Tidak ada pengecualian untuk orang-orang yang ingin sukses.
——————
Redupnya cuaca sore ini sama dengan kondisi hati gadis bernetra coklat itu—senada dengan warna kulitnya. Suara guntur yang saling bersahutan, seolah memberi kabar bahwa awan hitam itu akan segera menumpahkan tangisan.Semilir angin yang berhembus kencang menembus sampai ke gendang telinga. Begitupula suara dari seorang wanita yang dikenalnya, kalimat dilontarkan dengan nada tak suka, membuatnya menunduk takut.
"Mas kenapa, sih, malah belain Ajeng? Ibu enggak suka, Mas. Ibu enggak suka Ajeng jadi anak pembangkang seperti itu," berang Pramesti, kedua rona pipinya memerah—bukan karena make up, melainkan tanda sebuah kemarahan yang besar.
Dari dalam kamar, Ajeng masih bisa mendenga jelas ucapan dari ibunya. Sesekali ia memejam dan menutup kedua telinga, agar merasa tenang dan tak terbayang-bayang. Menyadari, ini salahnya. Namun, ia juga mempunyai hak untuk menentukan jalan hidupnya.
"Ibu kayak gini juga demi siapa? Demi Ajeng, Mas. Ibu enggak mau Ajeng diolok-olok dan direndahkan sama temen-temennya di sekolah." Pramesti melanjutkan ucapannya, wanita itu menggeser kursi dan mendudukinya. Sembari mengatur napas, ia melirik ke arah pintu kamar Ajeng yang masih tertutup rapat.
Kirman tertegun. Meski begitu, ia tetap tidak setuju dengan pola pikir isterinya. Mau bagaimanapun, Ajeng berada dalam masa remaja, yang pasti sedang mencari jati diri yang sebenarnya.
Mendengar kalimat terakhir dari ibunya, Ajeng bangkit dari duduk, membuka pintu dan menerobos keluar mengunjungi di mana ayah dan ibunya yang tengah berdebat panas karena dirinya.
"Aku enggak pernah diolok-olok di sekolah. Mereka semua baik sama aku, Bu." Kirman terkejut saat Ajeng tiba-tiba datang dan langsung angkat suara.
Sedangkan Pramesti, wanita itu tidak bungkam akan penuturan Ajeng. Malahan, ia bangkit dan mendekat ke arah puterinya itu.
"Kamu pikir, ibu nggak tau? Berapa kebohongan yang udah kamu ciptakan, Jeng? Apa ayah sama ibu pernah ajarin kamu buat bohong?" Berada tepat di hadapan Ajeng, Pramesti melirihkan nada suaranya.
Kirman menghela napasnya yang berat, ia kewalahan. Keluarga kecilnya tak pernah mengalami perdebatan seperti ini sebelum, wajar saja jika Kirman begitu terheran akan kemarahan Pramesti yang kian memuncak tak terbendung.
"Kalau aku jujur, apa Ibu bakal ijinin aku? Aku punya pilihan sendiri, Bu .... Kenapa Ibu sama sekali enggak pernah ngerti?" Suara Ajeng bergetar, mengartikan bahwa gadis itu mati-matian menyembunyikan kegugupan.
Seumur-umur Ajeng hidup, hari ini adalah hari di mana ia memberanikan diri membalas kalimat ibunya. Namun, rasanya, ini bukan pilihan yang buruk juga. Karena jika diteruskan dan tidak diluruskan, semua akan terus menjadi runyam dan tak akan ada ujungnya.
"Lihat, kan? Semenjak kamu berniat ikut-ikutan OSIS itu, udah berani membantah ibu. Apa ini dampak yang baik?" tanya Pramesti.
Ajeng bungkam, lagi-lagi ibunya tak paham akan ucapannya barusan. Gadis itu menetralkan napas, berdoa agar emosi tak mengambil kendali tubuhnya. Ia sekilas melirik Kirman—pria itu memberi instruksi kepada Ajeng dengan mengangguk, seolah meminta agar perdebatan itu diakhiri saja.
"Terserah Ibu. Tapi, aku selalu optimis, bahwa orang yang sederhana dan kalangan biasa seperti aku bisa membuat perubahan ke arah yang lebih baik kepada banyak orang." Ia melenggang pergi, ke luar rumah dengan penampilan yang seadanya.
Satu tempat yang akan menjadi tujuan Ajeng; rumah Sisi. Namun, rupanya gadis kecil itu sedang tidak berada di rumah. Semua pintu tampak terkunci, bahkan mobil yang berada di garasi rumah itu tak ada lagi. Ke mana perginya?
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Love Yourself (Tamat)
Teen Fiction[JUARA 1 KPLI WRITING MARATHON 2021] Tak ada yang benar-benar terlahir dengan sempurna ke dunia. Sesuatu yang tersorot indah oleh mata, tak mungkin terlepas dari cela. Begitupun sebaliknya, apa yang tersorot buruk oleh mata, pasti menyimpan pesona y...