18| Menunggu pembuktian •°

5.9K 560 34
                                    

'Yang dibutuhkan dari keyakinan adalah pembuktian, bukan hanya ucapan tanpa tindakan. Karena Allah memerintahkan hamba-Nya bukan hanya bisa mengajarkan dengan ucapan saja, tapi juga dengan pelaksanaan.'

____________

Assalamualaikum, terima kasih yang masih mau cerita ini lanjut.

Memberi semangat untuk saya melanjutkan cerita Nia & Ibra lanjut sesuai ide, mood dan waktu luang. Jangan bosan memberi semangat dan dukungan buat saya nggih. 😊 Terima kasih
_________

Pejaman mata Ibra terganggu ketika merasakan sebuah tangan menggoyangkan bahunya pelan. Perlahan membuka kelopak mata diiringi dua tangan berusaha membuat tubuhnya bersandar di kepala ranjang. Menoleh, melihat sepasang suami istri menatapnya sendu dengan kilatan netra bertabur manik dari sapuan air mata milik kakak iparnya. Ibra tersenyum tipis sembari berusaha menggapai segelas teh yang diangsurkan padanya. Pelan dia meneguk teh beberapa kali sebelum kembali menyerahkan pada sosok yang memberikan tadi.

"Sejak kapan kalian datang?"

"Kami datang sejak tadi siang. Mbak mu menemukanmu dalam keadaan pingsan saat dia datang mengirim makanan lalu dia menelepon Mas."

"Sudah berapa hari tidak makan? Wajah seperti mayat hidup dengan jambang tak beraturan. Apa kamu pikir Nia akan mau kembali padamu dengan penampilan awut-awutan begini?" sambung sosok dengan balutan kaos serta celana cargo panjang.

Ibra menunduk, mengabsen pakaian yang masih dikenakannya sejak kemarin tampak berantakan. Kemeja keluar dari celana yang diberi ikat pinggang, bahkan ada banyak lipatan yang tampak kusut menghiasi bagian lengan kemeja, tak lupa juga dengan beberapa kancing yang terbuka.

"Dua hari, Mas. Aku sedang tidak selera makan."

Suara decakan terdengar dari sosok yang kini tengah mengambil sebuah piring berisikan makanan yang sekarang diangsurkan pada Ibra namun tak kunjung Ibra sambut. "Ini, makan dulu. Mas nggak mau tau, pokoknya nasi dalam piring ini harus habis tak tersisa!"

"Aku benar-benar nggak selera, Mas Bagas."

Bagas mendesah berat, meletakkan piring itu di pangkuan Ibra. "Sudah Mas katakan, Mas dan Mbakmu akan bantu kamu bawa pulang Nia. Jangan seperti ini, Ibra. Menyiksa dirimu sendiri itu sama saja dzolim."

"Bukannya kamu mau berjuang untuk Nia? mau menyelesaikan masalah dengan Yosi juga, kan? Jadi kamu harus sehat kembali, Ibra." Imbuh perempuan yang penampilannya selalu mengingatkan Ibra pada Nia.

Ibra menutup netranya sejenak sambil mengambil napas panjang kemudian mengembuskan dengan mata yang kembali terbuka. "Mbak Ara benar, aku harus selesaikan urusanku dengan Om Zaid dan Yosi untuk bisa membawa Nia pulang dari Mas Haidar."

Sepasang suami istri di samping Ibra itu tampak beradu pandang usai Ibra menyebut nama kakak iparnya yang katanya tinggal di Kediri. "Haidar? Bukannya dia ada di Kediri?"

"Dia sekarang tinggal di kota ini, Mas. Sekitar dua minggu lalu dia dipindahkan tugas ke rumah sakit tempat biasa Om Zaid medical check up."

Pasangan suami istri itu mulai paham maksud Ibra menjemput Nia dari Haidar. Tak lain karena kakak iparnya mungkin sudah tahu masalah rumah tangga Ibra dan Nia alami hingga mengambil keputusan sementara memisahkan keduanya. Tidak salah juga sebenarnya keputusan Haidar, bagaimana pun seorang kakak tidak ingin adiknya disakiti oleh siapapun. Ingin selalu melihat adiknya mengumbar senyum bahagia.

Bagas tersenyum melihat adiknya menyendokkan nasi ke dalam mulut meski dengan porsi kecil. Tak masalah, yang penting Ibra mengisi perutnya. Setelah menyuap makanan beberapa kali, Ibra meletakkan piring yang masih berisi makanan itu di nakas lalu meneguk sisa teh dalam gelas tadi hingga tandas.

Istri Pak Dosen [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang