Chapter 12

59 19 18
                                    

Jangan pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Ketika kau menganggap itu buruk, berbeda dengan Tuhan yang telah menyiapkan skenario terbaik untuk jalan hidup.
______

Ajeng membawa kakinya mengitari rumah, walaupun hanya sekedar bolak-balik saja, setidaknya anggota tubuhnya bergerak. Apalagi pagi-pagi seperti ini, cuacanya sangat cocok untuk berjemur--baik untuk kesehatan kulit.

Namun, matanya menyorot suatu objek yang menarik perhatian. Seorang gadis kecil terduduk di kursi roda, sedang melamun di teras rumah. Sepertinya, dia baru pindahan. Ajeng tidak pernah mengetahui sebelumnya.

Entah ada bisikan dari mana, Ajeng melangkahkan kaki menuju rumah yang tak berjarak jauh. Mungkin, akan sedikit melelahkan karena kondisi kaki Ajeng yang sulit melangkah dengan baik.

"Hai." Ajeng menyapa dengan senyuman terpatri di wajahnya. Tak lupa, tangannya pun melambai sempurna.

Bukan sapaan balik yang Ajeng dapatkan, melainkan raut wajah datar gadis yang lebih muda darinya itu. "Kakak siapa?" tanyanya kemudian.

"Panggil aku Ajeng. Nama kamu siapa, Cantik?" Ajeng nampak kesusahan untuk duduk di lantai berubin putih itu. Kakinya diluruskan, masih ada perban yang terbalut di kedua lututnya.

"Namaku Sisi, bukan Cantik." Selagi menjawab pertanyaan Ajeng, tak ada raut yang bisa Ajeng tebak. Datar tanpa ekspresi.

Ajeng memaklumi, mereka baru saja kenal. "Kamu baru pindah ke sini?"

Gadis itu mengangguk kecil guna menjawab pertanyaan dari Ajeng. Wajahnya pucat, rambutnya diombre dan menjuntai ke bawah. Namun, parasnya sangat cantik, sungguh. Ajeng terpesona melihatnya.

"Kaki kakak kenapa? Kok diperban?" Sepertinya, tatapan gadis itu memang tak teralihkan dari perban di lutut Ajeng.

"Kemarin kecelakaan kecil, enggak papa, sebentar lagi juga sembuh," jawab Ajeng sambil tertawa kecil.

"Kakak beruntung." Pandangan gadis itu menunduk, lalu memainkan jari-jemarinya. "Kaki aku enggak bisa sembuh. Selamanya aku harus berteman sama kursi roda ini."

Ajeng menyorot kedua kaki Sisi dengan sendu. Tak ada pergerakan sama sekali, ia terenyuh. "Kalau boleh tau, apa sebabnya?" Ajeng bertanya.

"2 tahun lalu, keluargaku kecelakaan hebat. Mama sama papa meninggal, sedangkan aku masih bisa selamat. Tapi ... kedua kaki aku dinyatakan lumpuh total. Artinya, aku enggak akan pernah bisa jalan lagi," jelas Sisi. Kepedihan itu bisa Ajeng rasakan, ia tak bisa membayangkan bagaimana rapuhnya gadis kecil itu.

Ajeng tersentil, baru saja terserempet motor sedikit, ia sudah mengeluh sakit. Lalu, bagaimana dengan Sisi? Sakit yang dirasakan Ajeng, tidak seberapa dengan sakit yang Sisi rasakan. Kepergian kedua orang tua yang disayang, juga kehilangan kemampuan untuk berjalan.

"Aku pengen nyusul papa sama mama ...." Sisi meracau.

Ajeng menggeser duduknya mendekat ke arah kursi roda yang Sisi duduki. Ia membelai lengan Sisi lembut, mengusapnya tanda sayang. Mengurangi kepedihan yang dirasakan.

"Sisi enggak boleh bicara seperti itu. Sisi diberi keselamatan, artinya Tuhan yakin kalau Sisi itu kuat. Tuhan sayang sama Sisi," kata Ajeng dengan nada selembut mungkin.

"Apa artinya Tuhan enggak sayang sama papa dan mama Sisi?" Kini, pandangan Sisi terangkat menatap netra hitam milik Ajeng.

"Tuhan sayang juga sama papa dan mama Sisi. Di sana, pasti mereka bahagia kalau lihat Sisi bahagia. Kalau Sisi sedih, papa dan mama Sisi juga ikut sedih ...." Ajeng mencoba tegar, rasanya kedua matanya sudah memanas. "Sisi pengen papa dan mama Sisi bahagia, kan?"

Sisi langsung mengangguk semangat. "Mau, Kak."

"Kalau gitu, Sisi enggak boleh sedih. Sisi kan, anak yang hebat. Kalau Sisi ibadah, doain papa dan mama. Pasti mereka bahagia." Ajeng tersenyum lebar, guna memancing Sisi agar tidak kembali bersedih.

Sisi menghapus jejak air mata di pipinya, lalu mengembangkan senyuman selebar yang ia bisa. Ia menatap ke atas sana, memandangi langit biru yang cerah, disertai awan putih yang seperti tersusun indah.

"Sisi janji enggak sedih lagi. Papa sama mama bahagia, ya, di sana. Sisi sayang sama kalian."

Mendengar penuturan Sisi, Ajeng pun ikut bahagia. Gadis itu masih terlalu kecil, belum paham bagaimana arti kehidupan yang sebenarnya. Namun, Tuhan begitu cepat mengambil sumber kebahagiaan yang masih gadis itu perlukan.

"Kak Ajeng baik. Kak Ajeng mau jadi teman Sisi?"

Terhitung, sudah 2 kali Ajeng mendapatkan pertanyaan semacam ini. Pertama, dari Luna. Kedua, dari Sisi. Ajeng tentu senang, kehadirannya untuk mereka berdampak untuk kebaikan.

"Tentu. Besok-besok, kakak sering main ke sini. Kita main sama-sama, ya." Ajeng mengusap rambut Sisi lembut.

"Sisi boleh sayang sama Kak Ajeng?" tanya Sisi dengan raut wajah polosnya yang begitu menggemaskan.

Ajeng bisa apa lagi selain membalas dengan senyuman juga anggukan semangat. "Boleeeh banget."

***

Kantin sungguh ramai, siswa-siswi berdesak-desakan mengantri makanan. Apalagi, ada pula yang cekcok karena rebutan meja untuk makan. Untungnya, Juvita datang cepat. Tidak perlu sampai adu mulut demi mendapatkan tempat duduk.

Juvita mengaduk-aduk nasi gorengnya, tak nafsu untuk makan. Sebenarnya, ia tak ingin memesan, tetapi Agil yang memaksanya. Juvita tak bisa menolak, ia pun pasrah.

Juvita mengkhawatirkan Ajeng. Apalagi, sewaktu di kelas tadi, berbagai cibiran dilayangkan untuk Ajeng. Banyak yang berpikiran negatif, ia muak sendiri. Perasaan Juvita pun tidak enak, bahkan sedari tadi pesannya belum sama sekali terbalaskan.

"Kak, aku khawatir banget sama Ajeng," ucap Juvita cemas.

"Biasanya enggak pernah kayak gini?" Kini Agil bertanya, ingin memastikan.

Juvita tentu saja menggeleng, Ajeng belum pernah tidak berangkat sekolah tanpa izin. Agil pun mendadak ikut cemas, ia teringat akan momen kemarin pagi--sewaktu mereka makan di Cafe.

"Kapan Ajeng terakhir online?"

Mendengar pertanyaan Agil, Juvita langsung membuka ponselnya. Menekan aplikasi bergagang telepon berwarna hijau, lalu membuka room chat dengan Ajeng.

"Kemarin pagi, jam 8." Juvita semakin dibuat cemas.

"Ajeng ... lo di mana, sih? Gue harap lo baik-baik aja ...." Juvita menyatukan kedua tangannya, lalu kepalanya bertumpu di sana.

"Dia kecelakaan kemaren."

Mendengar ada seseorang yang menyahut, Juvita berkerut dahi. Itu bukan suara Agil, melainkan suara seorang pemuda yang dikenalinya. Ia mendongak, tubuhnya berbalik ke belakang.

"Kecelakaan? Kok bisa? Ini pasti gara-gara lo, kan?!" Juvita beranjak lalu menghampiri pemuda yang duduk tak jauh dari posisinya.

"Bilang ke gue kalo lo emang penyebab Ajeng kecelakaan, Daniel!" Kedua tangan Juvita menekan dada pemuda itu hingga terhuyung ke belakang.

"Weh, santai dong. Berani banget lo jadi cewek, komplotannya si Ajeng lo?" sembur pemuda yang lain--merupakan salah satu teman Daniel yang duduk semeja.

Juvita menatap sinis mereka, lalu pandangannya kembali terfokuskan kepada Daniel. Agil tak tinggal diam, pemuda itu lantas menarik lengan Juvita agar tak mendekat ke arah Daniel. Apalagi, sampai menimbulkan kericuhan di kantin seperti ini.

"Jawab pertanyaan gue, Daniel!" teriak Juvita. Ia meminta Agil untuk melepaskan cekalan tangannya. Namun, pemuda itu menggeleng.

"Jangan buat keributan, Ju. Bisa bicara baik-baik, kan?" Agil memang sangat bijak, di saat-saat seperti ini, ia tak terbawa emosi sama sekali.

Ajeng menghela napas gusar. "Gimana bisa bicara baik-baik kalo dia penyebab Ajeng kenapa-kenapa," lirih Juvita seraya menolehkan kepalanya ke arah Agil.

"Gue bukan penyebab dia kecelakaan." Akhirnya, Daniel kembali bersuara. "Lo nggak percaya, terserah. Tanya aja sama cewek dekil itu."
_______

When You Love Yourself (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang