Chapter 6

94 22 30
                                    

Jangan menyerah sebelum melangkah, kamu cukup beri pembuktian, bahwa apa yang mereka bilang sangat jauh dari kebenaran.
__________

Suasana hati tengah Ajeng berbunga-bunga, ia berjalan santai dengan senyum yang mengembang tak pudar. Persetan dengan lirikan orang yang memandang bak kesurupan, hari ini begitu membuat hatinya deg-degan tak karuan.

Ajeng mengatur napasnya, dari arah ia berdiri, terlihat ruangan khusus itu dipadati banyak orang. Mendebarkan, padahal baru pendaftaran, tetapi tangannya sudah adem panas penuh keraguan.

Ia mengepalkan tangannya untuk memberanikan diri, lalu berjalan santai menghampiri meja panitia. Tak jarang ada yang memandang tak suka, bukan Ajeng namanya jika memperdulikan mereka.

"Mau daftar?" tanya salah satu anggota OSIS yang duduk anggun dengan pulpen berada di tangan kanannya.

Terdengar sedikit merendahkan, tetapi Ajeng berusaha tegar. Ia mengangguk semangat lalu menyodorkan sebuah kertas yang telah diisi data diri.

Anggota OSIS berjenis kelamin perempuan itu menerima kertas yang disodorkan oleh Ajeng, membacanya teliti dan sesekali melirik Ajeng yang masih setia berdiri.

"Kamu yakin mau daftar? Ini enggak ada unsur paksaan, kan?" tanyanya sekali lagi.

Ajeng mengernyit heran, apa lagi-lagi mengenai penampilannya yang meragukan?

"Lo apa-apaan, sih, Nau!" Anggota OSIS berjenis kelamin laki-laki yang duduk di sampingnya tampak menegur.

"Bay, lo nggak liat penampilan dia? Cupu norak gitu," balas gadis yang diketahui bernama Naura itu.

"Emang dari awal ada peraturan tentang pakaian? Enggak, kan. Udah, lo nggak usah banyak omong." Pemuda itu mengambil paksa lembar kertas yang berada di tangan Naura.

"Thanks udah berpartisipasi. Untuk tahap selanjutnya bakal diinformasikan lagi, ya." Senyum pemuda itu merekah sempurna. Berbeda dengan perempuan yang berada di sampingnya, nampak ketus dan tak suka.

"Makasih, Kak." Melangkah pergi meninggalkan ruangan itu dengan suasana hati yang tak sama lagi. Kecewa, tentu saja.

Namun, ketika hatinya patah pun tak banyak yang akan merasa empati. Untuk apa pula Ajeng terus-menerus mengeluh kesal? Tak ada gunanya sama sekali, tak merubah apapun yang sudah biasa terjadi.

"Hei, Jeng!" Sosok pemuda lain yang berjalan berlawanan arah dengannya melambaikan tangan ke udara untuk menyapa.

Langkahnya dipercepat agar waktunya tak terbuang percuma. "Gimana, lo udah daftar?" tanya pemuda itu yang tak lain adalah Agil, si Ketua OSIS yang belum lepas jabatan.

"Barusan aja, Kak." Ajeng berhenti melangkah, berdiri berhadapan dengan Agil.

"Sip, deh!" Agil mengangkat kedua ibu jarinya. "Semangat, dong!" seru Agil dengan suara yang lantang, serta kedua tangannya menunjukkan rasa semangat.

Ajeng tertunduk, apa rautnya begitu kelihatan tak semangat? Melihat itu, Agil menepuk tangan di depan wajah Ajeng untuk membuyarkan lamunan gadis itu.

"Gue tau lo bisa, Jeng. Jangan nyerah sebelum melangkah, lo udah berani maju. Tugas lo hanya terus meyakinkan diri untuk melangkah. Buang apa yang seharusnya nggak lo pikirin, buat apa kalo cuma bikin sakit, kan?" Agil mengucapakan rentetan kalimat panjang berisi nasihat dan semangat untuknya. Pemuda itu begitu baik, Ajeng beruntung kenal dengannya.

Ajeng membalas kalimat itu dengan senyuman, lalu mengangguk. "Makasih sekali lagi, Kak!"

"Haha, oke, santai aja. Oh, ya, gue harus ke ruang OSIS sekarang. Duluan, ya!" Agil berjalan mendahului Ajeng dengan arah yang berbeda sembari melambaikan tangannya.

Ajeng pun sama, ia menyeret langkah dari area itu. Kalimat-kalimat dari Agil akan selalu ia simpan, akan ia ingat ketika rasa putus asa tiba-tiba menyerangnya.

Jam istirahat masih tersisa banyak waktu, tapi Ajeng tak tahu harus membawa langkahnya ke mana. Ia bosan berada di kelas, Juvita pun sedang tidak masuk hari ini. Entah apa alasannya, gadis itu tak mengabari.

Tidak tahu-menahu arah, namun kaki Ajeng tetap melangkah. Kursi panjang berwarna putih itu menarik perhatian, langkahnya terhenti di taman belakang yang sepi penghuni.

Cukup sempurna untuk kondisi perasaan Ajeng saat ini, ingin sendiri. Merenungi setiap inti-inti hari yang seharusnya tak usah dipikiri. Namun, otaknya memang sangat keras kepala. Diperingati pun, tak akan dipatuhi.

"Lo licik banget, ya." Terdengar suara dari arah pembelokan koridor menuju Taman Belakang. Ajeng menoleh, baru saja ingin tenang, dunianya kembali diusik.

Helaan napas tercipta, fitnah dari mana lagi itu? Ajeng sepertinya harus lebih membentengi hatinya lebih kuat lagi, agar tak tumbang di kala seperti ini.

"Gue nggak pernah tau sebelumnya, kalo lo deket sama Agil." Dari kalimatnya, terdengar menyindir dan mengarah ke tuduhan.

"Lo deketin dia supaya bisa kepilih jadi Ketua OSIS, kan?" terkanya lagi. Gadis itu bersedekap dada, alisnya dinaik-turunkan.

Ajeng tentu tercengang, ia sama sekali tak memiliki niat buruk seperti itu. Lagipula, ia mengenal Agil sudah sejak lama. Sejak Juvita menjalin kasih dengan pemuda itu.

"Aku sama sekali enggak ada niat kayak gitu, Kak. Aku udah kenal kak Agil sejak lama, kok," jelas Ajeng tanpa menutup-nutupi kebenaran.

Gadis di depannya itu semakin memajukan langkah, menatapnya intens tanpa kedip. Seperti mengintimidasi, Ajeng menunduk guna memutus kontak mata yang menyeramkan.

"Oh, ya? Terus, kenapa lo nunduk gitu? Kenapa enggak berani natap gue?" Gadis itu tak lain adalah Naura--si anggota OSIS yang sempat meragukan dirinya.

Ajeng tak mengerti, untuk apa dia mengikutinya sampai sini? Lagipula, ia merasa tidak memiliki kesalahan sama sekali. Namun, gadis yang menjabat sebagai kakak kelasnya itu terus-menerus memojokkannya.

Ajeng memberanikan mengangkat kepalanya, hingga kedua mata mereka bertemu sesaat, sebelum Naura berdecak dan memutus kontak mata itu terlebih dulu.

"Gue nggak yakin, kalo lo bisa kepilih buat gantiin jabatan Agil. Tapi ... ya perbanyak doa aja, deh. Siapa tau, keajaiban emang berpihak sama lo." Naura tersenyum sambil menepuk pundak Ajeng, lalu melenggang pergi meninggalkan Ajeng sendiri di Taman itu.

Ajeng menatap punggung Naura yang semakin menjauh dari penglihatan, setelah itu mendudukkan bokongnya di kursi panjang berwarna putih itu.

Usaha Ajeng untuk melawan rasa pesimis sepertinya selalu dipatahkan. Ia hanya ingin memberi pembuktian, bahwa gadis sepertinya pun memiliki hak dan tak pantas menerima kalimat-kalimat yang bersifat merendahkan.

Bukan untuk siswa-siswi SMA Lentera saja, tetapi juga untuk ibunya. Ajeng bisa membuat perubahan, ia tak akan kalah sebelum mencoba. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk Ajeng beranjak, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Tidak peduli seberapa banyak orang yang membencinya, ia membutuhkan satu orang yang selalu berada di sisinya dan mendukung apapun yang dilakukannya. Itu ... lebih dari cukup untuk membuat semangatnya terus berkobar.

Ajeng menghela napasnya yang berat kemudian beranjak dari duduknya. Saat ia mulai melangkah meninggalkan area taman, sesosok pemuda muncul di balik tembok pembelokan koridor dan langsung membuat raut wajah Ajeng berubah seketika.

"Pantesan kalo gue lewat sini, bawaannya merinding terus. Ternyata, ada hantunya."

_________

When You Love Yourself (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang