20| Senyuman Nia •°

5.7K 444 18
                                    

Ojo mblenger baca nya.. agak panjang soalnya

'Tersenyum, suatu barang mahal ketika semesta tidak mendukung. Lantas kini berbanding terbalik. Begitu mudah menarik dua sudut bibir hanya karena satu nama. Ibrahim Abqary.'
____________________

Senyuman di bibir Nia masih terukir begitu indah setelah tadi sempat menatap dari balik kaca mobil rumah yang sudah tiga hari dia tinggalkan. Berjalan menuju kamar dengan hati lega setelah mendengar secara langsung serta menerima pesan dari Ibra mengenai pembuktian akan ucapannya. Hanya menunggu waktu Ibra datang menjemputnya, itulah yang ditanamkan dalam pikiran. Merebahkan tubuh sembari memainkan tangan kanan dengan jari manis melingkar cincin pernikahan di sana. Terus husnudzon akan apa yang terjadi esok.

Dada Nia kembali berdegup kencang setelah cukup lama merasakan nyeri usai mengalami badai pernikahan. Sekarang giliran cahaya terang yang siap datang. Keyakinannya pada Ibra kali ini begitu kuat, percaya dengan Ibra akan usaha kembali membawanya pulang. Benar, usai kesulitan pasti ada kemudahan. Allah sendiri yang menjanjikan dalam Alquran, bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Lalu apa yang dia ragukan jika janji Allah telah dituliskan?

"Dek, makan dulu. Makanannya sudah siap di meja makan. Ada bergedel kentang sama sayur sup. Mbak bikin sambel kecap juga, lho."

Nia terdiam sesaat sebelum merubah posisi menjadi duduk usai mengetahui kehadiran kakak iparnya yang sudah berdiri di ambang pintu kamar. "Mbak sejak tadi di sana?" Aina mengangguk.

"Kamu dari tadi ngelamun sambil senyum-senyum lihat tangan sendiri. Sampai nggak dengar Mbak ketuk pintu kamar kamu berkali-kali. Ya sudah, akhirnya Mbak masuk aja ke kamar kamu lalu lihat kamu kayak abg jatuh cinta," ucap Aina sembari terkikik.  Membalikkan badan lalu berjalan ke arah tangga untuk turun menuju lantai dasar.

Nia terkekeh menyadari tingkahnya. Bangkit dari duduk lalu berjalan menyusul Aina menuju meja makan. Entah, hari ini dia mudah sekali tersenyum, bahkan tanpa ragu terkekeh usai beberapa waktu lalu sangat sulit dilakukan. Seakan saat itu semesta kurang mendukung jika senyuman terukir dari bibirnya.

Suara derap langkah diiringi uluk salam terdengar semakin dekat seiring menampakkan laki-laki dengan sneli tersampir di lengannya berjalan menuju meja makan. Berbelok ke sudut ruangan meletakkan tas jinjing serta sneli di sofa kecil serta mencuci tangan di dapur lalu duduk di kursi kosong samping Aina yang memangku Hanafi dengan bibir bergerak lucu karena sedang mengunyah makanan usai Aina suapi. Mencium pipi gembul Hanafi sebelum mengambil piring dan mengisinya dengan makanan. Bukan mengambil di piring hidangan, Haidar malah mencomot bergedel kentang milik Nia hingga membuat Nia mengerucutkan bibir.

"Pulang awal, Mas? dengaren."

"Ck! Mas balek cepet bukan disambut senyum, malah dibilang dengarenke. Adek kurang sae ya begitu."

Nia meneguk air dalam gelas sampai habis kemudian menepuk lengan kakaknya cukup keras. Membuat Haidar melotot ke arahnya.

"Bukan gitu, Mas. Aneh aja kalau pulang awal. Biasanya dulu habis maghrib baru sampai rumah karena visit. Mas Haidar kan suka jadi Bang Thoyib kalau lagi inget pasien sama ... " Sebelum Nia melanjutkan ucapannya, Haidar lebih dulu mencubit kedua pipi Nia hingga meninggalkan bekas merah. Bahkan sampai membuat Nia mengaduh kesakitan sambil mengusap kedua pipinya.

"Gitu, Na. Punya adek sukanya ngajak ramein rumah. Harus sabar punya adek ipar kayak Nia. Anaknya aktif ya, Na?" Aina yang mendengar ucapan suaminya hanya terkekeh pelan. Menyaksikan interaksi kakak beradik di depannya tanpa berniat ikut andil.

"Le, jangan kayak Tante Nia, ya. Kalem aja kayak Mama. Boleh ceriwis tapi jangan kebablasan  kayak Tante Nia." Haidar mengusap puncak kepala putranya. Membuat Nia mendengus kesal. Tak urung hal itu membuat Aina kembali terkekeh.

Istri Pak Dosen [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang